• Kamis, 26 Juni 2025

Dampak Pembangunan Superblok, Tragedi Kemanusiaan Mengancam Masyarakat Tiga Kelurahan

Rabu, 17 Januari 2024 - 08.12 WIB
521

Tampak pembangunan proyek superblok di Way Halim Bandar Lampung. Foto: Radar TV

Kupastuntas.co, Bandar Lampung - Masyarakat yang berada di Kelurahan Way Dadi, Way Dadi Baru, Kecamatan Sukabumi, dan Way Halim Permai, Kecamatan Way Halim, Bandar Lampung, terancam mengalami tragedi kemanusiaan dengan adanya pembangunan perumahan dan ruko (superblok) di eks hutan kota.

Ancaman tragedi kemanusiaan dimungkinan terjadi karena PT Hasil Karya Kita Bersama (HKKB) telah melakukan penebangan ratusan pohon di lahan hijau yang berada di Jalan Soekarno Hatta tersebut. Dampak penebangan pohon itu diperkirakan telah menghilangkan produksi oksigen sekitar 1.800 ton.

“Penebangan ratusan pohon di eks hutan kota itu akan sangat berdampak bagi kehidupan masyarakat sekitar. Karena dalam satu hektar kawasan penghijauan menghasilkan sedikitnya 200 ton oksigen yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat. Kalau saat ini ada 9 hektar lahan yang digunduli, berarti perusahaan itu telah menghilangkan produksi sekitar 1.800 ton oksigen,” kata pengamat lingkungan Universitas Lampung, Slamet Budi Yuwono, Selasa (16/1/2024).

Selain itu, lanjut Slamet, hilangnya ratusan pohon penghijauan di kawasan kiri-kanan flyover Sultan Agung-Korpri dan samping kanan serta depan Transmart Lampung itu juga mengakibatkan tidak terserapnya 4.500 ton CO2 (karbon dioksida).

“Karena dalam satu hektar pohon penghijauan itu punya kemampuan menyerap sebanyak 500 ton CO2. Polusi udara dari kendaraan bermotor yang lalu lalang atau aktivitas industri yang ada di sekitar wilayah itu saat ini tidak bisa lagi terserap. Masyarakat sekitar benar-benar terancam mengalami tragedi kemanusiaan akibat pembabatan kawasan ruang terbuka hijau tersebut,” jelasnya.

Menurutnya, keberadaan pohon-pohon yang telah berusia di atas 5 tahun di eks hutan kota yang kini sudah ditebang sangat penting bagi masyarakat dan lingkungan sekitar. Karena memiliki fungsi melindungi erosi, menyerap polutan, dan menghasilkan oksigen.

Slamet menerangkan, masyarakat mengalami kerugian materiil dan immateriil dengan dibabatnya eks hutan kota. Kerugian materiil bisa dihitung dengan harga oksigen di rumah sakit.

“Kalau mau dikonversi ke rupiah untuk jumlah kerugian secara materiilnya, bisa dihitung dari harga oksigen di rumah sakit dikalikan dengan hilangnya pasokan 1.800 ton oksigen. Yang lebih parah adalah adalah kerugian immaterial, ini tidak bisa dihitung karena menyangkut kehidupan masyarakat,” paparnya.

Slamet mendukung sikap masyarakat sekitar yang menolak pembangunan perumahan dan ruko di eks hutan kota karena belum memiliki analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal).

“Saya mengapresiasi apa yang menjadi sikap masyarakat setempat. Karena memang aturannya begitu, sebuah perusahaan harus mengajukan Amdal sebelum melakukan kegiatan di lapangan. Harus ada izin lingkungan dulu, dalam hal ini Amdal, baru boleh ada kegiatan di lapangan. Jangan dibalik-balik,” ujarnya.

Ia mengungkapkan, masyarakat setempat berhak mengajukan class action terutama terkait kejahatan lingkungan. Sehingga nantinya bisa terungkap siapa yang memberi izin lokasi, termasuk pemberi izin atau pelaku penebangan atas pohon penghijauan itu.

