• Senin, 14 Oktober 2024

Pilkada 2024: Perubahan Regulasi dan Dampak Politik Dinasti, Oleh: Donald Harris Sihotang

Rabu, 03 Juli 2024 - 14.40 WIB
237

Dr. Donald Harris Sihotang, S.E., M.M., Dosen Universitas Saburai Bandar Lampung. Foto: Dok/kupastuntas.co

Kupastuntas.co, Bandar Lampung - Pilkada serentak merupakan momen penting dalam sistem demokrasi Indonesia, dimana pemilihan kepala daerah di berbagai wilayah dilakukan secara bersamaan.

Pada tahun 2024, aturan terkait Pilkada ini mengalami beberapa perubahan yang diatur dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 8 Tahun 2024. Salah satu perubahan utama adalah mengenai syarat usia minimal bagi calon kepala daerah, yang kini dihitung sejak pelantikan pasangan calon terpilih, bukan lagi pada saat pendaftaran.

PKPU No. 8 Tahun 2024 ditandatangani oleh Ketua KPU RI, Hasyim Asy'ari, pada 1 Juli 2024. Peraturan ini mengatur berbagai aspek pencalonan dalam Pilkada serentak, termasuk syarat usia minimal bagi calon gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati, wali kota, dan wakil wali kota.

Sesuai dengan Pasal 15 PKPU No. 8 Tahun 2024, usia minimal untuk calon gubernur dan wakil gubernur adalah 30 tahun, sementara untuk calon bupati, wakil bupati, wali kota, dan wakil wali kota adalah 25 tahun.

Penetapan usia ini dihitung sejak tanggal pelantikan pasangan calon terpilih. Ketentuan ini merujuk pada Pasal 14 ayat (2) huruf d dan merupakan penyesuaian dari aturan sebelumnya yang tercantum dalam PKPU No. 9 Tahun 2020, di mana usia minimal dihitung sejak penetapan pasangan calon.

Perubahan dalam perhitungan usia minimal ini didasarkan pada putusan Mahkamah Agung (MA) Nomor 23 P/HUM/2024. Putusan tersebut mengabulkan gugatan yang diajukan oleh Partai Garuda dan mengubah ketentuan sebelumnya yang menghitung usia minimal calon kepala daerah dari saat penetapan pasangan calon menjadi sejak pelantikan pasangan calon terpilih.

Menariknya, PKPU ini membahas tentang pencalonan gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta wali kota dan wakil wali kota, sementara pelantikan adalah urusan lain yang menjadi tanggung jawab pemerintah.

Selain syarat usia, PKPU No. 8 Tahun 2024 mencantumkan syarat penting lainnya bagi calon kepala daerah. Sesuai dengan Pasal 19, calon kepala daerah tidak boleh pernah menjabat sebagai gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati, wali kota, atau wakil wali kota selama dua kali masa jabatan dalam jabatan yang sama. Ketentuan ini meliputi:

a) Jabatan yang sama yaitu jabatan gubernur dengan gubernur, jabatan wakil gubernur dengan wakil gubernur, jabatan bupati/wali kota dengan bupati/wali kota, dan jabatan wakil bupati/wali kota dengan wakil bupati/wali kota.

b) Masa jabatan yaitu: selama 5 (lima) tahun penuh; dan/atau paling singkat selama 2 ½ (dua setengah) tahun.

c) Masa jabatan yang telah dijalani setengah atau lebih adalah sama dan tidak membedakan baik yang menjabat secara definitif maupun penjabat sementara.

d) Dua kali masa jabatan dalam jabatan yang sama meliputi: telah 2 (dua) kali berturut-turut dalam jabatan yang sama; telah 2 (dua) kali dalam jabatan yang sama tidak berturut-turut; atau telah 2 (dua) kali dalam jabatan yang sama di daerah yang sama atau di daerah yang berbeda.

e) Penghitungan masa jabatan dilakukan sejak pelantikan.

Pada poin c disebutkan, jabatan yang sama tidak membedakan baik yang menjabat secara definitif maupun penjabat sementara.

