• Kamis, 20 November 2025

Pembaruan KUHAP Dinilai Perkuat Penegakan Hukum, Protes Publik Jadi Bagian Demokrasi

Kamis, 20 November 2025 - 14.01 WIB
16

Sekretaris Komisi I DPRD Lampung, Ade Utami Ibnu. Foto: Ist

Kupastuntas.co, Bandar Lampung - Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI resmi mengesahkan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) menjadi undang-undang pada Selasa (18/11/2025).

Namun pengesahan tersebut memicu gelombang penolakan dari kelompok masyarakat sipil dan organisasi mahasiswa yang menilai proses legislasi minim partisipasi publik serta masih menyisakan pasal-pasal kontroversial.

Sekretaris Komisi I DPRD Lampung, Ade Utami Ibnu, menilai kritik masyarakat bukan hal yang perlu dikhawatirkan, melainkan bagian dari iklim demokrasi yang sehat.

Menurutnya, suara publik justru menjadi elemen penting dalam memastikan setiap produk hukum tetap relevan dan berorientasi pada keadilan.

“Dengan pengesahan KUHAP ini, kita berharap ada penguatan penegakan hukum dan keadilan. Undang-undang sebelumnya sudah terlalu lama, jadi pembaruan ini harus benar-benar melahirkan hukum yang membumi. Penegak hukum adalah wakil Tuhan dalam menegakkan keadilan, maka profesionalitas harus dijunjung,” tegas Ade saat diwawancarai, Kamis (20/11/2025).

Ia juga menekankan bahwa penolakan masyarakat terhadap sebuah undang-undang merupakan hal wajar. Negara, ujarnya, tidak boleh menutup ruang kritik karena partisipasi publik adalah pilar penting dalam pembentukan legislasi.

“Pengesahan produk hukum di DPR RI pasti melalui tahapan partisipasi publik biasanya dilakukan melalui uji publik dan sosialisasi. Namun penolakan dari masyarakat tetap sah dalam negara demokrasi. Aspirasi itu tidak boleh dibungkam dan harus menjadi catatan. Jika suatu saat undang-undang tidak lagi relevan, revisi bisa dilakukan. Masyarakat pun berhak mengajukan judicial review,” jelasnya.

Sementara itu, Ketua Komisi I DPRD Lampung, Garinca Reza Pahlevi menilai, penyusunan KUHAP baru telah melalui proses panjang dengan melibatkan berbagai pihak. Ia menyebut pembaruan hukum perlu dilakukan untuk menyesuaikan dinamika sosial dan perkembangan zaman.

“Proses pengesahan KUHAP melalui banyak tahapan, termasuk pembahasan bersama stakeholder dan masyarakat. KUHAP baru yang akan berlaku pada 2026 ini menjadi bentuk penyesuaian hukum dengan kondisi zaman. Pembaruan hukum memang harus dilakukan,” ujarnya.

Garinca menambahkan bahwa jika masyarakat menilai terdapat pasal kontroversial, mekanisme koreksi tetap tersedia secara konstitusional.

“Kalau ada pasal yang dianggap kontroversial, masyarakat bisa mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi. Itu mekanisme resmi yang disediakan negara. Dan jika MK sudah memutuskan, putusannya bersifat mengikat,” katanya.

Pernyataan dua legislator tersebut menegaskan bahwa ruang dialog antara negara dan warga harus terus dibuka, terutama dalam proses pembaruan hukum pidana. Meski RKUHAP telah disahkan, evaluasi dan koreksi melalui MK maupun revisi undang-undang tetap menjadi bagian dari dinamika demokrasi.

Implementasi KUHAP baru akan menjadi ujian bagi penegak hukum dan pemerintah untuk memastikan pembaruan tidak hanya bersifat normatif, tetapi benar-benar menghadirkan keadilan yang lebih baik bagi masyarakat. (*)