• Jumat, 04 Juli 2025

Tradisi Adat Pangan Balak Warnai HUT Desa Sukajaya di Tanggamus, Ketika Warisan Budaya Menyatukan Warga

Jumat, 04 Juli 2025 - 11.09 WIB
42

Tradisi menyatukan Warga rayakan HUT Pekon Sukajaya ke-14 dengan Pangan Balak, simbol budaya dan kebersamaan Lampung. Foto: Sayuti/Kupastuntas.co

Kupastuntas.co, Tanggamus - Langit cerah menaungi Gedung Keserasian Pekon (Desa) Sukajaya pagi itu. Udara semilir membawa aroma rempah dari dapur-dapur warga yang sejak subuh telah bergotong royong menyiapkan hidangan untuk Pangan Balak.

Suara tawa anak-anak berpadu dengan derap kaki peserta karnaval budaya yang mengenakan pakaian adat, menjadikan hari itu bukan sekadar perayaan ulang tahun desa, tapi sebuah pesta kebudayaan yang menghidupkan kembali denyut warisan Lampung.

Pekon Sukajaya, sebuah desa di Kecamatan Semaka, Kabupaten Tanggamus, genap berusia 14 tahun. Namun semangat warga dalam merayakannya terasa seperti napas lama yang baru dihidupkan kembali.

Untuk pertama kalinya, Pangan Balak, tradisi adat yang sarat makna kebersamaan dan gotong royong, digelar sebagai bentuk penghormatan terhadap leluhur sekaligus syukur atas kebersamaan.

“Ini bukan hanya tentang makan bersama. Pangan Balak adalah hati dan jati diri kita sebagai orang Lampung,” ujar Abdul Karim, Kepala Pekon Sukajaya yang juga Ketua APDESI Kecamatan Semaka. Jumat (4/7/25).

“Saya ingin momentum ini menjadi titik awal. InsyaAllah tiap tahun akan kita gelar, bukan hanya sebagai acara, tapi sebagai gerakan pelestarian adat," tambahnya.

Acara ini tidak hanya dihadiri tokoh-tokoh masyarakat, pemuka adat Saibatin, Batin Mangku, dan Batin Minak Ayu, tapi juga menjadi tempat berkumpul bagi warga dari berbagai penjuru kecamatan, dari Pematangsawa hingga Pengikhan, dari Dalom hingga Jukhagan. Di tengah keragaman marga dan latar belakang, semua menyatu dalam suasana guyub dan hangat.

“Saya sampai merinding lihat anak-anak muda ikut nari piccak khakot dan sekhah busekhah. Ini jarang sekali terjadi sekarang. Rasanya seperti kembali ke masa kecil,” ucap Sarni (52), warga setempat, sambil menyeka air mata haru.

Rangkaian kegiatan dimulai dengan karnaval budaya arak buarak, diikuti dengan pertunjukan tari pedang, pencak silat, dan berbagai ritual adat lainnya yang menggambarkan nilai-nilai kearifan lokal.

Malam harinya, pentas seni dari sanggar Gemapusaka menghidupkan panggung dengan tarian Sambayan Mulli Menganai, menampilkan simbol keselarasan antara perempuan dan laki-laki dalam struktur adat Lampung.

Rendi (21), warga muda yang turut serta dalam karnaval, mengaku bangga bisa terlibat. “Saya baru pertama kali ikut Pangan Balak. Ternyata maknanya dalam sekali. Ada filosofi gotong royong, rasa syukur, dan kebersamaan. Kami yang muda-muda jadi makin cinta sama budaya sendiri,” katanya.

Puncak acara akan ditutup pada Sabtu malam nanti dengan pagelaran wayang kulit, menandai akhir dari rangkaian perayaan HUT Pekon Sukajaya yang berlangsung sejak 3 Juli 2025.

Namun, bagi warga, kenangan dan semangat hari itu akan terus hidup, mengalir dalam percakapan, dalam cerita anak-anak, dan dalam setiap upaya menjaga jati diri.

“Pangan Balak adalah cermin dari siapa kita. Saya berharap pekon-pekon lain di Semaka bisa ikut melestarikan tradisi ini. Budaya kita kaya, tinggal bagaimana kita menjaganya,” tutup Abdul Karim dengan penuh harap.

Di bawah cahaya lampu gantung dan lantunan musik tradisional yang mengiringi, wajah-wajah warga berseri. Tak ada batas antara tua dan muda, laki-laki dan perempuan.

Di meja panjang berisi aneka makanan tradisional, semua duduk bersisian, saling berbagi nasi, cerita, dan senyum, sebuah potret sederhana tentang Indonesia yang rukun dan kaya budaya, yang dimulai dari pekon kecil bernama Sukajaya. (*)