Video Presiden Prabowo di Bioskop; Transparansi atau Propaganda, Oleh: TB Alam Ganjar Jaya

TB Alam Ganjar Jaya, Wartawan Kupas Tuntas di Bandar Lampung. Foto: Ist.
Kupastuntas.co, Bandar Lampung - Layar lebar selalu menjadi ruang sakral bagi masyarakat yang datang mencari hiburan, melepas penat, dan tenggelam dalam cerita.
Namun belakangan, sebelum film dimulai, penonton di sejumlah bioskop dikejutkan oleh tayangan video Presiden Prabowo yang menyoroti capaian pemerintahan.
Isinya mencakup produksi beras nasional, layanan gizi, koperasi desa, hingga sekolah rakyat. Pemerintah menyebut tujuannya sederhana: masyarakat berhak mengetahui apa yang sudah dilakukan negara untuk mereka.
Sekilas, alasan itu terdengar wajar. Pemerintah memang memiliki kewajiban menyampaikan kinerja, apalagi dalam era keterbukaan informasi. Tak semua orang rajin membaca laporan resmi atau mengikuti siaran konferensi pers.
Dengan menampilkan pesan visual di bioskop, pemerintah mencoba menjangkau kelompok masyarakat yang mungkin jarang bersentuhan dengan media arus utama.
Cara ini dinilai efektif, karena bioskop menghadirkan audiens yang beragam dan terfokus, tak seperti media sosial yang sering penuh distraksi.
Dari sisi edukasi, langkah ini juga bisa dibaca positif. Penonton tidak sekadar menunggu iklan komersial, tetapi mendapatkan informasi tentang kebijakan publik.
Bila konten disajikan secara objektif dan ringkas, masyarakat bisa menambah wawasan sambil menanti film dimulai.
Dalam konteks komunikasi negara, pendekatan kreatif ini menunjukkan bahwa pemerintah berupaya mendekatkan diri kepada rakyat melalui medium yang akrab dengan keseharian mereka.
Namun, apresiasi ini tidak bisa menutup mata dari kritik yang mencuat. Pertanyaan mendasar muncul: apakah bioskop ruang yang identik dengan hiburan berbayar layak dijadikan kanal pesan politik? Penonton membeli tiket untuk menikmati film, bukan untuk menyimak tayangan capaian pemerintah.
Jika informasi itu dipaksakan hadir tanpa pemberitahuan jelas, maka muncul persoalan hak konsumen. Transparansi mestinya berjalan seiring dengan persetujuan, bukan sekadar memanfaatkan ruang publik.
Kekhawatiran lain ialah soal netralitas. Tayangan capaian seorang presiden mudah dipersepsikan sebagai propaganda, terlebih bila dilakukan berulang.
Di negeri dengan sejarah politik yang sarat pencitraan, publik tentu sensitif terhadap upaya membangun kesan positif melalui kanal yang tidak lazim. Apalagi, bila video itu muncul dalam periode dekat dengan agenda politik penting, maka batas antara sosialisasi dan kampanye bisa kabur.
Ada pula persoalan regulasi. Iklan komersial di bioskop tunduk pada aturan industri, mulai dari durasi hingga kategori isi.
Bagaimana dengan tayangan pemerintah? Apakah ada dasar hukum yang mengatur durasi, frekuensi, dan jenis konten yang boleh diputar? Apakah perlu label “informasi pemerintah” agar publik tahu jelas konteksnya? Tanpa kejelasan, risiko penyalahgunaan ruang publik ini semakin besar.
Di sisi industri, kerja sama gratis mungkin tidak menimbulkan biaya tambahan. Namun, jika slot layar diisi oleh video pemerintah, ada potensi benturan dengan kepentingan komersial pemilik bioskop.
Iklan komersial yang biasanya menjadi sumber pendapatan bisa tergeser. Bila berlangsung terus-menerus, dampaknya terhadap ekosistem periklanan tak bisa diremehkan.
Karena itu, penayangan video Presiden di bioskop berada di titik rawan antara transparansi dan propaganda.
Di satu sisi, ia membuka jalur komunikasi baru, memudahkan rakyat memahami kebijakan. Di sisi lain, ia mengundang tanda tanya soal etika, regulasi, dan niat di balik pesan tersebut.
Pemerintah seyogianya menjawab keraguan publik dengan keterbukaan penuh. Pertama, menjelaskan regulasi yang mendasari tayangan tersebut.
Kedua, memberi batasan jelas agar kontennya murni bersifat informatif, bukan pencitraan politik.
Ketiga, melibatkan lembaga independen untuk menilai apakah tayangan itu sesuai kategori “informasi publik”.
Dengan langkah ini, publik dapat menilai bahwa pemerintah tidak sekadar menampilkan wajah, tetapi benar-benar menyampaikan kerja.
Pada akhirnya, kepercayaan rakyat dibangun bukan hanya dari apa yang ditayangkan, melainkan bagaimana caranya ditayangkan.
Bioskop memang ruang yang luas dan terang, tetapi dalam soal komunikasi politik, transparansi lebih berharga daripada layar lebar itu sendiri. (*)
Berita Lainnya
-
Fenomena Robby Effect, Bayang-Bayang Korupsi yang Membekukan Metro, Oleh: Arby Pratama
Jumat, 12 September 2025 -
Pendidikan Fiqih Ekologi dan Kolaborasi Lintas Sektor untuk Mitigasi Bencana, Oleh: Koderi
Kamis, 11 September 2025 -
Belajarlah dari Nepal, Oleh: Donald Harris Sihotang
Rabu, 10 September 2025 -
Mahasiswa di Persimpangan: Antara Tuntutan Akademik, Arus Informasi, dan Suara Perubahan, Oleh: Koderi
Rabu, 10 September 2025