• Kamis, 15 Mei 2025

Puluhan PMI Lampung Jadi Korban Human Trafficking di Malaysia

Jumat, 13 Mei 2022 - 08.19 WIB
465

Foto : Ist.

Kupastuntas.co,Bandar Lampung - Puluhan Pekerja Migran Indonesia (PMI) asal Provinsi Lampung diduga menjadi korban human trafficking saat bekerja di perusahaan peternakan ayam di Malaysia.

Salah seorang PMI berinisial DR menuturkan, ia bersama rekan-rekannya ditawari pekerjaan oleh seseorang yang merupakan keluarga dari agensi perusahaan yang bergerak di bidang peternakan ayam di Malaysia.

“Orang itu pernah bekerja di sana (Malaysia), terus habis kontrak lalu pulang. Ia menawarkan pekerjaan ke kami dengan iming-iming gaji Rp6 juta sampai Rp7 juta per bulan. Ia juga menjanjikan sistem kerja yang nyaman di Perusahaan Leong Farm,” kata DR, warga Ketapang Lampung Selatan saat dihubungi melalui telepon, Kamis (12/5).

Ajakan itu disambut DR bersama 20 orang lainnya. Mereka mempersiapkan pemberangkatan ke Malaysia pada November 2021.

DR bersama puluhan warga asal Ketapang lainnya lalu mengurus proses pemberangkatan ke Malaysia seperti melakukan medical check up di Bandar Lampung.

“Yang lolos kesehatan bisa melanjutkan perjalanan, yang nggak lolos dipulangkan,” terangnya.

Setelah dianggap memenuhi syarat, DR dan rekan-rekannya menempuh perjalanan udara dari Bandara Radin Inten II Branti dan transit di Bandara Soekarno Hatta Jakarta untuk kemudian melanjutkan penerbangan ke Batam.

“Dari Batam, kami dijemput menggunakan dua unit speed boat untuk diantar  menuju Malaysia. Namun sebelum mencapai bibir pantai di wilayah Malaysia, kami disuruh menceburkan diri ke laut dan diminta berenang hingga sampai ke pinggir pantai,” bebernya.

Baru sampai di daratan Malaysia, DR dan rekan-rekannya diajak berjalan kaki beberapa kilometer untuk menghindari pengawasan dari petugas keamanan Negara Jiran.

Saat tiba di titik kumpul yang telah ditentukan, mereka dijemput menggunakan taksi menuju tempat kerja.

DR mengaku tidak menaruh kecurigaan sama sekali ketika sampai di lokasi perusahaan. Mereka  diberikan tempat tinggal berupa mess. Para PMI ini bekerja sebagai penjaga kandang peternakan ayam tersebut.

DR mulai curiga karena setelah beberapa bulan bekerja, karena perusahaan belum memberikan gaji.

“Kami juga sempat mempertanyakan status kami ini pekerja legal atau ilegal. Saat itu perusahaan berdalih berkas administrasi dalam proses pembuatan. Namun saat ditunggu-tunggu berkas itu tak kunjung selesai,” ungkapnya.

DR melanjutkan, pembayaran gaji juga ternyata bukan per bulan tetapi per periode panen ayam. Bahkan ketika sudah panen pun bukan uang gaji yang didapat, melainkan hanya laporan gaji yang diberikan oleh perusahaan kepada para pekerja.

“Laporan itu berisi potongan gaji yang dipergunakan untuk kebutuhan sehari-hari para pekerja. Kalaupun pekerja ingin mendapatkan uang, harus membuat keterangan yang kuat ke perusahaan. Jika perusahaan menyetujui, uang akan dikirim ke rekening keluarga pekerja di kampung halaman,” jelasnya.

Diakuinya, sudah ada beberapa pekerja yang mendapatkan uang gaji setelah memberikan alasan ke perusahaan untuk keperluan keluarga yang mendesak.

“Namun nominal uang gaji yang kami terima hanya sebesar Rp3 juta. Selama di sana baru terima gaji segitu. Padahal, besaran uang gaji yang dijanjikan sebelum berangkat 2.300 Ringgit atau sekitar Rp7 juta per bulan. Namun kemudian berubah hanya dibayar 2.400 Ringgit atau sekitar Rp7,9 juta per panen dengan kurun waktu kurang lebih dua bulan,” ucapnya dengan nada kesal.

PMI lainnya, S, mengungkapkan perusahaan juga melakukan pemaksaan kerja kepada para PMI meski yang bersangkutan sedang sakit.

“Pekerja yang mendapat kecelakaan saat bekerja berupa kaki memar dan meminta izin untuk istirahat tidak boleh. Tetap disuruh bekerja seperti biasa. Bahkan ada pekerja yang kakinya luka karena terserang bakteri kotoran ayam. Memang ada upaya pengobatan dari perusahaan karena pekerja dijamin asuransi, namun tetap disuruh bekerja,” terangnya.

S melanjutkan, jam kerja yang ditetapkan kepada para pekerja juga tidak wajar.

“Kami harus bekerja dari pukul 04.00 sampai 22.00 waktu setempat, sudah termasuk istirahat. Data diri berupa KTP asli turut ditahan oleh perusahaan,” ungkapnya.

Karena sudah tidak kuat, DR dan S bersama tujuh pekerja lainnya melarikan diri dari perusahaan tersebut.

“Namun kami tidak bisa pulang ke kampung halaman karena terkendala administrasi. Harapan keluarga pihak perusahaan dapat bertanggung jawab, dan pemerintah dapat membantu memulangkan kami dengan selamat. Keluarga kami berniat menempuh ke jalur hukum dengan kejadian ini,” pungkasnya. (*)

Berita ini sudah terbit di Surat Kabar Harian Kupas Tuntas Edisi Jumat (13/5/2022).

 

Editor :