• Senin, 17 November 2025

LBH Bandar Lampung Minta Kementerian ATR/BPN Ambil Alih Penyelesaian Konflik Lahan Anak Tuha

Senin, 17 November 2025 - 14.38 WIB
22

Spanduk tuntutan warga kepada PT BSA. Foto: Ist

Kupastuntas.co, Bandar Lampung - Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandar Lampung menilai bahwa konflik agraria di Kecamatan Anak Tuha, Kabupaten Lampung Tengah, kembali menemui jalan buntu.

Setelah bertahun-tahun menunggu penyelesaian tanpa kejelasan, warga tiga kampung di Anak Tuha akhirnya mulai kembali menggarap lahan yang selama ini mereka yakini sebagai milik mereka, namun juga diklaim sebagai hak guna usaha (HGU) oleh PT Bumi Sentosa Abadi (BSA).

Kepala Divisi Advokasi LBH Bandar Lampung, Prabowo Pamungkas mengatakan, keputusan masyarakat untuk turun kembali ke lahan sejak 9 November 2025 ini bukan tindakan spontan, tetapi akumulasi dari frustrasi panjang akibat negara yang absen dan perusahaan yang tidak mampu menunjukkan dasar hukum penguasaan tanah tersebut.

Prabowo menjelaskan, dalam sejumlah pertemuan antara masyarakat, Polres Lampung Tengah, BPN Lampung Tengah, dan PT BSA, perusahaan berulang kali gagal menunjukkan dokumen legalitas yang menjadi dasar klaim HGU mereka di wilayah Anak Tuha.

"Alih-alih memperjelas status hukum lahan, PT BSA justru menghindar dari pertanyaan publik. Ketika masyarakat diminta menunjukkan bukti sejarah penguasaan tanahnya, perusahaan dibiarkan tanpa kewajiban membuka dokumen apa pun. Ketimpangan ini menunjukkan bagaimana perusahaan selama bertahun-tahun menikmati kenyamanan dari minimnya kontrol negara," jelas Prabowo saat dikonfirmasi, Senin (17/11/2025).

Lebih lanjut ia mengatakan, pada rapat Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA) Lampung Tengah tanggal 6 November 2025, publik kembali melihat negara gagal menjalankan mandatnya.

"BPN Lampung Tengah enggan mendorong evaluasi, verifikasi, atau klarifikasi terhadap PT BSA, padahal kewenangan tersebut sepenuhnya berada di tangan lembaga negara," tambahnya.

Menurutnya, forum tersebut yang seharusnya menjadi ruang penyelesaian justru berubah menjadi ruang penundaan, melahirkan harapan palsu bagi masyarakat.

"Karena negara tak kunjung memberi kepastian, warga tiga kampung bergerak memulihkan haknya sendiri. Mereka kembali menggarap lahan yang sudah lama menjadi ruang hidup dan sumber penghidupan sebelum diklaim oleh PT BSA," ujarnya.

Ia mengatakan, langkah ini adalah upaya mempertahankan ruang hidup, bukan tindakan kriminal. Reklaiming lahan yang dilakukan masyarakat merupakan respon atas praktik penguasaan yang tidak transparan dan tidak berbasis hukum.

YLBHI–LBH Bandar Lampung menegaskan bahwa konflik agraria di Anak Tuha tidak akan terselesaikan selama pemerintah daerah dan BPN Lampung Tengah terus mempertahankan sikap pasif.

Oleh karena itu, mereka mendesak:

1. Kementerian ATR/BPN RI mengambil alih sepenuhnya penyelesaian konflik Anak Tuha.

2. Melakukan audit menyeluruh terhadap dasar penguasaan lahan yang diklaim sebagai HGU PT BSA.

3. Menjamin pemulihan hak masyarakat tiga kampung yang telah lama dirugikan.

Menurutnya, masyarakat Anak Tuha telah terlalu lama dipinggirkan dan berjuang tanpa perlindungan. Negara tidak boleh lagi sekadar hadir dalam retorika. Penyelesaian konflik agraria harus mengedepankan keadilan substantif, bukan melanggengkan klaim sepihak korporasi.

"YLBHI–LBH Bandar Lampung akan terus mengawal perjuangan masyarakat hingga hak atas tanah mereka benar-benar dipulihkan," pungkasnya. (*)