Petani di Palas Lamsel Resah PBB Naik, BPPRD: Tak Sampai Seratus Persen

Kantor Badan Pengelola Pendapatan dan Pajak Daerah (BPPRD) Kabupaten Lampung Selatan. Foto: Ist.
Kupastuntas.co, Lampung Selatan - Badan Pengelola Pendapatan dan Pajak Daerah (BPPRD) Kabupaten Lampung Selatan menyebut penyesuaian nilai Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) Pedesaan dan Perkotaan (P2) tidak sampai seratus persen.
Hal itu diungkapkan Kabid PBB-P2 dan BPHTB BPPRD Kabupaten Lampung Selatan, Aulia Rahman, menanggapi keresahan petani di Kecamatan Palas yang mengaku mengalami kenaikan PBB.
"Keluhan di Kecamatan Palas sendiri sebagian besar berkaitan dengan tanah pertanian. Kembali lagi ke masyarakatnya, nilai yang mereka bayarkan memang tidak relevan dengan hasilnya, atau mungkin selama ini memang sudah tergolong ringan. Namun, karena sejak 2017 tidak ada kenaikan atau penyesuaian, makanya kaget," ujar Aulia Rahman, saat dikonfirmasi, Selasa (6/5/2025).
"Cuma saya yakin, kenaikan atau penyesuaian itu tidak mungkin sampai 100 persen. Saya pastikan tidak sampai, karena kita secara persuasif ke masyarakat, kalaupun ada penyesuaian, maksimal naik dua grade," sambungnya.
Pasalnya, kebijakan penyesuaian pajak PBB, jika disesuaikan dengan aturan atau nilai jual tanah di Kecamatan Palas, kemungkinan bisa mencapai 400 persen.
"Makanya kita persuasif. Itu ada kelas-kelasnya. Paling tidak, kita naikkan hanya satu atau dua grade, misalnya dari Rp14 ribu ke Rp20 ribu atau Rp27 ribu. Jadi tidak mungkin naik 100 persen atau lebih," tegas Aulia.
Baca juga: Petani di Palas Lampung Selatan Menjerit Tarif PBB Melejit
Terkait keluhan petani, semisal nilai jual objek pajak (NJOP) sebesar Rp14 ribu, mestinya hanya mengalami penyesuaian hingga Rp20 ribu atau Rp27 ribu saja.
"Makanya kalau 100 persen, kayaknya tidak mungkin. Masih dalam ambang batas, kita menjalankan aturan tetapi tidak memberatkan masyarakat," sebut Aulia.
Penyesuaian pajak PBB dilihat dari lahan itu sendiri, karena nilai tanah yang mengalami penyesuaian dianggap sudah tidak relevan lagi dengan harga pasar.
Contohnya, wajib pajak yang memiliki tanah seluas 1 hektare dan membayar PBB Rp100 ribu, berarti nilai NJOP-nya di bawah Rp14 ribu per meter. Sedangkan nilai tanah di wilayah Palas, baik berbentuk belukar maupun pertanian, minimal Rp14 ribu. Artinya, harus dilakukan penyesuaian.
"Setiap tahun, BPPRD mencetak kurang lebih 350 ribu lembar SPPT. Karena berbasis sistem, kemungkinan tercetak otomatis, bukan manual. Makanya kita bertahap memperbaiki nilai-nilai NJOP agar relevan dengan harga tanah saat ini," urai Aulia.
Untuk diketahui, penyesuaian penilaian tanah terakhir kali dilakukan tahun 2017. Sejak 2023, BPPRD secara manual melakukan pemilahan data untuk menentukan mana yang harus disesuaikan.
"Pertama, kita cek berapa yang di bawah Rp14 ribu dan Rp10 ribu, lalu melakukan tracking ke lapangan. Ketika di lapangan tanah itu produktif, maka perlu disesuaikan. Tapi kalau belukar atau tidak terawat, kita tetap sesuaikan dengan nilai terendah, yaitu Rp14 ribu atau Rp20 ribu," jelas Aulia.
