• Kamis, 18 April 2024

Ditentang Berbagai Pihak, Ini Dampak Penundaan Pemilu 2024 Menurut Para Ahli

Sabtu, 04 Maret 2023 - 13.56 WIB
494

Ilustrasi

Kupastuntas.co, Bandar Lampung - Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) membuat putusan kontroversial mengenai penundaan Pemilu 2024 hingga Juli 2025, yang dibacakan pada Kamis (2/3/2023).

Pada putusan atas gugatan 757/Pdt.G/2022 yang dilayangkan pada 8 Desember 2022 itu, PN Jakpus memerintahkan kepada KPU untuk melakukan penundaan Pemilu.

"Menghukum Tergugat untuk tidak melaksankan sisa tahapan Pemilihan Umum 2024 sejak putusan ini diucapkan dan melaksanakan tahapan Pemilihan Umum dari awal selama kurang 2 (dua) tahun empat (4) bulan 7 (tujuh) hari," bunyi dari diktum kelima amar putusan tersebut.

Menanggapi hal itu, Roby Cahyadi Kurniawan pengamat Politik Universitas Lampung dan Doktor spesialisasi Pemilu itu membeberkan kerugiaan apabila terjadi penundaan Pemilu 2024.

"Dalam logika politik penundaan Pemilu tentunya menyebabkan biaya yang dikeluarkan akan lebih tinggi," terang Roby, Jumat (3/3/2023).

Secara pribadi Roby mengatakan, ia menolak dan melawan dengan tegas putusan dari PN Jakpus tersebut.

"Putusan tersebut tentunya akan membatalkan keseluruhan tahapan pemilu yang saat ini tengah berlangsung, oleh karenanya putusan tersebut sangat amat disayangkan," katanya.

Menurutnya, PN Jakpus seharusnya melakukan penolakan atas gugatan yang dilayangkan, karena gugatan tersebut tidak tepat.

"Secara lebih tepat, tentunya gugatan tersebut diajukan kepada Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), disebabkan oleh gugatannya berupa putusan yang dikeluarkan oleh KPU RI," tandas Wakil Dekan III FISIP Unila itu.

Sehingga, menurut penilaiannya perkara perdata Pidana Pemilu harus diputuskan oleh Mahkmah Konstitusi (MK).

"Apabila putusan dari PTUN tersebut tidak selesai, maka dapat dilanjutkan ke ranah MK, yang lebih berhak menangani perkara perdata serta pidana Pemilu," ujarnya.

Oleh karena itu, ia mengatakan KPU RI harus melakukan banding kepada Pengadilan Tinggi Jakarta untuk melawan putusan PN Jakpus tersebut.

Sependapat, Budiyono pengamat Hukum juga dari Universitas Lampung mengatakan, putusan itu inkonstitusional.

"Putusan PN Jakpus ini menurut saya putusan yang melampaui kewenangan pengadilan dan sudah bertentangan dengan konstitusi. Seharusnya PN adalah lembaga yang menjaga dan menghormati konstitusi sebagai sumber hukum tertinggi di Indonesia," terang Budiyono, Jum'at (3/3/2023).

Ia mengatakan, putusan PN Jakpus tersebut tidak pernah terjadi dalam sejarah Indonesia bahkan dalam sejarah peradilan dunia. Oleh karenanya, ia mendukung kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk mengambil langkah pengajuan banding.

"Mendukung langkah hukum KPU dengan mengajukan banding dan tidak melaksanakan putusan yang berakibat tertundanya tahapan Pemilu," tandasnya.

Menurutnya, putusan PN Jakpus ini jelas melanggar sumber hukum tertinggi (hirarki) yaitu konstitusi UUD 1945, sehingga layak untuk dilawan melalui mekanisme pengajuan banding kepada Pengadilan Tinggi.

Pakar Hukum Tata Negara, Feri Amsari, menyebut putusan hakim PN Jakpus yang mengabulkan gugatan perdata Partai Prima "tidak rasional dan di luar yuridiksi".

