• Selasa, 19 Maret 2024

Trik Memecah Merek Produsen HP, Demi Eksis di Pasaran

Jumat, 11 Januari 2019 - 19.35 WIB
175

Kupastuntas.co, Bandar Lampung - Pengamat gadget, Herry SW, menceritakan pemisahan submerek dari merek induk sudah terjadi sejak lama saat ZTE memisahkan merek Nubia pada 2012. Namun belakangan ini beberapa produsen ponsel China mengikuti jejaknya sehingga menyedot lebih banyak perhatian.

Menurutnya, Nubia dulu digunakan ZTE untuk menyasar pecinta fotografi sementara Pocophone diposisikan sebagai ponsel premium dengan harga murah karena dibuat dari polikarbonat, bukan logam atau kaca. Fitur NFC pun ikut dipangkas.

Baru-baru ini, Xiaomi memisahkan Redmi menjadi sub merek mandiri. CEO Xiaomi Lei Jun mengungkap bahwa dia ingin perusahaannya punya sub merek agar Redmi bisa ekspansi lebih jauh di global. Sementara, Redmi akan menyasar pasar e-commerce dan entry level.

Sebelum memisahkan Redmi, Xiaomi sudah terlebih dulu membuat submerek Pocophone yang digarap sebagai ponsel berperforma tinggi dengan harga terjangkau.

Langkah serupa dilakukan juga oleh Oppo dengan memisahkan merek Realmi dari induknya. Kedua produsen ponsel ini mengikuti jejak Huawei yang sudah terlebih dulu memisahkan merek Honor.

Menurut Herry, langkah itu ditempuh untuk mendapatkan takhta sebagai ponsel dominan di suatu wilayah dengan dua cara, yang pertama adalah untuk membidik segmen tertentu dan untuk "berperang" dengan rivalnya.

Hal senada diungkap Rizky Febrian, Associate Market Analyst, Client Devices, IDC Indonesia. Menurutnya, strategi ini dilakukan untuk menyasar target market tertentu yang tidak bisa dicapai oleh target perusahaan induk.

"Sehingga mereka membuat suatu brand yang berbeda dari sisi image-nya (pencitraan) agar bisa menyasar market tertentu itu," paparnya saat dihubungi secara terpisah oleh CNNIndonesia.com pada Kamis (10/1).

"Dampaknya tentu ditujukan untuk memperluas pangsa pasar. Namun pada akhirnya kesuksesan brand baru itu akan ditentukan oleh ada atau tidaknya support (dukungan), baik itu dari sisi pemasaran, distribusi, hingga finansial, dari brand induknya," lanjutnya.

Meski telah melakukan pemisahan merek, namun menurut Risky strategi ini tampaknya belum memberikan dampak signifikan terhadap angka penetrasi Huawei dan Honor di Indonesia. Data IDC menunjukkan kalau pangsa pasar Huawei di Indonesia tak mencapai 5 persen pada kuartal ketiga 2018.

"Kalau dibandingkan, Oppo sendiri kan sejauh ini masih berada di Top 5 smartphone brand (merek ponsel cerdas) di Indonesia, sedangkan Honor masih belum bisa meningkatkan penetrasinya di market (pasar)," ujarnya.

Data IDC pada kuartal ketiga 2018 mencatat bahwa Samsung masih merajai pasar ponsel pintar di Indonesia dengan angka 28 persen. Xiaomi menyusul dengan capaian 24 persen, Oppo (19 persen), Vivo (11 persen) dan Advan (5 persen).

Alasan kedua, menurut Herry, submerek dibuat untuk "berperang" dengan merek rival. Ia mencontohkan Realme, yang dibuat untuk berperang dengan ponsel-ponsel Xiaomi dan Samsung.

"Kalau dilihat Realme diposisikan sebagai "pasukan tempur" untuk menyerang segmen berharga jual terjangkau, yang selama ini banyak digarap oleh Xiaomi dan Samsung seri J," papar Herry.

Herry melihat bahwa spesifikasi Redmi sebenarnya tak beda jauh dari Oppo. Namun, harga yang ditawarkan jauh lebih terjangkau.

"Yang seru, ternyata Xiaomi merespons dengan menyapih Redmi menjadi submerek. Pertempuran akan seru," lanjutnya.

Tanpa submerek, kata Herry, perusahaan ponsel besar sebenarnya masih bisa berperang. Namun jika tak berhasil, citra mereknya akan menjadi taruhan sehingga akan lebih aman untuk membuat submerek baru.

"Kalau ternyata sampai kurang berhasil, dikhawatirkan akan merusak citra merek secara keseluruhan. Adanya produk "perang" juga berpotensi mengurangi gengsi merek," kata dia.

Kendati demikian, memasuki pasar Indonesia sendiri bukan pekerjaan mudah terutama bagi merek baru. Merek membuat strategi yang bergantung pada citra merek induknya.

Hubungan Nubia dan ZTE, kata Herry, sengaja tak diperlihatkan karena di pasar Indonesia, ZTE identik dengan ponsel China yang kurang bagus.

Tapi Realme dan Oppo yang punya citra bagus bisa memulai dengan lebih mudah dengan menyampaikan bahwa mereka punya hubungan dengan induk perusahaan mereka.

"Sebelumnya, merek Luna juga begitu. Yang ditonjolkan merek Korea dan Foxconn-nya. Keterkaitannya dengan Evercoss tidak diungkap," jelas pria asal Surabaya ini.

Sementara itu, meski Rizky menyebut belum ada merek global lain yang akan mengikuti langkah merek-merek China ini, Herry melihat tren ini belum akan berhenti. Namun, bukan juga berarti akan ada merek-merek pecahan baru untuk "berperang" di pasar ponsel pintar.

"Samsung, contohnya, diduga akan memilih cara lain. Misalnya, mengeluarkan seri baru yang memang disiapkan untuk berperang," kata dia.

Samsung merupakan salah satu merek yang memiliki cakupan segmen terluas hanya dengan satu nama seri yakni Galaxy. Namun seri Galaxy dipecah-pecah seperti Seri J, A, C, S, dan Note. Hal ini berbeda misalnya dengan Xiaomi yang memiliki Redmi dan Mi. (CNN)

Editor :