• Senin, 29 Desember 2025

Mengantar Harapan di Jalanan, Kurir Paket di Metro Bekerja Tanpa Jaminan

Senin, 29 Desember 2025 - 09.03 WIB
166

Andi Iswanto (47), kurir paket pada salah satu perusahaan jasa pengiriman di Kota Metro saat hendak mengantarkan ratusan paket dengan sepeda motor tuanya. Foto: Arby/Kupastuntas.co

Kupastuntas.co, Metro - Setiap pagi, ketika sebagian warga Kota Metro masih memeluk hangat rumahnya, Andi Iswanto (47) sudah lebih dulu berpamitan pada keluarganya. Mesin motor dinyalakan, helm dikenakan, dan sebuah doa singkat dipanjatkan. Bukan agar hari itu mudah, melainkan agar ia bisa pulang dengan selamat.

Jauh dari hiruk pikuk politik dan gemerlap janji kesejahteraan, Andi menjalani hidupnya di jalanan. Ia adalah kurir paket online. Pekerjaan yang kerap dianggap remeh, namun menjadi urat nadi ekonomi digital yang kini menjangkau hampir setiap rumah di Kota Metro.

Andi Iswanto merupakan seorang ayah dengan dua anak yang tinggal di Jalan Pala VII, Kelurahan Iringmulyo, Kecamatan Metro Timur. Lima tahun terakhir, ia bekerja sebagai kurir freelance pada salah satu perusahaan jasa pengiriman barang di wilayah Kota Metro. Lima tahun pula ia menggantungkan hidup pada paket-paket milik orang lain yang harus sampai tepat waktu, dalam kondisi baik, tanpa banyak alasan.

Nasib Andi tidak berbeda dengan puluhan kurir paket online lainnya di Metro. Penghasilan mereka tidak pernah pasti. Semua bergantung pada satu hal, yaitu berapa banyak paket yang berhasil diantar hari itu. Tidak ada gaji bulanan tetap. Tidak ada kepastian untuk esok hari.

Dalam sehari, Andi bisa mengantarkan 160 hingga 200 paket. Bentuknya bermacam-macam, ukurannya tak seragam, beratnya pun berbeda. Ada yang ringan, ada pula yang membuat motor terasa berat sebelah. Setiap paket yang sampai ke tangan konsumen, dihargai Rp1.400. Tidak lebih.

Dari hitungan itulah Andi membawa pulang penghasilan bulanan rata-rata sekitar Rp3,5 juta hingga Rp4 juta. Uang itu menjadi sandaran hidup keluarganya untuk makan, listrik, sekolah anak, dan kebutuhan sehari-hari lainnya. Namun di balik angka itu, ada harga mahal yang harus dibayar yaitu tenaga, waktu, dan keselamatan.

Ironisnya, di tengah kerja keras itu, Andi dan banyak kurir lain bekerja tanpa jaminan hari tua. Mereka tidak dilindungi BPJS Ketenagakerjaan. Tidak oleh perusahaan tempat mereka bernaung, dan tidak pula oleh kehadiran pemerintah daerah.

Setiap hari Andi berkendara di jalanan yang penuh risiko. Lubang jalan, kendaraan ugal-ugalan, hujan deras, hingga panas terik menjadi bagian dari rutinitas. Namun jika musibah datang dan jika ia jatuh, sakit, atau tak mampu lagi bekerja, tidak ada perlindungan yang menunggu.

“Kami tidak tahu musibah apa yang menanti ke depan,” ujar Andi pelan kepada Kupastuntas.co, Senin (29/12/2025). Kalimat itu bukan keluhan, melainkan pengakuan seorang pekerja yang sadar betul rapuhnya posisinya.

Hambatan di lapangan tidak berhenti pada kondisi jalan. Andi kerap berhadapan dengan konsumen yang menolak membayar, atau yang tidak memahami aturan belanja online. 

Paket harus direturn, kadang tanpa sempat terdokumentasi. Ada pula pemesan yang memberikan alamat palsu, atau sengaja tidak mengambil paket yang mereka pesan sendiri. Semua risiko itu ditanggung kurir sendirian. 

Namun Andi bertahan. Karena di antara kerasnya lapangan, masih ada sisi kemanusiaan yang membuat langkahnya tidak sepenuhnya hampa. Masih banyak warga Metro yang memahami beratnya pekerjaan kurir.

“Kadang ada yang ngasih tips seribu atau dua ribu. Jumlah yang kecil bagi sebagian orang, tetapi sangat berarti bagi saya. Nilai segitu sangat bermanfaat sekali bagi saya,” ujarnya, dengan senyum tipis yang menyimpan lelah.

Baginya, tugas sebagai kurir bukan sekadar pekerjaan. Itu adalah tanggung jawab moral mengumpulkan pundi-pundi rupiah dan memastikan setiap paket belanja online sampai ke tangan masyarakat Kota Metro dalam kondisi baik. Dari tangan Andi, kemudahan hidup orang lain terwujud.

Namun di balik tugas mulia itu, ada lubang besar yang dibiarkan menganga. Negara dan pemerintah daerah seolah absen. Padahal, Pemerintah Kota Metro seharusnya mampu dan mau mengintervensi perusahaan jasa pengiriman agar mendaftarkan setiap kurir ke BPJS Ketenagakerjaan. Bukan sebagai belas kasihan, melainkan sebagai hak dasar pekerja.

Andi tidak meminta kemewahan. Ia hanya berharap pada satu hal sederhana yaitu perlindungan. Agar ketika ia jatuh di jalan, ada sistem yang menopang. Agar ketika tubuhnya tak lagi kuat, ada jaminan yang menyelamatkan keluarganya.

Setiap sore, ketika paket terakhir diserahkan, Andi kembali pulang ke Iringmulyo. Ia menanggalkan helm dan jaket, lalu kembali menjadi ayah bagi dua anaknya. Namun kegelisahan itu tak pernah benar-benar pergi. Besok pagi, ia akan kembali berangkat. Menyusuri jalan yang sama. Mengantar paket-paket orang lain. Bekerja tanpa jaminan.

Di balik paket yang tiba tepat waktu di rumah-rumah warga Kota Metro, ada peluh yang tak tercatat, doa yang tak terdengar, dan kehidupan yang terus bertaruh pada nasib. Ada Andi Iswanto dan puluhan kurir lain yang hingga kini masih menunggu satu hal paling mendasar, yaitu kehadiran negara. (*)