• Selasa, 26 Agustus 2025

Angka Putus Sekolah Tinggi, Disdikbud Metro Janji Validasi Ulang Data Pendidikan

Selasa, 26 Agustus 2025 - 14.25 WIB
50

Plt. Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) Kota Metro, Deddy Hasmara . Foto: Arby/Kupastuntas.co

Kupastuntas.co, Metro - Predikat Kota Pendidikan kembali menjadi sorotan setelah terungkap tingginya angka warga Metro yang tidak menamatkan sekolah. Data yang dipaparkan Wakil Wali Kota Metro, Dr. M. Rafieq Adi Pradana, menyebut masih ada hampir seperempat warga Metro tidak pernah sekolah serta dominasi lulusan SD dan SMP yang cukup besar.

Fakta ini membuat publik mempertanyakan keseriusan pemerintah menjaga reputasi Metro sebagai Kota Pendidikan. Menanggapi hal itu, Plt. Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) Kota Metro, Deddy Hasmara mengatakan pihaknya akan segera melakukan validasi ulang data untuk memastikan tingkat akurasi angka putus sekolah di Metro.

“Pertama kita akan coba validasi lagi. Bisa jadi data itu berdasarkan catatan beberapa tahun belakangan, bukan kondisi terkini. Karena berdasarkan inventarisasi kami, anak-anak saat ini relatif bersekolah, hanya saja memang orang tuanya sebagian besar ada yang hanya lulusan SD dan SMP,” kata Deddy saat dikonfirmasi awak media, Selasa (26/8/2025).

Meski demikian, Deddy menegaskan bahwa satu anak putus sekolah saja sudah terlalu banyak. Ia berjanji akan melakukan pengecekan data ulang.

“Apalagi jika datanya sampai beberapa persen. Karena itu kita tidak menutup kemungkinan, tetap akan lakukan pengecekan ulang,” tambahnya.

Selain soal validasi data, Disdikbud Metro juga mengarahkan perhatian pada aspek lain yang memengaruhi kualitas pendidikan, mulai dari keamanan jajanan sekolah hingga masalah bullying.

“Untuk kantin sehat, kita sudah sosialisasikan ke seluruh sekolah agar betul-betul memperhatikan kualitas makanan yang ada di kantin. Ini penting untuk mendukung tumbuh kembang anak,” ujar Deddy.

Ia menekankan pentingnya peran orang tua dalam pengawasan. Menurutnya, gotong royong mengambil peran pengawasan merupakan hal utama.

“Begitu anak-anak keluar dari sekolah, tanggung jawab utama ada pada orang tua dan lingkungan. Jadi harus ada gotong royong bersama,” ucapnya.

Terkait kasus perundungan (bullying), Deddy menegaskan pihaknya terus mengingatkan guru agar berkomitmen maksimal menciptakan lingkungan sekolah yang aman.

“Bullying ada banyak bentuk, baik fisik maupun verbal. Kami sudah minta jajaran pendidik memperhatikan hal ini. Karena walaupun lingkungan sekolah aman, bisa jadi pengaruh pergaulan luar terbawa ke sekolah,” jelasnya.

Kepala SDN 2 Metro Timur, Zulkurnain membenarkan bahwa masalah bullying masih kerap muncul di sekolah, namun pihaknya telah membentuk tim inklusi atau Pokja yang melibatkan guru, orang tua, komite sekolah, hingga tokoh lingkungan.

“Proses di sekolah sering kali merupakan refleksi dari kondisi rumah. Siswa yang bermasalah di rumah biasanya terbawa ke sekolah. Karena itu kami selalu berkoordinasi dengan orang tua agar masalah bisa ditangani bersama,” kata Zulkurnain.

Ia juga mengklaim, selama kepemimpinannya, tidak ada siswa yang putus sekolah di SDN 2 Metro Timur. Meski demikian, ada beberapa siswa yang mengalami kesulitan belajar hingga memerlukan pendampingan khusus.

“Untuk kasus seperti itu, kami mendatangkan guru langsung ke rumah agar anak tetap bisa belajar. Alhamdulillah, dengan cara itu, anak-anak tetap bisa melanjutkan sekolah meskipun menghadapi kesulitan,” tandasnya.

Meski Disdikbud Metro berencana melakukan validasi ulang data, sejumlah pihak menilai langkah ini tidak boleh sekadar formalitas. Fakta rendahnya angka lulusan SMA hingga perguruan tinggi menunjukkan bahwa akses pendidikan tinggi masih jauh dari ideal.

Sementara itu, persoalan non-akademis seperti bullying, jajanan tidak sehat, hingga minimnya keterlibatan orang tua, juga memperburuk ekosistem pendidikan di Metro.

Label Kota Pendidikan yang telah ditingkatkan menjadi Kota Cerdas selama ini menjadi kebanggaan Metro kini menghadapi ujian serius. Tanpa langkah konkret mulai dari validasi data, intervensi kebijakan yang menyentuh akar masalah, hingga kolaborasi orang tua dan sekolah, predikat itu bisa kehilangan maknanya. (*)