• Selasa, 19 Agustus 2025

YLKI Lampung Minta Pemerintah Tunda Kenaikan PPN 12 Persen

Rabu, 20 November 2024 - 13.21 WIB
101

Ketua YLKI Lampung, Subadra Yani Moersalin. Foto: Sri/Kupastuntas.co

Sri

Kupastuntas.co, Bandar Lampung - Pemerintah berencana menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi 12% pada Januari 2025 sesuai dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). Namun, rencana ini mendapat penolakan dari Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Lampung. 

Ketua YLKI Lampung, Subadra Yani Moersalin, menyampaikan bahwa kebijakan ini berpotensi memberatkan masyarakat, terutama kelompok menengah ke bawah yang masih mengalami tekanan ekonomi pasca pandemi.

"Kenaikan ini pasti berdampak pada daya beli masyarakat. Kami meminta DPR RI memperjuangkan penundaan kebijakan ini serta mendesak pemerintah untuk mengkaji ulang kebijakan tersebut," ujarnya, saat dimintai keterangan, Rabu (20/11/2024). 

Menurut Subadra, kenaikan PPN sebelumnya dari 10% menjadi 11% pada 2023 masih menyisakan banyak ketidakjelasan, terutama terkait barang dan jasa yang dikenakan pajak.

"Pemerintah harus transparan. Kebutuhan pokok seperti makanan dan transportasi umum memang tidak dikenakan pajak, tetapi banyak barang lain yang tidak jelas kategorinya. Hal ini menimbulkan kebingungan di masyarakat dan pelaku usaha," tambahnya. 

Selain itu, Subadra mengkritik alasan pemerintah yang mengaitkan kenaikan PPN dengan upaya meningkatkan pendapatan negara untuk mengurangi ketergantungan pada utang luar negeri. Ia menilai beban untuk menutupi kebutuhan anggaran tidak seharusnya sepenuhnya dialihkan ke masyarakat. 

Kemudian jika di pasar modern barangnya terkena pajak kemudian kalau di pasar tradisional itu tidak, maka ia menyarankan agar masyarakat untuk berbelanja di pasar tradisional.

"Pasar modern itu di struk kok nambahnya dua kali lipat, maka saran saya kalau memang mau belanja ya belanja di pasar tradisional dulu lah karena di situ tidak ada dikenakan pajak, " ucap Subadra.

YLKI Lampung meminta pemerintah segera melakukan sosialisasi yang menyeluruh terkait kebijakan ini, termasuk menjelaskan kategori barang dan jasa yang dikecualikan dari kenaikan PPN. 

“Pemerintah harus melibatkan masyarakat dan pelaku usaha untuk memastikan pemahaman yang sama. Tanpa sosialisasi yang jelas, kebijakan ini hanya akan menimbulkan keresahan di masyarakat,” tutup Subadra. 

Sementara itu, Pengamat Ekonomi Universitas Lampung (Unila), Asrian Hendy Caya menjelaskan bahwa PPN memberikan kontribusi besar terhadap penerimaan negara, mencapai sekitar 35% dari total penerimaan pajak. Namun, kenaikan PPN dari 11% menjadi 12% dapat memengaruhi konsumsi masyarakat. 

"Dengan kenaikan PPN, harga barang dan jasa akan naik. Konsumen dengan pendapatan tetap akan mengurangi pembelian barang sekunder, sehingga pola permintaan berubah. Ini bisa menekan konsumsi dan berdampak pada pertumbuhan ekonomi," jelas Asrian. 

Asrian juga menyoroti dampak kenaikan PPN pada investasi, khususnya terkait bahan baku industri.

"Jika bahan baku terkena pajak, ini akan menambah biaya produksi, yang kemudian bisa menekan daya saing industri dalam negeri. Intinya pemerintah harus bisa mengendalikan dampaknya agar tidak membebani perekonomian, " ucapnya.

Selain itu, pemerintah juga harus memastikan bahwa kebijakan ini tidak membebani sektor UMKM dan industri kecil. Karena kalau konsumsi tertekan termasuk bahan bakunya dengan sendirinya UMKM yang menghasilkan akan mengalami situasi sulit.

"Misalnya pembebasan hutang UMKM bagian dari mitigasi. Tapi sejauhmana pengendalian pemerintah, kita tunggu pemerintahan baru meresponnya. Karena kebijakan kenaikan PPN ini bagian dari strategi yang disusun pemerintahan lama," tandasnya. (*)