• Jumat, 29 Maret 2024

Wakil Ketua KPK Alexander Marwata: Banyak Penduduk Miskin di Lokasi Kaya SDA

Rabu, 26 Februari 2020 - 22.47 WIB
125

Wakil Ketua KPK Alexander Marwata. Foto: Ist

Sri

Jakarta - Meski sudah 74 tahun Indonesia merdeka, namun angka kemiskinan di Indonesia masih tinggi. Dan ironisnya, banyak penduduk miskin yang berada di lokasi melimpahnya Sumber Daya Alam (SDA) seperti Sumatra, Kalimantan, dan Papua.

Hal itu diungkapkan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Alexander Marwata, saat diskusi kelompok terarah dengan tema 'Menjerakan Pelaku Kejahatan SDA dan Lingkungan Hidup (LH) melalui Pendekatan Pemulihan Kerugian Negara serta Pemulihan Kerusakan Lingkungan', di Gedung Pusat Edukasi Antikorupsi, Rabu (26/2/2020).

“Dengan mudah kita bisa melihat kemiskinan ada di sana, di sekitar lokasi tambang atau hutan yang seharusnya bisa menjadi sumber untuk mensejahterakan mereka,” ujarnya.

Dalam kajian KPK terkait pengelolaan SDA, lanjut Alex, proses perizinan menjadi titik rawan terjadinya tindak pidana korupsi yang berujung pada kerusakan lingkungan. Jika dicermati, tata ruang yang tidak jelas justru menjadi celah korupsi bagi kepala daerah untuk memperjualbelikan izin.

"Tata ruang akhirnya menjadi tata uang. Uang untuk mendapatkan izin,” ungkapnya.

Berdasarkan hal itu, KPK mengajak berbagai pihak, seperti Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (E-Sdm), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), serta Masyarakat Sipil untuk bersinergi memberikan efek jera, kepada pelaku tindak pidana korupsi yang menyebabkan kerusakan lingkungan.

"Kalau kami bisa menindak korupsinya, hadirin sekalian bisa menindak perilaku perusakan lingkungannya, itu akan menjadi sangat efektif. Bisa membuat mereka jera,” kata Alex.

Sementara itu, Direktur Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup, Direktorat Jenderal Penegakan Hukum, KLHK, Jasmin Ragil Utomo, menyampaikan, masih ada kendala dalam gugatan perdata SDA dan LH. 

Di antaranya adalah masih relatif sulitnya memperoleh data aset calon tergugat atau termohon eksekusi untuk keperluan sita jaminan/sita eksekusi; pemulihan fungsi LH memakan waktu lama, sementara pelaksanaan eksekusi harus tuntas; dan belum adanya ketentuan mengenai selisih antara dana yang digunakan untuk pemulihan fungsi LH dengan nilai putusan jika kurang atau lebih. 

“Intinya, meski nilai kerugian lingkungan telah diputuskan hakim, eksekusi pemulihan dan penggantian kerugian tidak mudah dilaksanakan,” katanya.

Peneliti dari Auriga, Grahat Nagara, menyarankan beberapa hal dalam menghadapi munculnya tantangan upaya hukum untuk pemulihan fungsi LH. Menurutnya, perlu dilakukan penyitaan aset untuk memaksa pelaksanaan eksekusi.

"Selain itu, perlu mendefinisikan ulang kerusakan lingkungan sebagai bagian kerugian negara, serta penjeraan lebih lanjut kepada pelaku dengan pencabutan izin, baik itu izin lingkungan maupun izin usaha,” usulnya. (**)
Editor :

Berita Lainnya

-->