“Persoalan ini memang harus disikapi dengan serius, karena ruang terbuka hijau di Bandar Lampung sekarang memang sudah tidak sesuai ketentuan perundang-undangan yang mewajibkan setiap kabupaten/kota memiliki RTH 30 persen dari luas wilayahnya,” imbuhnya.

Ia menyesalkan sikap Pemkot Bandar Lampung yang semestinya memfasilitasi atau melindungi ruang terbuka hijau (RTH), ini justru membiarkan ruang terbuka hijau hancur.

Slamet mengaku, baru mengetahui adanya pembabatan kawasan ruang terbuka hijau di pinggir Jalan Soekarno Hatta, Way Halim, saat melintasi di kawasan tersebut.

“Saya kaget saat lewat daerah itu kok sudah gundul begini. Kemana ratusan pohon penghijauannya. Dahulukan wilayah itu termasuk ruang terbuka hijau. Saya sangat prihatin dengan peristiwa ini,” ungkapnya.

Sementara itu, Sekdakot Bandar Lampung, Iwan Gunawan menjelaskan, lahan eks hutan kota yang sekarang dipermasalahkan oleh sebagian masyarakat itu sebenarnya sudah sesuai dengan Perda RTRW karena wilayah itu masuk kawasan perdagangan dan jasa.

Namun, lanjut dia, sebelum melakukan pembangunan, ada tahapan-tahapan yang harus dilakukan seperti proses perizinan. “Izin juga bukan satu saja, banyak yang harus dipenuhi seperti izin lingkungan hidup, izin lalu lintasnya, izin masalah udara, dan izin airnya,” jelasnya.

Ia mengatakan, lahan taman hutan kota Way Halim yang dulu milik negara itu kini sudah milik pengusaha yang telah mengantongi Sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) selama 30 tahun dan sudah diperpanjang lagi menjadi 30 tahun. Sehingga bisa digunakan untuk pembangunan perkantoran dan perumahan.

Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Bandar Lampung, Ahmad Husna menambahkan, PT HKKB harus memiliki amdal terlebih dahulu baru bisa melakukan proses pembangunan. Amdal disusun oleh konsultan yang ditunjuk oleh pemilik atau owner dari pihak pengembang.

“Memang sampai hari ini belum ada berkas amdal yang masuk ke DLH untuk dilakukan kerangka acuan pembangunan. Penyusunan Amdal mulai dari perencanaan itu seharusnya dilakukan sebelum kegiatan. Tetapi ini pihak pengembang sudah melakukan kekeliruan dari awal,” tegasnya.

Husna mengatakan, dokumen Amdal yang diserahkan perusahaan tersebut nantinya masih akan dilakukan penilaian dari berbagai pihak yakni DLH), aktivis lingkungan, akademisi, termasuk perwakilan warga.

Ia menerangkan, tahapan pembuatan Amdal tidak ditentukan waktunya. Namun biasanya paling cepat memakan waktu 3 bulan.

Husna mengingatkan para pengembang untuk mematuhi seluruh kewajiban yang telah ditentukan yang tertera di UU Lingkungan Hidup.

Sebelumnya diberitakan, warga dari Kelurahan Way Dadi dan Way Dadi Baru, Kecamatan Sukarame serta Kelurahan Way Halim Permai, Kecamatan Way Halim, menolak pembangunan perumahan dan ruko di area eks hutan kota di Jalan Soekarno Hatta depan SMAN 5 dan SMPN 29 Bandar Lampung,

Karena pembangunan di atas lahan seluas sekitar 20 hektar itu ternyata belum memiliki Analisis Dampak Lingkungan (Amdal). Namun, perusahaan telah melakukan kegiatan penimbunan di lokasi. Dampaknya, saat hujan turun terjadi banjir yang menggenangi rumah warga sekitarnya. (*)

Berita ini telah terbit di SKH Kupas Tuntas edisi Rabu 17 Januari 2024 dengan judul “Pengamat: Tragedi Kemanusiaan Mengancam Masyarakat Tiga Kelurahan