• Minggu, 06 Juli 2025

Topeng, Tarian dan Jejak Keratuan: Kala Lampung Berbicara Lewat Festival Krakatau

Minggu, 06 Juli 2025 - 10.15 WIB
34

Wakil Gubernur Lampung, Jihan Nurlela dalam Festival Krakatau. Foto: Ist.

Kupastuntas.co, Bandar Lampung - Hujan mengguyur deras langit Bandar Lampung siang itu, Sabtu (5/7/2025). Namun, semangat ratusan orang yang memadati Lapangan Korpri tak surut sedikit pun.

Mereka datang membawa sesuatu yang lebih dari sekadar atribut, tapi mereka membawa wajah budaya. Tepat di tengah kompleks Kantor Gubernur Lampung, topeng-topeng dari seluruh penjuru provinsi tampil dalam parade megah bertajuk Lampung Mask Street Carnival, puncak perayaan Festival Krakatau XXXIV.

Lebih dari sebuah pertunjukan, topeng-topeng itu adalah warisan. Masing-masing memiliki cerita, karakter, dan makna yang mengakar dalam sejarah daerah asalnya.

Dari 15 kabupaten/kota di Lampung, perwakilan hadir membawa tarian dan topeng khas masing-masing. Bahkan masyarakat luar suku, di antaranya Jawa, Minang, Bali juga ikut tampil, menjadikan panggung ini sebagai refleksi wajah pluralisme Lampung yang sejati.

Salah satu pertunjukan yang menyita perhatian datang dari rombongan Lampung Selatan. Ridwan (45), budayawan sekaligus praktisi seni, memimpin kelompok penari yang mengenakan Tupping 12 Wajah Keratuan Darah Putih.

Topeng-topeng itu bukan sembarang properti tari. Ia adalah warisan yang hanya boleh ditampilkan tiga dekade sekali, dengan restu para pemangku adat.

"Tupping ini dulu digunakan oleh prajurit Radin Inten II. Ada 12 orang, menyamar dan menyebar dari Selat Sunda hingga Kota Agung untuk melawan penjajahan," terang Ridwan.

Ia mengatakan, tiap topeng melambangkan watak dan peran yang berbeda: dari strategi perang hingga spiritualitas, dari penakluk senyap hingga simbol pengorbanan.

Yang membuat tampilannya unik, para penari mengenakan pakaian dari daun-daunan adalah sebuah penghormatan pada cara para pejuang bergerilya, menyatu dengan alam, bersembunyi di hutan, menyamar dalam bayang-bayang. Kini, nilai-nilai itu dibingkai ulang lewat tarian dan musik, agar generasi muda bisa belajar lewat gerak dan rasa.

Dari sisi lain panggung, Aryo Wibowo (35) dan tim dari Kabupaten Tanggamus membawakan tarian topeng bertajuk Magistic of Teluk Semaka. Mereka menggunakan topeng dari bambu dan kain goni, menciptakan kesan rustic sekaligus elegan.

“Topeng di daerah kami sudah digunakan sejak zaman penjajahan. Kini kami tampilkan lagi sebagai bentuk cinta dan pelestarian," ungkapnya.

Tak sekadar menampilkan atraksi seni, Festival Krakatau juga menjadi etalase ekonomi kreatif. Rangkaian acara seperti bazar UMKM, lomba sambal seruit, hingga Krakatau Run menjadi ruang interaksi budaya, ekonomi, dan pariwisata. Panitia pun menyediakan 2.500 voucher wisata dan makanan gratis sebagai bentuk apresiasi kepada masyarakat.

Wakil Gubernur Lampung, Jihan Nurlela, menyebut festival ini sebagai refleksi kekayaan budaya yang tak hanya perlu ditampilkan, tapi juga dimaknai.

"Kami ingin menjadikan Lampung sebagai pusat budaya dan pariwisata nasional. Festival ini menjadi titik temu antara tradisi, kreativitas, dan harapan,” katanya.

Sementara itu, Kepala Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Lampung, Bobby Irawan, menjelaskan bahwa pengangkatan tema topeng tahun ini bukan kebetulan.

"Budaya topeng memiliki akar kuat dalam kehidupan masyarakat Lampung. Ia bukan hanya simbol, tapi juga ekspresi jiwa masyarakat dari masa ke masa,” ujar Bobby.

Lebih dari sekadar festival, Krakatau adalah napas panjang dari sejarah, identitas, dan regenerasi. Ketika topeng-topeng itu menari di tengah hujan, saat itulah Lampung berbicara.

Ia bercerita tentang masa lalu yang heroik, masa kini yang kreatif, dan masa depan yang penuh harapan. (*)