• Jumat, 16 Mei 2025

BNPT: Perempuan Harus Jadi Agen Perdamaian

Kamis, 12 Maret 2020 - 11.49 WIB
104

Kepala Subdirektorat Pemberdayaan Masyarakat BNPT Andi Intang Dulung saat memaparkan materi. Foto: SitiKhoiriah/Kupastuntas.co

Bandar Lampung - Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) mendorong kalangan perempuan untuk aktif sebagai agen perdamaian di dunia nyata maupun di dunia maya sehubungan dengan tren radikalisasi yang menyasar kaum perempuan.

Kepala Subdirektorat Pemberdayaan Masyarakat BNPT, Andi Intang Dulung mengatakan, kalangan perempuan hendaknya secara aktif memberikan pencerahan dan pendidikan baik dalam lingkungan keluarga maupun masyarakat secara luas.

"Perempuan mempunyai peran strategis karena menjadi tumpuan pendidikan anak dalam keluarga," ujarnya saat memaparkan materi pada acara seminar perempuan agen perdamaian dalam pencegahan radikalisme dan terorisme yang dilaksanakan di Aula hotel Raden Intan, Natar, Lampung Selatan, Kamis (12/3/2020).

Ia mengatakan, banyaknya anggota laki-laki Islamic State of  Iraq and Syiria (ISIS) yang tewas di Suria mendorong kelompok itu mengerahkan perempuan dan anak-anak menjadi teroris, dan kecenderungan ini sudah menyebar ke seluruh dunia tak terkecuali Indonesia."Beberapa kasus pengeboman yang terjadi di Indonesia, kebanyakan para pelaku nya adalah kaum wanita," jelasnya.

Andi melanjutkan, kaum wanita sangat efektif jika dijadikan pelaku teroris karena pandai dalam mengelabuhi lawan. Diakui, selama lima tahun terakhir ada pergeseran pelibatan perempuan yang semula sebagai korban, kemudian pendukung, dan merambah menjadi pelaku teroris yang berhijrah dan menjadi jihadis.

Ia menunjuk contoh kejadian bom bunuh diri di Mapolres Medan, yang disinyalir kuat korbannya terpapar radikalisme dari isteri dan guru ngajinya. Pelibatan istri juga terjadi pada kasus bom tiga gereja di Surabaya pada 2018 silam."Seperti teror bom yang terjadi di Istana negara, itu pelaku  wanita yang membawa panci untuk mengelabuhi petugas keamanan," bebernya.

Keadaan perempuan yang secara sosial, budaya, ekonomi, dan politik terdiskriminasi, membuatnya minim akses pengetahuan dan pendidikan. Belum lagi pengaruh budaya yang mengharuskan perempuan untuk taat terhadap perintah suami, termasuk dalam aksi radikalisme-terorisme. Apalagi jika pemahaman mereka terhadap agama keliru.

"Perempuan juga dianggap lebih lembut dan halus dalam melakukan upaya radikalisme,” ungkapnya.(*)

Editor :