• Senin, 29 Desember 2025

Cuaca Ekstrem Berpotensi Ganggu Kesehatan Warga, Pemkot Metro Diminta Segera Mitigasi Bencana

Senin, 29 Desember 2025 - 15.36 WIB
66

Praktisi Kesehatan Kota Metro, Eko Siswanto. Foto: Ist

Kupastuntas.co, Metro – Fenomena cuaca ekstrem yang terjadi secara masif di berbagai belahan dunia sepanjang akhir 2025 menjadi penanda tegas bahwa perubahan iklim global bukan lagi sekadar isu akademik. Dampaknya kini nyata, langsung, dan menyentuh aspek paling mendasar yaitu keselamatan manusia. 

Praktisi kesehatan Kota Metro, Eko Siswanto, menilai kondisi ini harus dibaca sebagai peringatan serius bagi daerah, termasuk Kota Metro untuk memperkuat kesiapsiagaan bencana, khususnya di sektor kesehatan.

Pria yang merupakan mantan Kabid Pelayanan Kesehatan (Yankes) pada Dinas Kesehatan Kota Metro itu menyampaikan, peningkatan suhu bumi telah memicu ketidakstabilan atmosfer yang berdampak pada intensitas hujan ekstrem, angin kencang, serta gangguan cuaca lain yang semakin sulit diprediksi. 

Indonesia tidak luput dari dampak tersebut, bahkan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mencatat saat ini Indonesia berada pada fase puncak musim hujan, beriringan dengan meningkatnya potensi cuaca ekstrem menjelang libur Natal dan Tahun Baru 2026.

“Risiko bencana hidrometeorologi meningkat signifikan. Banjir, genangan air, pohon tumbang, gangguan transportasi, hingga ancaman keselamatan jiwa bukan lagi kemungkinan jauh, tetapi potensi nyata yang harus diantisipasi,” kata Eko kepada Kupastuntas.co, Senin (29/12/2025). 

BMKG sendiri telah mengingatkan bahwa hujan sedang hingga lebat berpotensi disertai angin kencang, petir, dan dalam skala nasional bahkan gelombang tinggi. Dalam konteks tersebut, kesiapsiagaan tidak lagi bisa diposisikan sebagai pilihan, melainkan kebutuhan mendesak.

Di tingkat daerah, Kota Metro memiliki karakter kerentanan tersendiri. Meski bukan wilayah pesisir, Metro tetap menghadapi risiko banjir lokal, genangan air, serta dampak kesehatan pascahujan lebat, terutama di kawasan permukiman padat dan daerah sekitar aliran sungai.

Curah hujan tinggi dalam waktu singkat berpotensi memicu luapan drainase, pohon tumbang, terganggunya akses jalan, hingga munculnya berbagai penyakit pascabencana. 

“Penyakit seperti diare, ISPA, demam berdarah dengue (DBD), hingga leptospirosis kerap menjadi ancaman lanjutan yang sering luput dari perhatian publik,” jelas Eko.

Kondisi tersebut, menurutnya, menuntut kesiapsiagaan yang tidak bersifat reaktif, melainkan terencana, terukur, dan melibatkan lintas sektor secara terpadu.

Eko yang kini menjabat sebagai Staf Humas dan Perencanaan pada RSUD Ahmad Yani Metro itu menilai, kesiapan Kota Metro dalam menghadapi potensi bencana tercermin dari upaya menata sistem mitigasi yang melibatkan berbagai perangkat daerah. 

"BPBD berperan sebagai koordinator utama penanggulangan bencana, Dinas PUPR menjaga fungsi drainase dan infrastruktur, Dinas Lingkungan Hidup memitigasi risiko pohon tumbang dan persoalan sampah, Dinas Sosial menyiapkan skema pengungsian dan logistik, sementara Dinas Kesehatan menjadi pilar krusial dalam menjaga ketangguhan kota dari sisi keselamatan jiwa dan kesehatan masyarakat," terangnya. 

Di sektor kesehatan, kesiapsiagaan diwujudkan melalui pembentukan Tim Gerak Cepat yang memiliki kapasitas Rapid Health Assessment (RHA). Tim ini bertugas melakukan penilaian cepat dampak kesehatan pascabencana, mengidentifikasi kelompok rentan seperti balita, lansia, ibu hamil, dan penyandang disabilitas, serta menetapkan kebutuhan medis dan sanitasi secara presisi.

“Tim kesehatan idealnya siap digerakkan maksimal dalam waktu 1×24 jam setelah kejadian,” tegas Eko.

Upaya tersebut diperkuat dengan penyusunan dokumen kontingensi kesehatan yang memetakan wilayah rawan, fasilitas pelayanan kesehatan, jalur evakuasi, lokasi pengungsian, serta rencana distribusi logistik medis. Seluruh skema ini diselaraskan dengan BPBD dan informasi peringatan dini dari BMKG.

Selain itu, rapat health assessment pra-bencana dinilai penting untuk melakukan simulasi berbagai skenario, pembagian peran tenaga medis, penyiapan obat-obatan, alat pelindung diri (APD), peralatan kesehatan darurat, serta penetapan puskesmas siaga 24 jam. 

"Baiknya fokus mitigasi diarahkan tidak hanya pada penanganan fisik, tetapi juga pencegahan penyakit pascabencana dan dukungan kesehatan mental," ucapnya. 

Eko juga menekankan pentingnya peringatan dini BMKG menjangkau hingga tingkat kelurahan dan RT/RW, agar masyarakat dapat bertindak sebelum risiko berkembang menjadi bencana.

Lebih jauh, Eko menilai Kota Metro memiliki posisi strategis sebagai kota penyangga layanan kesehatan dan kemanusiaan bagi daerah rawan bencana di sekitarnya. Peran ini pernah ditunjukkan saat Lampung Selatan terdampak tsunami, ketika Metro menjadi salah satu daerah penopang layanan kesehatan.

Peran tersebut juga berlanjut dalam skala nasional. Kota Metro tercatat mengirimkan tenaga kesehatan ke berbagai wilayah terdampak bencana, seperti banjir dan tanah longsor di Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat. Tenaga medis yang diberangkatkan berasal dari RSUD Jenderal Ahmad Yani, di antaranya Perawat Agus, Perawat Dodi, dan dr. Bimantara.

“Mereka menjalankan misi kemanusiaan melalui layanan medis darurat, asesmen kesehatan lapangan, dan pendampingan masyarakat terdampak. Ini membuktikan bahwa kesiapsiagaan Metro tidak berhenti pada dokumen dan rapat, tetapi hadir dalam aksi nyata,” katanya.

Cuaca ekstrem akhir 2025, menurut Eko, menandai babak baru dalam cara memandang bencana. Bencana tidak lagi dipahami sebagai peristiwa tak terduga, melainkan risiko yang dapat dikelola melalui kesiapsiagaan, mitigasi yang matang, serta kepemimpinan yang visioner.

“Pertanyaannya kini bukan hanya apa potensi bencananya, tetapi seberapa sadar dan siap sebuah kota menata sistem, sumber daya manusia, dan kolaborasi lintas sektor,” ujarnya.

Dalam konteks itu, Kota Metro dihadapkan pada tantangan sekaligus peluang untuk tampil sebagai kota tangguh yang melindungi warganya sendiri dan hadir sebagai penopang kemanusiaan bagi daerah lain saat krisis.

“Ketangguhan kota tidak diukur dari absennya bencana, melainkan dari kesiapan menghadapi dan keberanian untuk hadir membantu sesama,” tandasnya. (*)