• Jumat, 04 Juli 2025

Pengadaan Buku Perpustakaan SDN 1 Sebarus Lampung Barat Diduga Langgar Prosedur

Jumat, 04 Juli 2025 - 15.17 WIB
189

SDN 1 Sebarus, Lampung Barat. Foto: Ist

Kupastuntas.co, Lampung Barat - Pengadaan buku perpustakaan Sekolah Dasar Negeri (SDN) 1 sebarus tahun pelajaran 2022-2023 diduga tidak sesuai prosedur. Dugaan ini muncul setelah ditemukan ketidak sesuaian mekanisme antara pihak sekolah, penerbit dan Dinas Pendidikan, serta dapat dilihat dari data berupa dokumen pengadaan yang ditunjukkan pihak sekolah.

Berdasarkan penelusuran Kupastuntas.co, pengadaan buku dilakukan benar melalui platform Sistem Informasi Pengadaan Sekolah (SIPLah) namun kuat dugaan proses terlaksana hanya sebatas formalitas dan sarat rekayasa karena dilihat dari data yang ditunjukkan pihak sekolah dan penerbit tidak mengacu pada alur SIPLah yang dianjurkan pemerintah.

Sales penerbit Yudhistira wilayah Lampung Barat, mansur mengaku bahwa pengadaan dilakukan melalui SIPLah, dan seluruh mekanismenya sudah sesuai aturan, namun kesalahan dalam pengiriman buku seperti kelebihan jumlah, kekeliruan judul, atau ketidak sesuaian kelas adalah hal yang biasa terjadi.

“Pemesanan memang melalui SIPLah, kalau terjadi kesalahan itu umum, karena pengiriman dilakukan dari cabang yang menangani seluruh kabupaten. Kami hanya bisa kroscek secara data sebelum kirim. Jika sekolah sudah menyatakan cocok antara pesanan dan fisik, kami anggap tidak ada masalah,” ujar Mansur.

BACA JUGA: Buku Perpustakaan SD di Lampung Barat Dijual Bebas, Ini Respons Dinas Pendidikan

Mansur menambahkan, pengembalian (return) buku dilakukan pada 17 Maret 2023. Namun, ketika dimintai data lengkap pengadaan, ia sempat keberatan karena awalnya yang dibahas hanya buku bermasalah, bukan seluruh transaksi. Ia kembali menegaskan jika mekanisme pemesanan buku sudah sesuai aturan yang berlaku melalui aplikasi.

“Awalnya fokusnya buku yang bermasalah, kok sekarang mengarah ke keseluruhan data. Modelnya jadi seperti itu bagaimana?,” katanya, menunjukkan ketidaksiapan membuka seluruh dokumen, yang memunculkan kecurigaan adanya pelanggaran prosedur.

Sikap tertutup juga ditunjukkan Kepala SDN 1 Sebarus, Darlin. Ia awalnya enggan memberikan akses untuk dokumentasi rincian pemesanan buku, dengan alasan kerahasiaan internal sekolah. Ia menyebut data tersebut biasanya hanya diberikan kepada Aparat Penegak Hukum (APH), dan khawatir akan penyalahgunaan jika difoto dan tersebar.

“Kami bukan menolak, hanya hati-hati. Ini data bisa saja disalahgunakan jika HP hilang atau digunakan orang lain. Tapi ini bisa dipertanggungjawabkan, sudah diperiksa BPK juga,” kata Darlin.

Darlin menjelaskan setelah seluruh proses transaksi pemesanan buku dan pengiriman selesai dilakukan dan begitu buku diterima, petugas perpustakaan langsung melakukan cap untuk pendataan sesuai prosedur yang berlaku pada alur pemesanan menggunakan SIPLah.

Namun anehnya pesanan buku yang seharusnya hanya 20 mengalami kelebihan sebanyak 6 eksemplar dan oleh petugas perpustakaan tetap dilakukan pengecapan, padahal petugas tau jika buku yang dipesan hanya 20 eksemplar hal tersebut kembali menunjukkan adanya pelanggaran prosedur.

BACA JUGA: Kata Penerbit Terkait Buku Perpustakaan SD Dijual Bebas di Marketplace: Kelebihan Pengadaan

Seharusnya jika pihak sekolah sudah tau jumlah buku yang diterima melebihi pesanan seharusnya kelebihan buku langsung disisihkan dan tidak langsung dilakukan pengecapan oleh pihak sekolah, menunjukkan kurangnya pengawasan yang dilakukan pihak sekolah ataupun penerbit.

Terlebih lembaran daftar pemesanan buku yang ditunjukkan oleh Darlin, diduga tidak termasuk dalam alur pengadaan buku melalui SIPLah, pada dokumen tertera nama Yudhistira Group serta di tandatangani dan diberi cap basah, sedangkan pada sistem SIPLah tidak ada dokumen yang diberi cap basah karena semua sudah berbasis online.

