• Jumat, 26 April 2024

Catat 237 Kasus KDRT, Damar Lampung Dorong Terapkan Konseling Pelaku

Kamis, 22 Maret 2018 - 22.02 WIB
114

Kupastuntas.co, Bandar Lampung - Lembaga Advokasi perempuan Damar Lampung mencatat kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDR) di Lampung masih cukup tinggi. Sebagai upaya menghentikan kasus KDRT, Damar mendorong konseling pelaku kekerasan.

Direktur Damar Lampung, Sely Fitriani mengatakan, dalam laporan pada 2017 tercatat terjadi 237 kasus KDRT. Kasus KDRT tersebut menempati urutan ketiga setelah kekerasan seksual yang berjumlah 383 kasus, dan kekerasan fisik pada perempuan 303 kasus.

“Artinya tidak ada tempat yang aman bagi perempuan, karena di rumah pun perempuan banyak menjadi korban kekerasan,” ujar Sely di Hotel Emesia, Bandar Lampung, Kamis (22/03/2018).

Sebagai upaya mendorong penghentian kasus KDRT, menurut Sely, saat ini Damar bekerjasama dengan RutgersWPF tengah mendorong keterlibatan laki-laki untuk mengakhiri kekerasan pada perempuan. Sebab, mayoritas pelaku KDRT adalah laki-laki.

Menurut Sely, Damar ingin kembali membangun perspektif dan komitmen aparat penegak hukum dan lembaga penyedia layanan perempuan korban kekerasan dalam penerapan pasal 50 huruf (b) Undang-Undang No 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga.

Dalam pasal tersebut, katanya, sangat jelas diatur adanya penerapan pidana tambahan berupa konseling perubahan perilaku kepada pelaku KDRT. “Sayangnya hingga saat ini belum pernah ada hakim yang menggunakan pasal 50 huruf (b) dalam menangani kasus KDRT dan menerapkan konseling pada pelaku KDRT".

Dalam diskusi tersebut hadir empat narasumber lain, yaitu Perwakilan kepolisian dari RS Bhayangkara Polda Lampung, Aldo Wijaya, Jaksa Fungsional Kejati Lampung Yanti A, Hakim di Pengadilan Negeri Lampung Timur Dyan Martha dan akademisi FH Unila Tisnanta.

Dian Marta, selaku perwakilan hakim menekankan, belum ada hakim yang menjatuhkan pidana tambahan berupa konseling bagi pelaku KDRT disebabkan beberapa hal diantaranya belum ada tuntutan dari jaksa yang menggunakan pasal tersebut, hingga belum ada petunjuk teknis terkait pelaksanaan konseling.

Tisnanta, selaku Akademisi FH Unila, menyatakan prespektif konseling pada pelaku KDRT yang selama ini sebagai hukuman tambahan perlu diubah. Sebab, konseling sebetulnya dibutuhkan sejak awal oleh pelaku maupun korban KDRT, sebagai upaya pencegahan kasus tersebut kembali terulang.

Untuk itu, Tisnanta mendorong agar dimunculkan peraturan lokal, yang secara khusus mengatur hal-hal yang berkaitan dengan ketahanan keluarga, termasuk pencegahan dan penyelesaian kasus KDRT. (*)

Editor :