• Selasa, 18 Juni 2024

Digelar Sejak 1980, PRL Kini Lebih Jadi Ajang EO Cari Keuntungan

Senin, 27 Mei 2024 - 08.24 WIB
620

Pekan Raya Lampung. Foto: Ist.

Kupastuntas.co, Bandar Lampung - Tidak terasa Pekan Raya Lampung atau PRL sudah digelar selama 44 tahun, terhitung sejak pertama kali digelar pada tahun 1980. Jika awalnya PRL bertujuan memperkenalkan kekayaan budaya dan potensi ekonomi Lampung kepada masyarakat luas. Kini dalam prakteknya, PRL lebih jadi ajang event organizer (EO) atau pelaksana kegiatan untuk mencari keuntungan.

Tidak bisa dipungkiri bahwa PRL telah menjadi ikon Provinsi Lampung. PRL dilaksanakan mengikuti jejak kesuksesan DKI Jakarta dalam menggelar Pekan Raya Jakarta yang selalu dinanti pelaku usaha dan masyarakat.

Pekan Raya Jakarta mampu mendorong banyak pelaku usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) yang kemudian mampu eksis dan berkembang usai mengikuti pameran di pameran tersebut. Tidak berlebihan jika kemudian Pemprov Lampung menirunya dengan menggelar PRL sejak tahun 1980.

Sayangnya, tujuan awal pelaksanaan PRL yang ingin memperkenalkan mengangkat kekayaan budaya dan potensi ekonomi Lampung, justru lambat laun berubah menjadi pentas hiburan rakyat dengan mendatangkan artis-artis dari Jakarta untung mengundang pengunjung datang.

Sebagai timbal baliknya, pelaksana atau EO PRL mewajibkan pengunjung membeli tiket masuk dengan harga cukup lumayan berkisar Rp15 ribu sampai dengan Rp50 ribu per orang. Filosofi PRL yang harapannya bisa menjadi ajang promosi bagi produk-produk unggulan daerah dan mengangkat potensi ekonomi daerah Lampung mulai terpinggirkan.

Dampaknya, hampir setiap tahun hingga tahun 2024 ini, pelaksanaan PRL yang kini ditangani pihak ketiga alias EO (pengusaha) cenderung untuk mencari keuntungan semata dengan mendatangkan artis-artis ke PRL. Sehingga pengunjung yang datang lebih tertarik menonton pentas musik daripada melihat pameran kerajinan tangan, pakaian adat, kuliner khas daerah dan seni tradisional yang ada di Lampung.

PRL tahun 2024 dibuka langsung oleh Gubernur Lampung, Arinal Djunaidi di Pusat Kegiatan Olahraga (PKOR) Way Halim, Bandar Lampung, pada Rabu (22/5/2024) malam. PRL akan berlangsung hingga 10 Juni 2024 mendatang.

Sejak itu pula, pelaksanaan PRL langsung panen keluhan dan kritikan dari pada pengunjung. Salah satunya ketidak ketersediaan tempat parkir di lokasi PRL hingga terpaksa pengunjung parkir di ruas jalan tanpa tertata dengan baik.

Bukan hanya itu, tiket masuk ke PRL yang dipatok dengan harga Rp15 ribu sampai dengan Rp50 ribu juga dinilai membebani pengunjung. Lalu, lokasi PRL yang kondisi jalannya digenangi air pasca turun hujan ikut menuai keluhan pengunjung.

"Parkiran kegiatan PRL kali ini tidak lagi disediakan di dalam lingkungan PKOR. Ketidakjelasan penanggung jawab parkiran tentu menjadi pertanyaan bagi para pengunjung karena tarif parkir dipatok semaunya. Di tiket motor Rp10 ribu dan mobil Rp20 ribu, tapi dalam prakteknya ada mobil yang ditarik parkir hingga Rp40 ribu,” kata seorang pengunjung PRL, Nasrul.

Aris, pengunjung lain juga mengeluhkan hal yang sama. Ia mengatakan tarif parkir motor di karcis tertulis Rp10.000 dan Rp20.000 untuk kendaraan roda empat ini saja sudah terlalu tinggi.

"Saya tadi dimintai uang parkir Rp10.000. Menurut saya dengan biaya sebesar itu cukup mahal dan harus ada kejelasan tentang tanggung jawab dari risiko yang akan terjadi seperti jika ada kerusakan sampai ada kehilangan kendaraan," jelasnya.

Anggota DPRD Provinsi Lampung, Mikdar Ilyas menilai, pelaksanaan PRL tahun ini yang dilaksanakan oleh PT Grand Modern Indonesia terkesan mengulang kegiatan PRL tahun sebelumnya, dan tidak adanya kegiatan baru yang disajikan kepada masyarakat.