"Berdasarkan petunjuk pimpinan, tahun ini kita mau mengusulkan penghapusan angka NJOP di bawah Rp14 ribu, harapannya tidak lagi tercetak massal," tambahnya.
Dasar aturan penerapan pajak PBB adalah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022. Untuk pelaksanaannya mengacu pada PP Nomor 35 Tahun 2023, kemudian dituangkan dalam Perda Nomor 1 Tahun 2024, dan terakhir penerapannya mengacu pada Perbup Nomor 38 Tahun 2024.
"Untuk kajian, kita bertahap. Baru 24 desa di Kecamatan Natar yang kita kaji, sesuai rekomendasi KPK karena nilai transaksi tanahnya tinggi. Tahun ini ada efisiensi anggaran; pusat mengarahkan kita agar anggaran efektif dan efisien, makanya ada kendala di pembiayaan," kata Aulia.
Kajian ini memerlukan bantuan pihak ketiga karena BPPRD belum memiliki sumber daya manusia yang kompeten di bidang penilaian pajak. Selain untuk dasar penyesuaian, kajian ini penting agar kenaikan pajak nantinya berdasarkan data yang valid.
"Sehingga ketika sudah ada kajian, itu bisa jadi dasar kita untuk menaikkan pajak secara global," ucap Aulia.
Aulia merincikan, pada 2025 ini, Bidang PBB dan BPHTB memiliki dua program yang langsung bersentuhan dengan masyarakat, yakni program penghapusan denda PBB.
"Yaitu denda untuk PBB yang tidak dibayarkan masyarakat dari 2021 hingga 2024, dengan nilai PBB di bawah Rp500 ribu, kita hapuskan dendanya," ungkap Aulia.
Bagi masyarakat berpenghasilan rendah, sesuai Peraturan Menteri PUPR, yakni berpenghasilan di bawah Rp7 juta dan ingin membangun rumah, akan dibebaskan dari BPHTB.
"Itu program dari pusat yang kita dukung. Sudah berlaku sejak 1 Januari 2025. Di Lampung, hingga Maret kemarin, baru tiga daerah yang memberlakukan, yaitu Kabupaten Lampung Selatan, Kota Bandar Lampung, dan Kota Metro," beber Aulia.
Terkait penyesuaian pajak PBB, BPPRD hanya menjalankan aturan, dengan harapan bisa mendongkrak pendapatan asli daerah (PAD).
Saat disinggung mengenai target pajak PBB tahun 2025, Aulia menjawab, "Target PBB tahun ini, setelah pergeseran, final di angka Rp65 miliar. Tahun 2024 kemarin target Rp63 miliar, dengan realisasi 93 persen," jelas Aulia.
Aulia juga mengimbau para wajib pajak untuk taat membayar pajak, karena pajak dari rakyat untuk rakyat, salah satunya untuk pembangunan dan kesehatan.
Selain itu, BPPRD juga berinovasi agar masyarakat mudah membayar pajak PBB, di antaranya bisa membayar kolektif melalui aparatur desa, atau secara online melalui Bank Lampung, Dana, Alfamart, Indomaret, Blibli.com, UPT Kecamatan, dan gerai Bank Lampung.
"Di Kantor UPT, bisa menerima pembayaran PBB maupun pajak lainnya seperti opsen PKB, serta melayani konsultasi agar masyarakat bisa menyelesaikan kewajiban pajaknya dengan lebih mudah," tutup Aulia. (*)
Berita Lainnya
-
Ratusan Masyarakat Padati Samsat Kalianda untuk Pemutihan Pajak Kendaraan
Senin, 05 Mei 2025 -
Petani di Palas Lampung Selatan Menjerit Tarif PBB Melejit
Senin, 05 Mei 2025 -
Pemutihan Pajak, Warga Lampung Selatan Keluhkan Bayar Premi Pokok Jasa Raharja Plus Denda
Senin, 05 Mei 2025 -
Diguyur Hujan Deras, Pelabuhan Bakauheni Kebanjiran
Minggu, 04 Mei 2025