• Rabu, 03 September 2025

Pengamat Hukum: Larangan Flexing Perlu Diperkuat Aturan Turunan

Rabu, 03 September 2025 - 13.48 WIB
22

Pengamat hukum Universitas Bandar Lampung (UBL), Benny Karya Limantara. Foto: Ist.

Kupastuntas.co, Bandar Lampung - Pengamat hukum Universitas Bandar Lampung (UBL), Benny Karya Limantara, menilai instruksi Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian yang melarang kepala daerah dan pejabat publik melakukan pamer kekayaan (flexing) merupakan langkah tepat untuk menjaga kepercayaan masyarakat.

Menurut Benny, di tengah situasi sosial-ekonomi yang sulit, perilaku pamer harta oleh pejabat publik berpotensi menimbulkan kecemburuan sosial dan menggerus legitimasi pemerintah.

"Larangan ini patut diapresiasi karena menyangkut moralitas pejabat publik. Flexing di ruang publik bisa memperlebar jarak sosial dengan rakyat dan merusak kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah,” ujar Benny saat diminta tanggapan, Rabu (3/9/2025).

Ia menjelaskan, secara normatif, instruksi Mendagri memang tidak memiliki kekuatan mengikat seperti undang-undang. Namun, larangan tersebut dapat ditopang oleh sejumlah regulasi yang telah ada, misalnya:

  • UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN,
  • UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, yang mengatur asas kepatutan dan kepantasan,
  • PP No. 42 Tahun 2004 tentang Kode Etik Aparatur Sipil Negara.

Baca juga : Pemprov Lampung Ingatkan Pejabat dan ASN Jaga Kesederhanaan, Marindo: Jangan Flexing

Selain itu, pejabat publik juga wajib menyampaikan LHKPN (Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara) kepada KPK.

"Kalau hanya imbauan moral, tentu efeknya terbatas. Dibutuhkan aturan turunan yang jelas, misalnya melalui Permendagri atau revisi kode etik kepala daerah, sehingga pelanggar bisa dikenai sanksi administratif maupun etik,” tegasnya.

Benny menyebutkan bahwa pengawasan dapat dilakukan melalui tiga jalur :

  1. Internal, oleh inspektorat;
  2. Eksternal, melalui verifikasi LHKPN oleh KPK;
  3. Partisipatif, melalui kontrol masyarakat dan media.

Ia menambahkan, sanksi yang bisa dikenakan bagi pejabat yang tetap melakukan flexing antara lain teguran, penundaan hak keuangan, hingga pemberhentian sementara.

Jika harta yang dipamerkan terindikasi tidak wajar, maka bisa masuk ke ranah pidana, termasuk dugaan gratifikasi dan korupsi.

Dalam perspektif hukum progresif Satjipto Rahardjo, kata Benny, larangan flexing merupakan langkah maju untuk menjaga rasa keadilan masyarakat.

"Flexing pejabat di tengah kesulitan rakyat jelas melukai moral publik. Karena itu, instruksi ini jangan dilihat sekadar sebagai seruan moral, tetapi sebagai bagian dari upaya reformasi birokrasi, agar pejabat lebih sederhana dan berorientasi pada kepentingan rakyat,” pungkasnya. (*)