• Senin, 09 Juni 2025

Partisipasi Pemilih Pilkada Rendah, Ini Kata Pengamat Politik di Lampung

Minggu, 08 Desember 2024 - 10.45 WIB
118

Pengamat Politik Universitas Saburai, Kamal Fahmi Kurnia dan Pengamat Politik Universitas Lampung (Unila) Bendi Juantara. Foto: Ist.

Kupastuntas.co, Bandar Lampung - Sejumlah pengamat politik menyoroti rendahnya partisipasi pemilih pada Pilkada serentak 2024 di Provinsi Lampung, pasalnya berdasarkan data yang dikeluarkan KPU partisipasi pemilih untuk Pilkada Kabupaten/Kota hanya 65,39 persen.

Pengamat Politik Universitas Saburai, Kamal Fahmi Kurnia mengaku ironi melihat rendahnya partisipasi pemilih di provinsi Lampung, dirinya mengatakan ada beberapa faktor yang mempengaruhi rendahnya partisipasi pemilih.

Ia menuturkan, beberapa faktor yang mempengaruhi turunya partisipasi pemilih yakni Pilkada dilaksanakan beririsan dengan penyelenggaraan Pemilu sebelumnya, sehingga kesiapan penyelenggara Pilkada tidak maksimal.

"Sehingga penyelenggaraan Pilkada serentak itu hanya menggunakan energi residu atau energi sisa karena sudah begitu euforia dengan Pileg, Pilpres, kemudian selang beberapa bulan ada Pilkada," kata dia, Minggu (8/12/2024).

Kamal menambahkan, faktor turun nya partisipasi pemilih bukan hanya dilihat dari sisi pemilih tetapi dipengaruhi juga faktor penyelenggara Pilkada yang kurang maksimal melakukan persiapan karena hanya menggunakan energi sisa.

"Jadi dalam posisi itu memang perlu dilakukan evaluasi manakala penyelenggaraan Pilkada terlepas sudah menjadi keputusan Mahkamah Konstitusi bahwa penyelenggaraan Pilkada secara serentak tetapi perlu dipertimbangkan lagi terkait waktu penyelenggaraan nya," tegasnya.

"Apakah memang harus dalam tahun yang sama karena kan pernah disampaikan juga oleh penyelenggara bahwa itu akan menjadi kesulitan tersendiri karena adanya tahapan yang beririsan, sehingga saya melihat penyelenggaraan Pilkada ini hanya menggunakan energi sisa setelah habis-habisan menyelenggarakan Pileg dan Pilpres," sambungnya.

Sehingga kata dia siapa pun calon kepala daerah yang di munculkan menjadi terlihat tidak kompetitif karena antusias pemilih sudah tidak terfokus bahkan menurun karena merasa sudah euforia mengikuti Pileg Pilpres di tahun yang sama hanya berbeda bulan lalu menghadapi Pilkada serentak.

"Saya tidak mengatakan bahwa calon-calon yang disediakan tidak kompetitf karena itu kan perlu kajian yang lebih mendalam sebenarnya, artinya kualifikasi kompetitif atau tidak nya seperti apa, tetapi karena adanya energi sisa menjadikan efek domino seolah-olah siapa pun calon yang tersedia dalam kondisi apa pun seperti tidak kompetitif," jelasnya.

Ia berharap pada penyelenggaraan Pilkada dan Pemilu kedepan jangan dilaksanakan pada tahapan yang beririsan.

"Artinya bisa dilakukan dengan jarak waktu minimal 1 tahun, itu dalam hal kebijakan dari tingkat pusat," kata dia.

"Namun terlepas dari itu jika memang harus waktu yang berdekatan, penyelenggara harus tetap memperahankan energi yang ada walaupun dalam jangka waktu yang tidak lama baru saja menyelenggarakan Pileg Pilpres," sambungnya.

Tetapi yang paling substansi adalah adanya kebijakan dari pusat yang mengevaluasi bahwa penyelenggaraan Pileg Pilpres dan Pilkada bisa di kaji ulang dalam waktu pelaksanaan sehingga semua tahapan penyelenggaraan Pileg, Pilpres dan Pilkada bisa berjalan maksimal.

Sementara Pengamat Politik Universitas Lampung (Unila) Bendi Juantara menambahkan, rendahnya partisipasi pemilih menunjukkan adanya apati atau ketidakpuasan terhadap proses demokrasi, yang seharusnya menjadi wadah bagi aspirasi masyarakat.

Bendi mengatakan, rendahnya partisipasi pemilih pada pilkada lalu dimungkinkan beberapa aspek yang mempengaruhi masyarakat untuk tidak memilih, pertama dari aspek teknis, ada pemilih yang tidak memilih karena urusan mendesak.

"Dari aspek teknis politis ada yang tidak terdaftar dalam daftar pemilih tetap (DPT), sedangkan dari aspek politis terkait perasaan pemilih yang tidak percaya pada kandidat partai pada pelaksanaan pemilu itu sendiri," kata dia.

Persoalan rendahnya partisipasi pemilih harus jadi tanggung jawab bersama. Ia menegaskan KPU seharusnya sudah mengevaluasi persoalan terkait validitas data pemilih, sosialisasi, dan pendidikan politik.

Bendi menambahkan, diperlukan sinergi antara KPU, partai politik, media hingga tokoh masyarakat untuk meningkatkan partisipasi pemilih mendatang. Bendi menyampaikan situasi tersebut juga menjadi tantangan bagi calon terpilih.

Bukan hanya untuk menjalankan amanah, tetapi juga untuk membangun kembali kepercayaan masyarakat agar lebih aktif berpartisipasi di masa mendatang, dalam konteks tersebut segala modalitas yang dimiliki.

Khususnya kecakapan tertentu, dibutuhkan dalam upaya mengadvokasi kepentingan masyarakat, sehingga penting bagi pasangan calon merawat hubungan dengan konstituen agar dapat membangun kepercayaan dan meningkatkan partisipasi pemilih secara signifikan kedepannya. (*)