Walikota Dan Tanggung Jawab Antisipasi Bencana, Oleh: Arby Pratama
Foto : Ilustrasi AI Kupastuntas.co
Kupastuntas.co, Metro - Kota Metro sedang berada di ambang ancaman bencana yang nyata. Memasuki akhir tahun 2025, intensitas hujan meningkat tajam, suhu udara meningkat akibat perubahan iklim, dan pola cuaca semakin tidak bisa diprediksi.
Bukan rahasia lagi bahwa beberapa wilayah di Metro, khususnya area dataran rendah dan sekitar aliran sungai, berulang kali mengalami genangan air bahkan banjir, sementara di wilayah tertentu angin puting beliung telah beberapa kali memporak-porandakan rumah warga.
Ancaman ini bukan sekadar isu musiman, ini adalah peringatan keras bahwa Kota Metro harus bersiap. Dan di tengah situasi yang semakin mengkhawatirkan, peran Walikota bukan lagi sekadar memberikan instruksi ketika bencana sudah terjadi, melainkan membangun sistem mitigasi dan kesiapsiagaan yang strategis, terukur, dan berpihak pada keselamatan rakyat.
Saatnya kita bertanya secara kritis, Apakah kebijakan dan langkah nyata pencegahan sudah dilakukan secara serius, atau kita masih sibuk menunggu bencana dan kemudian berpura-pura terkejut?
Setiap kali hujan deras turun dengan durasi panjang, warga Kota Metro langsung bersiap-siap dengan rasa cemas. Ancaman banjir, pohon tumbang, listrik padam, rumah rusak terkena puting beliung, hanyalah beberapa contoh yang terus berulang.
Jika bencana selalu datang dengan pola yang sama, tetapi penanganannya masih seperti darurat tanpa rencana, maka ada yang sangat salah di tubuh pemerintahan daerah.
Lantas, apa yang bisa dan harus dilakukan Walikota Metro. Walikota dan Wakil Walikota Metro harus berani mengambil langkah strategis, bukan reaktif. Pertama, keluarkan kebijakan pencegahan dan penataan drainase besar-besaran di Metro.
Salah satu penyebab banjir di Metro adalah buruknya sistem drainase. Drainase mampet, dangkal, dan tidak terintegrasi dengan perencanaan wilayah. Sudah saatnya Walikota mengeluarkan instruksi khusus untuk melakukan audit total seluruh saluran air di Metro, normalisasi sungai dan drainase secara menyeluruh, menindak pembangunan yang menutup jalur air tanpa izin dan mengalokasikan anggaran khusus pada APBD 2026 untuk penataan infrastruktur pencegah banjir.
Karena banjir bukan takdir, tetapi akibat kelalaian dan buruknya manajemen ruang kota. Pemerintah juga perlu mengeluarkan sistem peringatan dini dan protokol evakuasi standar, seperti sirine peringatan dini di titik rawan, peta zona rawan banjir dan puting beliung yang dipublikasikan ke masyarakat dan Posko evakuasi permanen, bukan posko insidental, karena ini bukan teknologi mahal, ini soal nyawa warga.
Walikota harus memperkuat BPBD dan Relawan Kebencanaan. Apa jadinya jika setiap bencana selalu mengandalkan spontanitas, maka Walikota harus memastikan BPBD bukan sekadar papan nama, namun penambahan jumlah personel dan peralatan, pelatihan rutin untuk relawan dan masyarakat, mobil siaga dan alat berat standby di titik strategis dan tentunya Warga tidak boleh dibiarkan berjuang sendiri.
Kemudian soal pohon yang bukan dekorasi, tetapi tameng terhadap badai dan banjir. Solusi adalah, Walikota mewajibkan penanaman 1.000 pohon produktif tiap kelurahan, memperbanyak taman resapan air, menghapus izin pembabatan ruang hijau untuk kepentingan proyek dan tanpa ruang hijau, kota akan menjadi mangsa bencana.
Yang tidak kalah penting ialah edukasi publik dan gerakan masyarakat sadar bencana. Pemerintah harus membangun kesadaran kolektif melalui kurikulum kesiapsiagaan di sekolah, pelatihan evakuasi massal berkala, gerakan membersihkan selokan dari sampah bersama warga dan sosialisasi teknik penyelamatan dasar.
Bencana adalah urusan bersama, bukan hanya pemerintah. Jangan sampai pemerintah baru bertindak ketika korban sudah jatuh. Sudah terlalu sering kita menyaksikan pola yang memalukan, setelah bencana, pejabat datang membawa rombongan media, memeluk korban, menangis sedikit, memberi bantuan simbolis, lalu pergi dan lupa. Sementara warga harus membangun hidupnya kembali dengan tangan sendiri.
Jika Walikota hari ini benar-benar berjiwa pemimpin, bukan sekadar penguasa, maka langkah pencegahan harus menjadi prioritas utama sejak sekarang, bukan setelah tangis dan kerusakan terjadi. Kepemimpinan diuji bukan pada saat seremonial, tetapi pada saat bencana datang menghantam.
Kita tidak bisa mencegah hujan, tidak bisa menghentikan angin, tetapi kita bisa mengurangi kerusakan dan menyelamatkan nyawa melalui perencanaan matang. Itulah esensi kepemimpinan.
Walikota Metro harus membuktikan bahwa pemerintah hadir bukan hanya ketika kamera menyorot, tetapi ketika rakyat benar-benar membutuhkan. Jika Metro ingin menjadi kota modern dan layak dihuni, maka strategi mitigasi bencana bukan pilihan, itu adalah kewajiban moral dan konstitusional.
Maka sejarah akan mencatat, Bambang Iman Santoso dan M. Rafieq Adi Pradana adalah pemimpin bijaksana yang menyelamatkan warganya sebelum bencana datang, bukan setelah bencana merenggut semuanya. (*)
Berita Lainnya
-
Digitalisasi Retribusi Metro Dimulai, Pemkot Resmikan Aplikasi METAS
Selasa, 02 Desember 2025 -
Suwandi: Kabar Pelantikan PPPK Paruh Waktu di Kota Metro Tidak Benar
Selasa, 02 Desember 2025 -
Bangun Furniture dari Sampah Warga Metro, PSN Desak Kolaborasi Serius Pemkot
Selasa, 02 Desember 2025 -
Ketika Kota Pendidikan Masih Lupa pada Gurunya, Oleh : Arby Pratama
Selasa, 25 November 2025