Lalu pada poin e, penghitungan masa jabatan dilakukan sejak pelantikan. Ini juga berpotensi menjadi perdebatan, karena untuk jabatan pelaksana tugas kepala daerah itu tidak dilakukan pelantikan. Pelantikan baru dilakukan pada saat diangkat menjadi kepala daerah definitif.

Politik Dinasti

Politik dinasti menjadi perhatian dalam konteks Pilkada serentak. Fenomena politik dinasti, di mana kekuasaan politik dijalankan oleh sekelompok orang yang memiliki hubungan darah, masih marak terjadi di Indonesia.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), dinasti diartikan sebagai keturunan raja-raja yang memerintah, semuanya berasal dari satu keluarga. Sementara menurut pengertiannya, politik dinasti adalah sistem kekuasaan politik yang dilakukan sekelompok orang yang masih mempunyai hubungan darah.

Fenomena ini cukup marak terjadi, termasuk di Provinsi Lampung. Politik dinasti sangat identik dengan zaman kerajaan. Pemerintahan diturunkan dari ayah ke keturunan selanjutnya. Tujuan politik dinasti adalah supaya kekuasaan atau pemerintah tetap dipegang orang-orang yang masih keluarga.

Majunya para bakal calon kepala daerah yang memiliki hubungan keluarga atau kekerabatan dengan para pejabat negeri dianggap sebagai 'aji mumpung'.

Mereka dianggap akan mendapat banyak bantuan mengingat status mereka tersebut.

Fenomena ini berpotensi merusak proses demokrasi di Indonesia karena tidak memberi ruang dan kesempatan anak-anak bangsa yang lain untuk menjadi wali kota, bupati, atau gubernur.

Pada Pilkada 2024, fenomena politik dinasti ini kemungkinan besar akan semakin marak. Pimpinan di tingkat pusat lah yang menginspirasi. Jika presiden saja melakukan politik dinasti, apalagi pejabat lainnya, termasuk yang di daerah.

Fenomena ini menunjukkan bahwa politik dinasti masih menjadi masalah serius. Partai politik dewasa ini cenderung memilih bakal calon dari dinasti politik untuk disodorkan dalam kontestasi pemilihan kepala daerah dibandingkan dari kadernya sendiri. Hal ini dikarenakan mereka yang memiliki hubungan dengan pejabat negeri dianggap memiliki kekuatan politik lebih.

Mereka memiliki dukungan finansial yang kuat, orang tua dengan jabatan yang bagus, jaringan yang hebat, dan birokrasi yang mendukung.

Hingga saat ini, memang tidak ada aturan yang melarang atau membatasi secara khusus soal dinasti politik ini, hanya masalah moralitas saja. Tanggung jawab moral dalam menjaga dan merawat demokrasi.

Dahulu, pernah ada Undang-Undang Nomor 8 tahun 2015 tentang Pilkada terkait larangan calon kepala daerah yang memiliki hubungan kerabat dengan petahana sebelum akhirnya dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi.

Masyarakat harus cerdas dalam memilih calon kepala daerah nantinya. Sifat pemilih di Indonesia masih kerap menomorduakan "kemampuan, kecerdasan, dan pengalaman" yang dimiliki calon kepala daerah tersebut.

Pertimbangan pemilih lebih kepada kepribadian kandidat. Publik mempersepsikan sosok tersebut sebagai sosok yang dermawan, merakyat, bersih. Hal-hal itu yang justru menjadi pertimbangan sebagian besar masyarakat Indonesia. Kalau masyarakatnya cerdas pasti akan memilih berdasarkan integritas, visi misi. Tapi kalau seperti saat ini, masyarakat akan tetap terpengaruh oleh nilai-nilai pragmatis yang dijanjikan oleh dinasti politik itu.

Karena itu, isu politik dinasti menjadi tantangan yang perlu diatasi untuk mewujudkan demokrasi yang lebih sehat dan kompetitif di Indonesia.