"Seharus nya ada perubahan atau hal yang baru. Jadi tidak hanya melakukan kegiatan yang sama setiap tahunnya. Kalau bisa apa kelebihan Lampung kita tonjolkan untuk menggaet pengusaha dan investor masuk ke sini," kata Mikdar.

Menurutnya, Provinsi Lampung memiliki banyak potensi dan sumber daya alam yang bisa ditawarkan kepada para investor agar mau berinvestasi. Potensi itu mulai dari sektor pariwisata hingga pertanian.

Selain itu, lanjut Mikdar, penyelenggara PRL juga bisa menonjolkan kelebihan di sektor pariwisata. Karena keindahan pantai-pantai di Lampung tidak kalah jika dibandingkan dengan Bali.

"Sehingga  even PRL selain bisa menjadi ajang hiburan bagi rakyat juga bisa menggaet investor untuk masuk ke Lampung," tegasnya.

Mikdar juga menyoroti harga tiket masuk ke PRL yang terlalu mahal serta biaya parkir yang sering dikeluhkan oleh masyarakat setiap tahunnya.

"Ini juga perlu dipertimbangkan oleh EO dan Pemprov Lampung, dimana masyarakat sering mengeluhkan tarif tiket masuk ke area PRL. Jangan lah mahal-mahal, sehingga tujuan PRL sebagai sarana hiburan rakyat dapat tercapai," ungkapnya.

Pengamat Kebijakan Publik Universitas Lampung, Yusdianto juga menilai even PRL tahun 2024 terkesan hanya menjadi ajang bisnis.  

Yusdianto mengatakan, esensi PRL yang dulu biasa disebut Lampung Fair adalah memamerkan kinerja Pemprov Lampung dan bukan ajang bisnis yang mematok tarif tinggi untuk tiket masuk.

Menurut Yusdianto, Pemprov Lampung seperti lupa akan esensi dan tujuan dari diselenggarakannya PRL. "Yang harus diingatkan adalah esensi dari Lampung Fair atau PRL adalah menyiarkan hasil pembangunan pemerintah daerah yang ada di Provinsi Lampung. Jadi esensinya adalah memamerkan hasil kinerja pemimpin daerah," kata Yusdianto.

Ia mengatakan, dengan esensi seperti itu semestinya unsur pengemasan pameran hasil pembangunan harus lebih ditonjolkan. Sehingga ajang hiburan musik dan lainnya tidak perlu terlalu difokuskan.

"Kalau hiburan dan seterusnya itu adalah pelengkap saja. Yang paling penting adalah memamerkan hasil kinerja dari capaian kinerja kepala daerah,” ujarnya.

"Kalau pentas hiburan itu kan hanya agar PRL lebih menarik atau sifatnya partisipatif. Jadi jangan hanya sekedar memindahkan pusat keramaian saja seperti dari pasar ke pameran,” lanjutnya.

Ia mengingatkan agar Pemprov Lampung sudah seharusnya memikirkan hal dasar tersebut, dan bukan sebaliknya menjadikan hal ini sebagai lahan bisnis belaka.

"Jadi kritik kita yang paling mendasar adalah harus dikembalikan kepada esensi yang sesungguhnya. Apa tujuan dari Pekan Raya Lampung atau Lampung Fair itu. Kalau esensinya itu adalah memamerkan hasil kinerja maka harus melibatkan semua pihak dan tidak boleh bayar," paparnya.

Ia melanjutkan, walaupun nanti ada biaya tambahan atau sebagainya, harus disesuaikan dengan kemampuan masyarakat.

Yusdianto menegaskan, bila dilihat dari riwayat dari tahun ke tahun, pelaksanaan PRL yang digelar setiap tahunnya bukan semakin ramai, melainkan kian sepi pengunjung.

"Kita sudah lihat dari tahun sebelumnya, cenderung sepi karena tarif yang begitu tinggi. Kalau itu mengarah bisnis maka tidak perlu dinamakan atau diadakan PRL atau Lampung Fair," tegasnya.

Yusdianto menyarankan, cukup gelar saja festival Lampung atau sebagainya. Jangan menggunakan agenda provinsi, tetapi memberatkan masyarakat luas. (*)

Artikel ini telah terbit di Surat Kabar Harian Kupas Tuntas, edisi Senin 27 Mei 2024, dengan judul "Digelar Sejak 1980, PRL Kini Lebih Jadi Ajang EO Cari Keuntungan"