Sah! Wakil Rektor II Rudy Dikukuhkan Jadi Guru Besar Termuda di Unila

Pengukuhan Wakil Rektor II Bidang Umum dan Keuangan Prof. Rudy sebagai guru besar di GSG kampus Unila, Rabu (25/10/2023). FotoL Istimewa.
Kupastuntas.co, Bandar Lampung - Rektor Universitas Lampung (Unila), Prof. Lusmeilia, telah resmi mengukuhkan Wakil Rektor II Bidang Umum dan Keuangan Prof. Rudy, sebagai guru besar bidang ilmu hukum. Pengukuhan dilangsungkan di Gedung Serba Guna (GSG) kampus setempat, Rabu (25/10/2023).
Rektor Unila, Prof. Lusmeilia Afriani mengatakan, pihaknya berharap kepada profesor yang sudah dikukuhkan tersebut, dapat menjadi motivasi bagi dosen lain di kampus hijau tersebut.
"Kami berharap, ini bisa menjadi motivasi dan mereka bisa menjadi motor penggerak dalam penelitian dan pengabdian, serta inovasi untuk memberikan yang terbaik lagi," kata Rektor perempuan pertama Unila itu.
Dengan bertambahnya guru besar ini, diharapkan bisa membantu memberikan kemajuan pendidikan di Unila.
"Kami harap ilmu yang didapat Prof. Rudy bisa terus dimanfaatkan dan diberikan kepada para mahasiswanya," ujar Lusmeilia Afriani.
Dengan dikukuhkannya Prof Rudy sebagai guru besar, maka jumlah guru besar Unila berjumlah jadi 111 orang. Sementara untuk di Fakultas Hukum Unila, Prof Rudy jadi guru besar ke delapan, ketika usianya masih 42 tahun dan menjadi guru besar termuda.
Saat pengukuhan, Wakil Rektor II Bidang Umum dan Keuangan Unila itu membawakan orasi ilmiah berjudul 'Pembangunan Hukum Indonesia di Persimpangan Jalan : Refleksi 4 Abad Pembangunan Hukum di Nusantara'.
Orasi ilmiah tersebut, diambil karena ia melihat saat ini di Indonesia sistem hukum nya baik itu Kitab Hukum Undang-Undang Pidana (KUHPidana) maupun Kitab Hukum Undang-Undang Perdata (KUHPerdata), merupakan warisan sejak zaman penjajahan Belanda masuk di bumi Indonesia.
Padahal saat ini Indonesia memiliki sistem hukum adat yang tidak tertulis bersumber dari bangsa sendiri, dimana hukum tersebut tidak pernah tertulis dalam tatanan hukum di Indonesia.
"Selama 78 tahun kita membangun NKRI, termasuk di dalamnya melakukan pembangunan hukum nasional dan pencarian identitas hukum nasional. Dalam konteks Nusantara, sudah 4 abad pembangunan hukum ini dilakukan. Selama periode yang lama itu pula kita belum berhasil menemukan identitas hukum nasional tersebut," tegas Prof. Rudy
Ia mengatakan, pembangunan hukum di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari proses pembangunan hukum yang dimulai sejak zaman Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) di nusantara, tidak kurang dari 4 abad yang lalu.
"Dalam sistem hukum Belanda, penyusunan hukum dikenal pada masa aneksasi Belanda sebagai bagian dari kekaisaran Perancis melalui ekspansi Napoleon. Pada tahun 1810, undang-undang yang dikenal dengan nama Undang-undang Napoleon dalam hukum perdata, undang-undang perdagangan dalam hukum dagang, dan undang-undang pidana untuk hukum pidana dijalankan di Belanda sebagai salah satu negara yang dianeksasi Perancis," tukasnya.
Pembangunan hukum Indonesia erat kaitannya dengan sistem hukum Belanda. Pada masa kolonial. Pemerintah Hindia Belanda menerapkan asas concordantie dalam bidang hukum di seluruh wilayah Indonesia.
"Berdasarkan prinsip ini, hampir setiap undang-undang yang disahkan oleh parlemen Belanda akan berlaku di wilayah Indonesia beberapa tahun kemudian, dengan sedikit perubahan jika diperlukan," kata dia.
