Tidak Pernah Belajar dari Sejarah, Oleh: Zainal Hidayat

Zainal Hidayat, SH, Pimpinan Redaksi/Penanggung Jawab Kupas Tuntas Grup. Foto: Dok.
Kupastuntas.co, Bandar Lampung - Peristiwa tahun 1998 silam menjadi salah satu titik kelam dalam sejarah Indonesia. Saat itu, kemarahan publik meledak bukan hanya karena anjloknya ekonomi, tetapi juga akibat kesenjangan sosial yang begitu nyata.
Sampai akhirnya Soeharto yang sudah berkuasa selama 32 tahun, bisa ditumbangkan oleh suara dan kekuatan rakyat saat itu. Hingga akhirnya melahirkan reformasi.
Dua puluh tujuh tahun berselang, ironi yang sama seakan berulang. Pejabat publik yang mudah pamer kekayaan atau flexing masih menjadi penyakit laten birokrasi.
Aparatur negara yang seharusnya menjadi teladan justru sibuk mempertontonkan gaya hidup hedon, seakan lupa bahwa mereka digaji dari uang rakyat yang sebagian besar masih berjuang memenuhi kebutuhan dasar.
Sejarah 1998 semestinya cukup menjadi pelajaran. Ketika rakyat merasa ditinggalkan, ketika jurang sosial semakin lebar, percikan ketidakpuasan bisa berkembang menjadi api besar.
Dalam situasi ekonomi yang sulit, satu potongan video anggota DPR RI berjoget ria saat sidang paripurna kemarin, sontak menyalakan kemarahan kolektif.
Akhirnya muncul rentetan aksi demonstrasi yang berlangsung sejak 25 Agustus hingga 1 September 2025 bukan hanya di Ibukota Negara Jakarta, namun hingga di berbagai daerah, termasuk di depan kantor DPRD Lampung pada 1 September 2025 kemarin.
Yang sangat disayangkan, aksi demonstrasi bukan hanya berdampak merusak dan membakar berbagai kantor pemerintah dan fasilitas umum. Namun, juga hingga menimbulkan 10 korban jiwa di sejumlah daerah berdasarkan data Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM).
Gelombang massa yang turun ke jalan bukan hanya soal isu teknis kebijakan, tetapi juga akumulasi kekecewaan atas kepemimpinan yang dianggap gagal membaca penderitaan rakyat.
Sayangnya, ingatan sejarah kita pendek. Apa yang dulu dikutuk kini kembali dipertontonkan. Ketidakpekaan ini menunjukkan bahwa sebagian elit tidak pernah benar-benar belajar dari tragedi 1998. Padahal, esensi reformasi adalah menghadirkan pemerintahan yang transparan, sederhana, dan berpihak pada rakyat.
Sudah saatnya pejabat publik sadar bahwa jabatan adalah amanah, bukan kesempatan untuk pamer. Sederhana bukan berarti miskin, melainkan wujud empati dan kesadaran diri.
Jika elit terus mengulang kesalahan yang sama, jangan salahkan rakyat bila kembali mempertanyakan legitimasi kekuasaan yang tidak berpihak pada mereka.
Sejarah adalah guru yang keras. Jika kita gagal belajar darinya, maka kita hanya sedang menunggu kapan ia kembali mengulang pelajarannya, bisa saja dengan cara yang lebih pahit. (*)
Berita Lainnya
-
254.017 Warga Lampung Belum Masuk Peserta Jaminan Kesehatan
Rabu, 03 September 2025 -
Pengamat Hukum: Larangan Flexing Perlu Diperkuat Aturan Turunan
Rabu, 03 September 2025 -
Pemprov Lampung Sampaikan Belasungkawa kepada Keluarga Pegawai Honorer Korban Pohon Tumbang
Rabu, 03 September 2025 -
Lima Dosen UIN Raden Intan Lampung Lolos Open Panel AICIS+ 2025
Rabu, 03 September 2025