• Selasa, 17 Juni 2025

Nopiyadi Dorong Kejari Lampung Barat Bongkar Mafia Tanah Terbitkan 121 SHM di TNBBS

Selasa, 17 Juni 2025 - 13.23 WIB
35

Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Lampung Barat, Nopiyadi. Foto: Ist

Kupastuntas.co, Lampung Barat - Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Lampung Barat, Nopiyadi  meminta agar Kejaksaan Negeri (Kejari) Lampung Barat mengusut tuntas dugaan mafia tanah di Bumi Beguai Jejama Sai Betik.

Hal tersebut disampaikan Nopiyadi menanggapi temuan 121 Sertifikat Hak Milik (SHM) oleh Kejari Lampung Barat yang diduga berada di dalam kawasan konservasi Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS).

Nopiyadi mengapresiasi kinerja Kejari yang berhasil mengungkap dan mengamankan dokumen penting tersebut. Ia menilai langkah ini sebagai bukti keseriusan aparat penegak hukum memberantas praktik ilegal, khususnya yang berkaitan penguasaan dan pengalihan tanah di kawasan hutan lindung.

“Saya selaku anggota DPRD Lampung Barat sangat mengapresiasi langkah cepat dan tepat yang dilakukan Kejari. Ini menjadi tonggak awal untuk membongkar praktik-praktik mafia tanah yang selama ini meresahkan masyarakat dan merugikan negara, khususnya di kawasan konservasi seperti TNBBS,” ujar Nopiyadi, Selasa (17/6/2025).

Nopiyadi juga mengimbau masyarakat agar tidak panik terkait persoalan tersebut, jangan sampai termakan isu liar yang seolah-olah menjadi hal yang sangat mengerikan dengan kejelasan 121 SHM yang ada di kawasan TNBBS tersebut.

"Kita tunggu penanganan yang dilakukan pihak Kejari, kita berfikir positif saja, apakah nanti status nya memang harus dikembalikan ke TNBBS atau seperti apa semua harus jelas, untuk kebaikan masyarakat juga," imbuhnya.

Lebih jauh, ia menekankan bahwa keberadaan ratusan SHM di kawasan yang secara hukum tidak diperbolehkan untuk dimiliki secara pribadi merupakan indikasi adanya praktik mafia tanah yang terstruktur. Ia mendesak agar Kejaksaan tidak berhenti pada pengumpulan dokumen.

Namun segera menindaklanjuti dengan investigasi mendalam untuk mengungkap siapa saja yang terlibat, baik dari pihak penerbit, pemohon, maupun oknum-oknum lain yang mungkin memuluskan proses penerbitan tersebut.

“Kejaksaan harus menyelidiki secara menyeluruh. Siapa yang menerbitkan, siapa yang menerima, dan bagaimana bisa tanah di kawasan TNBBS bisa memiliki SHM. Ini jelas pelanggaran serius dan harus ditindak tegas,” tambahnya.

Nopiyadi juga mengingatkan kepada masyarakat agar tidak mudah tergiur oleh tawaran-tawaran lahan murah yang tidak jelas legalitasnya, banyak oknum tidak bertanggung jawab memanfaatkan ketidaktahuan warga untuk menawarkan lahan di wilayah terlarang, termasuk dalam kawasan hutan lindung.

“Warga jangan mudah percaya dengan iming-iming harga murah dan janji penerbitan sertifikat oleh oknum yang bukan berasal dari instansi resmi, seperti BPN (Badan Pertanahan Nasional). Apalagi jika tawaran tersebut berada di kawasan TNBBS atau area yang secara hukum tidak bisa dimiliki pribadi. Itu bisa menjadi jebakan hukum,” tegasnya.

Ia menekankan bahwa pemerintah, aparat penegak hukum, serta pihak terkait seperti Balai Besar TNBBS dan BPN harus meningkatkan pengawasan dan edukasi kepada masyarakat mengenai status lahan di daerah masing-masing, agar tidak terjerumus dalam praktik ilegal yang bisa berdampak hukum.

“Banyak masyarakat awam yang tidak tahu bahwa tanah yang mereka beli masuk dalam kawasan hutan lindung. Oleh karena itu, selain penegakan hukum, edukasi juga penting dilakukan secara masif dan berkelanjutan,” imbuh Nopiyadi.

Menurutnya, kejadian ini menjadi momentum penting untuk memperbaiki tata kelola pertanahan di Lampung Barat dan daerah-daerah lain yang bersinggungan dengan kawasan konservasi. Ia menyebut, jika praktik semacam ini terus dibiarkan, maka selain merugikan negara secara ekonomi, juga akan berdampak buruk terhadap kelestarian lingkungan hidup.

“Jika hutan lindung terus dirambah karena ulah mafia tanah, kita akan kehilangan bukan hanya sumber daya alam, tapi juga menghadapi ancaman bencana ekologis seperti banjir, longsor, dan kepunahan satwa,” pungkasnya. (*)