"Ketika Indonesia merdeka, UUD 1945 dalam Pasal II Aturan Peralihan mengatur bahwa semua peraturan perundang-undangan yang ada pada masa pemerintahan kolonial Belanda dengan sendirinya menjadi undang-undang dan peraturan perundang-undangan Republik Indonesia, hingga dicabut, dinyatakan batal atau diubah atau ditentukan bertentangan dengan Konstitusi," ungkapnya.
Konsekuensinya beber Rudy, peraturan-peraturan yang mengatur di Indonesia pasca kemerdekaan tetap sama dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku pada masa kolonial, seperti sebagian Undang-undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), Undang-undang Hukum Dagang (Wetboek van Koophandel) dan Undang-undang Kepailitan (Faillissement Verordening), sampai diubah dengan undang-undang baru yang diperkenalkan sejak tahun 1960.
Setelah berakhirnya orde lama dari pemerintahan presiden Soekarno kepada penggantinya presiden Soeharto, secara otomatis mengantarkan Indonesia menuju rezim yang baru dan kemudian dikenal dengan istilah Orde Baru.
"Argumentasi dasar yang digunakan pembangunan rezim orde baru yakni menciptakan suatu sistem yang mana kehidupan ekonomi, politik dan budaya dapat diterima semua pihak yakni didasarkan pada Pancasila dan UUD 1945," kata dia.
Dengan munculnya rezim Orde Baru Soeharto, pemahaman dasar mengenai hukum dalam makna instrumentalis kemudian menemukan tempatnya. Dalam periode ini hukum sebagai sarana pembangunan menjadi mazhab mainstream dalam pembangunan hukum Indonesia. Dalam periode ini, muncul mazhab hukum pembangunan yang sangat terkenal di era tersebut.
"Sejak tahun 1970-1990-an gagasan hukum sebagai alat rekayasa sosial digunakan untuk melayani program-program pembangunan yang dijalankan negara. Pada masa ini, hukum sebagai bagian dari washington consensus yang ingin menggunakan hukum sebagai alat untuk mencapai pertumbuhan dan stabilitas ekonomi," tegasnya.
Kemudian masuk pada masa reformasi, pada masa ini dilakukan amandemen Undang-Undang Dasar. Reformasi konstitusi diwujudkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) melalui empat kali perubahan UUD 1945 (1999-2002). Amandemen pertama dilakukan tahun 1999 dengan melakukan perubahan 9 Pasal UUD 1945. Pasal-pasal yang diamandemen tersebut lebih ditekankan pada konflik jatuhnya rezim Orde Baru, seperti Pasal 7 UUD 1945.
Dalam norma konstitusi yang lama, masa jabatan presiden tidak disebutkan pembatasan waktu masa jabatannya. Oleh karena itu, pasca dilakukannya amandemen, norma pasal 7 UUD 1945 mempertegas pembatasan jabatan, yakni; bahwa Presiden dan Wakil Presiden memegang masa jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatannya yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan.
Menurutnya, Indonesia mengenai pembangunan hukum di nusantara sampai saat ini, beberapa hal dapat disimpulkan yaitu pertama, bahwa pembangunan hukum sampai akhir millenium konsisten pada tradisi hukumnya. Kedua, transplantasi hukum secara terus menerus berlangsung sejak awal bangsa barat menginjakkan kakinya di nusantara pelan pelan menggerus hukum asli Indonesia. Ketiga, globalisasi dan borderless nation mengakibatkan proses konvergensi sistem hukum terjadi tentunya melalui transplantasi hukum yang lebih masif dan cepat.
"Dalam hal ini, dua tradisi hukum yang dominan di dunia – sistem hukum sipil dan sistem hukum common law ditemukan berjalan berdampingan di Asia. Di zaman ketika kerja sama dan saling pengertian merupakan tujuan utama, terdapat dorongan kuat bagi para praktisi dan ilmuwan hukum dari masing-masing sistem untuk mengenal dan mempelajari sistem yang lain," pungkasnya. (*)
Berita Lainnya
-
Dengarkan Suara Pengguna Jasa, Pelindo Regional 2 Panjang Gelar Survey Kepuasan Pelanggan
Kamis, 18 September 2025 -
Fakultas Adab UIN RIL Siap Usulkan Prodi Baru
Kamis, 18 September 2025 -
Gubernur Mirza Lantik Anang Risgianto Jadi Kepala Bappeda dan Rendi Reswandi Kepala BKD
Kamis, 18 September 2025 -
Kapal Dalom Tak Kunjung Beroperasi, Kadishub Lampung: Masih Terkendala Dokumen
Kamis, 18 September 2025