• Minggu, 16 Juni 2024

Berbagai Pembangunan Era Jokowi Belum Berdampak Besar Bagi Pertumbuhan Ekonomi Indonesia

Rabu, 25 Oktober 2023 - 15.35 WIB
116

Presiden Jokowi dan segala pembangunannya belum mampu mengangkat pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Foto: Ist

Kupastuntas.co, Bandar Lampung - Pembangunan berbagai infrastruktur selama era kepemimpinan Presiden Republik Indonesia Joko Widodo (Jokowi) belum menghasilkan dampak besar bagi pertumbuhan ekonomi, bahkan kualitasnya cenderung menurun dan menambah besar hutang negara. 

Melihat tren pertumbuhan ekonomi Indonesia selama Jokowi menjabat sebagai presiden atau pada periode pertama atau pada masa peralihan dari pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) tahun 2014, mengacu pada data Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) dan Badan Pusat Statistik (BPS) bahwa pertumbuhan ekonomi berada pada angka 5,01 persen.   

Tahun berikutnya atau pada 2015 merosot ke 4,88 persen, yang kemudian berhasil naik menuju 5,03 persen pada 2016 atau lebih tinggi dari capaian 2014.  

Pada tahun keempat Pemerintahan Jokowi di 2017, pertumbuhan ekonomi Indonesia terus naik dan menuju ke angka 5,07 persen dan mencapai ke level 5,17 persen pada 2018.  

Memasuki periode kedua pemerintah Jokowi atau pada 2019, pertumbuhan ekonomi terpantau melambat ke level 5,02 persen.  

Kala pandemi Covid-19 menghantam Indonesia pada 2020, membuat mobilitas dan kegiatan masyarakat terhenti yang berdampak pada pertumbuhan ekonomi Indonesia merosot signifikan ke minus 2,07 persen.  

BPS mencatat pada 2021 Indonesia mulai bangkit dengan pertumbuhan ekonomi menyentuh 3,7 persen. 

Bahkan, pada 2022 pertumbuhan ekonomi Indonesia rebound ke 5,31 persen, lebih tinggi dari sebelum pandemi Covid-19 atau sepanjang sembilan tahun Jokowi menjabat sebagai presiden.

Dari seluruh lapangan usaha, sektor transportasi dan pergudangan serta akomodasi dan makan minum mencatatkan pertumbuhan di atas 10 persen pada 2022, yaitu masing-masing mencapai 19,87 persen dan 11,97 persen.

Jika dibandingkan era Presiden SBY, sejak periode awal Presiden SBY atau pada 2004, pertumbuhan ekonomi Indonesia telah mencapi 5 persen. 

Tahun-tahun berikutnya pertumbuhan ekonomi terpantau cukup stabil, namun terjadi perlambatan pada 2009 akibat krisis ekonomi di Amerika Serikat yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi hampir di semua negara. 

Memasuki 2005, pertumbuhan ekonomi terjaga di level 5 persen, tepatnya 5,7 persen dan pada 2006 ke 5,5 persen. 

Baru pada 2007 pertumbuhan ekonomi Indonesia menyentuh level 6,3 persen dan tahun berikutnya 2008 ke 6 persen.  

Sebagai dampak krisis ekonomi di AS, ekonomi Indonesia 2009 masih bertahan di level 4,6 persen. Pada 2010 ekonomi Indonesia berhasil bangkit ke 6,2 persen yang mendekati capaian 2007.  

Dua tahun sebelum berakhirnya pemerintahan SBY, tercatat pertumbuhan ekonomi tertinggi yang mencapai 6,5 persen pada tahun 2011, namun tahun 2012  mengalami tren penurunan ke 6,2 persen dan 5,78 persen di tahun 2013.  

Sementara di masa peralihan SBY ke Jokowi tahun 2014, tercatat pertumbuhan ekonomi di level 5,01 persen.  

Subsektor industri di era SBY menyerap banyak tenaga kerja, sehingga menyumbang penumbuhan lapangan kerja formal.  

Pertumbuhan ekonomi pada periode SBY ditopang oleh konsumsi rumah tangga dan PMTB sebagai sumber utama pertumbuhan ekonomi yang tetap tumbuh positif di tengah gejolak krisis ekonomi dunia mulai 2008.  

Dengan stabilitas ekonomi yang terjaga telah meningkatkan daya beli masyarakat serta menarik investor asing dan domestik untuk berinvestasi di Indonesia.

Pengamat Ekonomi Central for Urban and Regional Studies (CURS), Erwin Oktavianto menilai, masing-masing periode kepemimpinan presiden antara Jokowi dan SBY mimiliki permasalahan sendiri.

SBY dengan berbagai paket kebijakan ekonomi menjadikan laju pertumbuhan lebih terarah. Sehingga target-target pertumbuhan ekonomi dapat tercapai sesuai dengan apa yang diinginkan.

“Pada saat itu kita berbicara pertumbuhan ekonomi dan kualitas, peningkatan tenaga kerja juga cukup baik yakni naik 1 persen atau setara dengan menyerap sekitar 500.000 tenaga kerja,” ungkap dia saat dimintai tanggapan, Rabu (26/10).

Erwin mengatakan, memasuki era Presiden Jokowi terjadi perubahan yang mendasar. Terdapat beberapa kebijakan yang lebih mengarah kepada peningkatan infrastruktur secara masif seperti pembangunan jalan tol dan yang terbaru yaitu kereta cepat.

Terlepas dari aspek problematika seperti munculnya pandemi Covid-19 di periode kedua Presiden Jokowi, pertumbuhan pembangunan di era Jokowi yang cukup massif tersebut malah membawa dampak sangat rendah bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia.

“Bahkan kalau kita lihat kualitas pertumbuhan ekonominya justru cenderung menurun dan memperbesar utang negara. Sampai sejauh ini 200-300 ribu pekerja saja yang dapat terserap. Padahal, dalam setiap pembangunan tentu diharap berdampak positif besar bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia, namun yang ada saat ini belum memiliki dampak yang signifikan,” ucapnya.     

Ia menganggap bisa jadi faktor penyebab rendahnya pertumbuhan ekonomi Indonesia dikarenakan infrastruktur yang sudah terbangun belum punya rencana turunan. 

“Contoh, bangun tol, mungkin pendapatannya dari setiap mobil yang masuk tol. Tapi apakah dengan pembangunan tol sudah bermunculan kawasan-kawasan ekonomi di pinggir tol, belum ada,” katanya.   

Sementara jika mengingat kembali janji Jokowi ketika akan menjadi presiden yaitu pertumbuhan ekonomi Indonesia bisa mencapai 7 persen, lalu kemudian tidak tercapai sampai saat ini, maka menurut Erwin hal itu sangat disayangkan.

“Dengan janji optimisme saat dia akan menjadi presiden, maka itu akan selalu terngiang oleh masyarakat. Ketika itu tidak tercapai, maka akan menjadi catatan buruk di kepemimpinan Jokowi,” tegasnya.

Sehingga menurutnya persoalan ini harus menjadi evaluasi pemimpin berikutnya, bagaimana produk pembangunan mercusuar kedepan harus berdampak bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia. 

“Jadi harus mempengaruhi signifikansi terhadap sektor-sektor ekonomi yang bisa meningkat setiap tahunnya,” pungkasnya. (*)