Kebijakan Harga Singkong Rp1.350 Disebut Tidak Efektif

Akademisi Universitas Lampung (Unila), Usep Saepudin. Foto: Sri/Kupastuntas.co
Kupastuntas.co, Bandar Lampung -Menteri Pertanian telah menetapkan harga singkong di Provinsi Lampung sebesar Rp1.350 per kilogram. Namun, kebijakan ini dinilai tidak akan efektif dalam menyelesaikan permasalahan harga singkong yang terus merugikan petani.
Akademisi Universitas Lampung (Unila), Usep Saepudin, mengungkapkan bahwa penetapan harga semacam ini hanya bersifat sementara dan tidak mampu menyentuh akar permasalahan.
Ia mengibaratkan kebijakan ini seperti memberikan parasetamol yang hanya menurunkan demam sesaat, tetapi tidak menyembuhkan penyakit.
"Permasalahan utama terletak pada ketidakseimbangan antara permintaan dan pasokan. Di sisi lain, pasar justru dikuasai oleh segelintir pengusaha besar," kata Usep. Minggu (9/2/2025).
Menurutnya, di lapangan, jumlah pembeli singkong sangat terbatas, sementara produksi petani melimpah. Hal ini membuat harga singkong sepenuhnya dikendalikan oleh pengusaha besar.
Terlebih jelasnya, berdasarkan data dari Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Lampung menunjukkan bahwa selama 2024 telah terjadi impor tapioka sebesar 267 ribu ton dengan nilai mencapai Rp2,2 triliun. Lebih ironisnya lagi, 80 persen dari impor tersebut dikuasai oleh satu grup besar yang terdiri dari empat perusahaan.
"Ini jelas bukan pasar dengan persaingan sempurna. Pasca penetapan harga oleh pemerintah, pabrik-pabrik tapioka justru dengan mudah menghentikan pembelian singkong dari petani dengan berbagai alasan," ujarnya.
Lampung sendiri merupakan produsen singkong terbesar di Indonesia, dengan prediksi produksi mencapai 7,5 juta ton pada 2024. Namun, tingginya produksi tidak berdampak positif bagi petani. Sebaliknya, mereka harus menghadapi harga singkong yang terus anjlok, sementara harga produk olahan seperti tapioka tetap stabil bahkan cenderung naik.
Kebijakan pemerintah membuka keran impor tapioka dari Vietnam dan Thailand juga menuai kritik. Menurut Usep, keputusan ini sangat disayangkan mengingat produksi singkong lokal tengah melimpah.
"Mengapa kita masih membuka impor dari luar, sementara singkong petani kita melimpah dan tidak terserap?" katanya.
Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa pabrik-pabrik tapioka bisa dengan mudah menutup operasional selama sebulan tanpa mengalami kerugian besar, karena mereka telah menikmati keuntungan selama 11 bulan lainnya.
Sebagai solusi, Usep mendorong pemerintah untuk memperkuat kelembagaan petani dan meningkatkan produktivitas lahan singkong. Ia juga menekankan pentingnya kehati-hatian dalam memberikan izin impor, agar tidak merugikan petani lokal.
"Kita harus bijak dalam mengatur kebijakan perdagangan dan impor. Jangan sampai kebijakan yang diambil justru menjadi bumerang bagi petani kita sendiri," tutupnya. (*)
Berita Lainnya
-
Notaris Junianto Ubah Pemegang Saham PT Silika Timur Abadi dengan Akta Nomor 12 Tahun 2021
Rabu, 14 Mei 2025 -
Genangan Air di jalan Yos Sudarso, Pemkot Bandar Lampung Minta Balai Ambil Peran
Rabu, 14 Mei 2025 -
Polda Lampung Tegas Perangi Premanisme
Rabu, 14 Mei 2025 -
Lakukan Pungli ke Pedagang Pasar Gudang Lelang, Ayah dan Anak di Bandar Lampung Ditangkap
Selasa, 13 Mei 2025