Sebab gugatan soal verifikasi partai calon peserta pemilu 2024, masuk dalam sengketa administrasi pemilu yang mana menjadi ranah Bawaslu atau Pengadilan Tata Usaha Negara.

"Tidak diperkenankan pengadilan negeri memutuskan untuk menunda pemilu karena itu bukan yuridiksi dan kewenangannya," ujar Feri, Jumat (03/03) sebagaimana kami kutip dari BBC News Indonesia.

"Pemilu itu dilangsungkan berkala lima tahun sekali berdasarkan Pasal 22 E ayat UUD 1945," sambungnya.

"Tidak mungkin pengadilan negeri menentang ketentuan pasal konstitusi ini."

Selain menabrak UU 1945, kata dia, putusan PN Jakpus juga sesungguhnya bertentangan UU Pemilu karena dalam undang-undang tersebut hanya mengenal penundaan dalam bentuk susulan dan lanjutan.

Artinya, kata dia, tidak boleh ada penundaan nasional.

"Penundaan susulan kalau di tahapan tertentu terjadi upaya yang tidak memungkinkan dilakukan proses pemilu karena bencana. Maka tahapan yang tertunda disusulkan."

Bagi Feri, putusan PN Jakpus ini sebagai ancaman bagi demokrasi di Indonesia.

Peneliti Departemen Politik dan Perubahan Sosial dari Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Nicky Fahrizal, sependapat.

Menurut dia, sedari awal gugatan ini sudah keliru dan hakim seharusnya menyatakan gugatan Partai Prima tersebut tidak bisa diterima karena bukan ranah mereka.

"Itu yang tidak dipahami hakim PN Jakpus," ujar Nicky Fahrizal dalam diskusi di Jakarta, Jumat (03/03).

Apa akibatnya terhadap proses tahapan pemilu?

Akibat dari putusan tersebut proses tahapan pemilu berjalan dalam ketidakpastian hukum, kata peneliti CSIS, Nicky Fahrizal.

Terlebih KPU menyatakan akan melakukan banding.

"Kalau banding harus menunggu proses persidangan yang mungkin sampai Mahkamah Agung dan memakan waktu lama," jelas peneliti CSIS, Noory Okthariza.

Menurut Nicky, ada langkah lain yang sebetulnya bisa ditempuh KPU tanpa membuang-buang waktu dan secara hukum lebih tepat.

Karena ini termasuk gugatan perdata, KPU hanya perlu membayar ganti rugi materiil kepada penggugat sebesar Rp500 juta dan melakukan verifikasi ulang terhadap Partai Prima.

Soal bunyi putusan yang menunda pelaksanaan tahapan pemilu, "bisa diabaikan oleh KPU dengan alasan bahwa itu melampaui batasan yuridiksi hukum dan menabrak Undang-Undang Pemilu serta UUD 1945," jelasnya.

Meskipun diakui Nicky, akan muncul narasi 'KPU atau pemerintah tidak menghormati putusan pengadilan' oleh kelompok tertentu yang ingin menunda pemilu.

Apa dampak menunda pemilu?

Ketua Departemen Politik dan Perubahan Sosial CSIS, Arya Fernandes, mengatakan pelaksanaan pemilihan umum tiap lima tahun sekali sudah diatur dalam konstitusi.

Jika terjadi perubahan durasi pemilu, maka itu sama saja bertentangan pada UUD 1945.

Pelaksanaan pemilu lima tahun sekali, sesungguhnya penting agar ada kepastian politik bagi parpol dalam memilih kandidat caleg dan capres.

Pemilu yang pasti, sambungnya, juga penting untuk "memastikan agar sirkulasi kepemimpinan di level nasional dan daerah bisa berjalan sesuai waktu".

Arya menyebut kalau ada penundaan, dampak yang paling besar adalah "terjadi pembengkakan anggaran pemilu lantaran masa kerja penyelenggara jadi lebih panjang".

Di sisi lain, penundaan pemilu memberikan ketidakpastian bagi dunia usaha dan perbankan untuk merancang strategi investasi ke depan.

"Stabilitas akan memengaruhi, muncul ketidakpercayaan investor domestik dan luar negeri," katanya. (*)