Bendahara sekolah SD 1 Sebarus Utsman mengatakan, pemesanan melalui SIPLah dilakukan setelah adanya koordinasi antara sekolah dan penerbit dan kepala sekolah, dengan memperhatikan kebutuhan dan jumlah siswa. Penerbit dipilih berdasarkan harga dan layanan, bukan karena intervensi.

“Kami membandingkan harga di SIPLah, kemudian setelah cocok di acc pak kepala sekolah kami langsung proses, setelah itu pilih Yudhistira karena pelayanannya cepat dan komunikatif. Pengiriman biasanya butuh waktu 1–2 bulan, itu normal. Tidak ada paksaan memilih penerbit,” jelasnya.

Ia juga mengaku bahwa seluruh alur pemesanan buku perpustakaan sudah sesuai dengan prosedur SIPLah, namun saat dimintai bukti transfer dan SPJ, Utsman mengaku tidak dapat menunjukkannya karena sudah tidak menjabat sebagai bendahara, dan lupa menyimpan dokumen tersebut.

“Bukti pembayaran ada, tapi saya tidak ingat di mana. Itu sudah lama, mungkin bendahara yang sekarang masih menyimpan,” ujarnya.

Sementara itu, terpisah sumber pihak sekolah lain yang enggan disebutkan namanya mengatakan bahwa pihak penerbit dalam belanja buku kerap mengeluarkan rabat atau yang biasa disebut sebagai cashback, yang diberikan langsung kepada pihak sekolah.

"Namun anehnya, rabat yang semestinya kembali ke kas negara justru dikembalikan ke pihak skeolah, padahal dalam regulasi keuangan negara telah mengatur setiap perbelanjaan yang menggunakan keuangan negara rabat atau cashback atau diskon harus dikembalikan pihak penyedia ke kas negara," ujar sumber yang juga penyelenggara pendidikan di kabupaten Lampung Barat.

Sementara itu, Kasi Kurikulum Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Lampung Barat, Lediyawati, menegaskan bahwa seluruh pengadaan buku di sekolah harus dilakukan melalui SIPLah, dan SPJ wajib dimiliki serta disimpan sebagai bentuk pertanggungjawaban keuangan negara.

“Kalau melalui SIPLah, tidak ada proses manual dan tidak ada negosiasi langsung. Prosesnya seperti belanja online jika sudah transfer, barang langsung dikirim. Tidak ada alasan pengiriman mundur 1–2 bulan,” tegas Ledy.

Ia menduga, sekolah hanya menggunakan SIPLah sebagai formalitas transaksi, sementara komunikasi dan negosiasi dilakukan secara langsung dengan penerbit, yang rata-rata merupakan warga lokal Lampung Barat. Hal ini tentu menimbulkan potensi konflik kepentingan dan pelanggaran asas transparansi dalam pengadaan barang dan jasa.

“Terkesan hanya setengah hati menggunakan SIPLah. Kalau sudah transfer dan upload, buku seharusnya langsung dikirim. Kalau masih menunggu dua bulan, berarti ada masalah antara keduanya pada saat transaksi,” kata Ledy.

Ia menegaskan Dinas tidak pernah mengondisikan pihak sekolah untuk memilih penerbit tertentu. Peran Dinas hanya menginput daftar harga ke dalam sistem ARKAS. “Kami tidak mengarahkan ke siapa pun. Kalau daftar harga tidak tercantum, sekolah tidak bisa membeli buku dari penerbit itu,” ujarnya.

Lebih jauh, Ledy menyebut bahwa potensi kesalahan dalam pengadaan memang ada, tetapi seharusnya bisa diminimalisir jika mekanisme SIPLah dijalankan sesuai aturan. Ia juga menekankan bahwa minimal 10 persen dari anggaran BOS dialokasikan untuk pengadaan buku perpustakaan, sesuai dengan kebutuhan sekolah.

Disinggung mengenai kemungkinan adanya cashback yang diberikan pihak penerbit, ia mengatakan semua alur pengadaan menjadi tanggung jawab sekolah, sehingga yang bertanggungjawab sepenuhnya terkait hal tersebut adalah pihak sekolah.

Dengan berbagai temuan tersebut, muncul dugaan bahwa pengadaan buku perpustakaan SDN 1 Sebarus tidak sepenuhnya mengikuti prosedur SIPLah secara utuh dan dapat membuka ruang pelanggaran administratif. Ketidak terbukaan dalam akses data dan lemahnya dokumentasi menjadi indikasi potensi pelanggaran yang harus ditelusuri lebih lanjut oleh pihak berwenang.

Sebelumnya, kasus ini bermula saat ditemukan buku bercap “Perpustakaan SDN 1 Sebarus, Kecamatan Balik Bukit, Kabupaten Lampung Barat” dijual bebas di marketplace Shopee. Sontak temuan ini menguatkan dugaan adanya praktik jual beli buku milik perpustakaan sekolah yang notabene adalah milik negara. (*)