Sistem Presidensial

Negara kita menganut sistem presidensial, bukan kerajaan. Seharusnya tidak ada yang namanya politik dinasti.

Sistem presidensial adalah sebuah sistem pemerintahan di mana kekuasaan eksekutif dipegang oleh seorang presiden yang dipilih langsung oleh rakyat melalui pemilihan umum. Presiden memiliki wewenang untuk menjalankan pemerintahan dan mengambil keputusan yang penting dalam kebijakan negara.

Dalam sistem ini, presiden bertindak sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan sekaligus. Ia memiliki kekuasaan yang independen dan tidak tergantung pada dukungan dari parlemen.

Salah satu karakteristik utama dari sistem presidensial adalah pemisahan kekuasaan antara eksekutif dan legislatif.

Presiden dan parlemen memiliki kekuasaan yang mandiri dan saling mengawasi. Presiden bertanggung jawab atas kebijakan pemerintahan dan pelaksanaan keputusan-keputusan penting, sementara parlemen bertugas membuat undang-undang dan mengawasi kegiatan pemerintah. Dalam sistem presidensial, presiden tidak dapat dijatuhkan oleh parlemen, kecuali melalui proses impeachment yang rumit.

Sistem presidensial juga memberikan stabilitas politik yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan sistem parlementer. Karena presiden dipilih langsung oleh rakyat, ia memiliki legitimasi politik yang kuat.

Presiden memiliki masa jabatan yang tetap dan tidak tergantung pada dukungan mayoritas parlemen. Hal ini mengurangi risiko pergantian kepemimpinan yang sering terjadi dalam sistem parlementer, di mana pemerintahan bisa jatuh jika partai mayoritas di parlemen mengalami perubahan.

Menurut laporan data dari KPU, total daerah yang mengikuti penyelenggaraan Pilkada serentak tahun 2024 di Indonesia adalah sebanyak 37 provinsi dan 508 kabupaten/kota, dengan pelaksanaan pemungutan suara Pilkada serentak pada Rabu, 27 November 2024.

Tahap penyelenggaraan Pilkada 2024 meliputi pemenuhan persyaratan dukungan pasangan calon perseorangan dari 5 Mei 2024 hingga 19 Agustus 2024, pengumuman pendaftaran pasangan calon dari 24 Agustus 2024 hingga 26 Agustus 2024, dan pendaftaran pasangan calon dari 27 Agustus 2024 hingga 29 Agustus 2024.

Selanjutnya, penelitian pasangan calon dilakukan dari 27 Agustus 2024 hingga 21 September 2024, penetapan pasangan calon pada 22 September 2024, pelaksanaan kampanye dari 25 September 2024 hingga 23 November 2024, dan pemungutan suara pada 27 November 2024.

Penghitungan suara dan rekapitulasi hasil penghitungan suara dilakukan dari 27 November 2024 hingga 16 Desember 2024.

Penetapan calon terpilih dilakukan paling lama 3 hari setelah Mahkamah Konstitusi secara resmi memberitahukan permohonan yang teregistrasi dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi (BRPK) kepada KPU. Penyelesaian pelanggaran dan sengketa hasil pemilihan dilakukan paling lama 5 hari setelah salinan penetapan, putusan dismisal atau putusan Mahkamah Konstitusi diterima oleh KPU, dan pengusulan pengesahan pengangkatan calon terpilih dilakukan paling lama 3 hari setelah penetapan pasangan calon terpilih.

Sebagai masyarakat yang bijak dan cerdas, kita harus mampu memilih calon kepala daerah berdasarkan integritas, visi, dan misi mereka, bukan karena hubungan keluarga atau popularitas semata. Pilkada serentak 2024 adalah kesempatan emas untuk memperkuat demokrasi di Indonesia. Jangan biarkan politik dinasti merusak proses demokrasi kita.

Pilihlah calon yang benar-benar memiliki kemampuan, kecerdasan, dan pengalaman untuk memimpin, agar demokrasi yang sehat dan kompetitif dapat terwujud di Indonesia. (*)