• Jumat, 26 April 2024

Anak Bunda Tidak Nafsu Makan? Bisa Jadi Pertanda Cacingan Atau Stunting, Check This Out

Jumat, 20 April 2018 - 17.56 WIB
243

Kupastuntas.co, Bandar Lampung - Iklim tropis di Indonesia menyebabkan kita rentan terkena berbagai penyakit termasuk infeksi cacing. Sekitar 24 persen orang di dunia menderita infeksi cacingan dan umumnya menyerang anak-anak. Di Indonesia, menurut Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (P2PL) selama 2015 prevalensi 28,12 persen namun masih banyak sebenarnya di daerah yang berada di atas 50 persen.

Infeksi cacing yang berulang jika dialami pada anak bisa menyebabkan gangguan gizi dan berujung pada kegagalan pertumbuhan atau stunting. Cacing dapat masuk ke dalam tubuh manusia karena adanya kontak langsung antara kulit dengan tanah yang terkontaminasi larva atau telur cacing. Di dalam tubuh manusia, cacing akan berkoloni dan berkembang biak di usus lalu menyerap nutrisi yang masuk ke dalam tubuh seperti karbohidrat dan protein.

“Alhasil anak mengalami defisiensi nutrisi, anemia, bahkan membuat stunting,” jelas dr. Juwalita Surapsari, M.Gizi, Spesialis Gizi Klinis pada media briefing, Edukasi Mengenai Infeksi Cacing dan Hubungannya Terhadap Gangguan Gizi yang Berdampak Stunting.

Secara sederhana, lanjut Juwalita, masalah stunting adalah ketika tinggi badan anak kita tidak sama dengan anak-anak seusianya. WHO menyebutkan anak masuk kategori stunting kalau tinggi badannya berada di level minus 2. Di dunia, 1 dari 4 anak mengalami stunting dan di negara berkembang 1 dari 3 anak mengalami stunting.

Bagaimana dengan Indonesia? Data Riskesdas pada 2013 menyebutkan prevalensi infeksi cacing pada anak adalah 37,2 persen. “Dari data Riskesdas ini artinya, 1 dari 3 anak terkena stunting,” jawab Juwalita. Angka ini terus meningkat dibanding tahun 2007 yang prevalensinya 36,8 persen dan pada 2010 yang prevalensinya 35,6 persen.

Juwalita menyebutkan, anak yang mengalami stunting bisa mengalami gangguan perkembangan otak (IQ yang rendah), sistem imun yang lemah sehingga begitu mudah terkena berbagai infeksi.

Tapi stunting ini bisa diintervensi atau dicegah. Caranya dengan memerhatikan kecukupan nutrisi pada 1000 hari pertama yang dimulai dari dalam kandungan sampai mereka berusia 2 tahun. Tak hanya itu, kita juga harus memutus mata rantai penularan infeksi cacing karena terbukti infeksi ini menyebabkan stunting pada anak. Bahkan siklus kejadiannya bisa berujung pada kualitas individu di Indonesia.

Hal ini juga diamini oleh dr. Elizabeth Jane Soepardi, MPH, Dsc, Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tular Vektor dan Zoonotik, Ditjen P2P Kemenkes. Bahkan menurut Elizabeth, anak perempuan yang mengalami stunting berisiko melahirkan bayi prematur atau bayi dengan berat badan kurang. “Apalagi jika stunting yang dialami ibu hamil karena infeksi cacing berulang membuat ibu mengalami anemia dan ini tidak akan bisa dikoreksi. Di sinilah bahayanya stunting yang diakibatkan oleh infeksi cacingan.”

Kebanyakan orang yang terinfeksi cacingan tidak menunjukkan gejala yang spesifik karena itu sering diabaikan. Tapi orang tua sebaiknya mulai waspada ketika anak mulai menunjukkan gejala tidak nafsu. Juwalita menjelaskan, tidak nafsu makan menjadi gejala yang paling sering terlihat karena infeksi membuat tubuh mengeluarkan zat-zat yang sifatnya inflamasi dan membuat berkurangnya nafsu makan. “Orang tua harus semakin curiga kalau anak terinfeksi cacingan jika telapak tangan atau selaput matanya pucat.”

Adapun dampak jangka pendek yang disebabkan oleh cacingan adalah tubuh akan kekurangan zat besi yang sangat penting untuk memproduksi hemoglobin. Tubuh memerlukan hemoglobin untuk mengangkut oksigen dari usus ke seluruh organ tubuh. Apa yang terjadi jika tubuh kekurangan zat besi? Pada anak hal ini akan menyebabkan anemia. Maka dapat dibayangkan jika cacing berkoloni serta berkembang biak dalam usus serta mengambil nutrisi. Cacing akan mengigit dinding usus serta menghisap darah yang keluar ke dalam rongga usus.

Sedangkan untuk dampak jangka panjangnya, infeksi cacingan pada anak akan menyebabkan malnutrisi atau kekurangan gizi. Jika dibiarkan dalam waktu lama akan memengaruhi pertumbuhan fisik serta mental anak. Bahkan dikhawatirkan malnutrisi akibat infeksi cacingan akan membuat anak memiliki kecerdasan di bawah rata-rata dan produktivitas yang rendah. Alhasil anak pun terhambat untuk meraih masa depan yang lebih baik.

Pencegahan Stunting Akibat Infeksi Cacingan

Cacingan bisa diatasi dengan pemberian obat cacing. Jika pemberian obat cacing dilakukan secara masif maka tindakan ini bisa meningkatkan status gizi dan fungsi kognitif anak.

Melihat tingginya prevalensi infeksi cacing ini maka Ditjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Kemenkes mengadakan program pembinaan perbaikan gizi masyarakat yang sudah dimulai sejak 2015. Program ini memiliki dua target utama. Pertama menurunkan prevalensi cacingan pada usia balita, usia pra sekolah, dan anak usia sekolah dasar sebesar 10 persen secara bertahap. Target keduanya adalah meningkatkan capaian cakupan Pemberian Obat Pencegahan Massal (POPM) Cacingan minimal 75 persen.

POPM Cacingan dilangsungkan dua kali dalam setahun, setiap bulan Februari dan Agustus untuk kabupaten atau kota dengan prevalensi infeksi cacingan di atas 50 persen. Sedangkan pada daerah dengan prevalensi 20 sampai kurang dari 50 persen, pemberian obat cacing dilakukan setahun sekali. “Kegiatan ini juga mencakup pemeriksaan cacingan kepada ibu hamil dengan gejala anemia dan pemberian obat cacing pada trimester kedua pada ibu yang mengalami infeksi cacingan.”

Adapun obat cacing yang dibagikan secara massal oleh Kemenkes adalah Albendazole dosis tunggal 400mg. Dan untuk menyempurnakan pemutusan rantai penularan infeksi cacingan, kita juga perlu memerhatikan kebersihan perorangan seperti membiasakan cuci tangan pakai sabun pada lima waktu kritis yaitu sebelum makan, sehabis buang air besar, sebelum menyusui, sebelum menyiapkan makan, setelah menceboki bayi, dan setelah kontak dengan hewan. Kita juga perlu memerhatikan kebersihan lingkungan seperti menjaga kebersihan toilet dan pembuangan limbah. (Rls)

 

Editor :