• Kamis, 08 Mei 2025

Membangun Infrastruktur Kota: Dari Respons Darurat Menuju Investasi Berkelanjutan, Oleh Dr.Eng. Fritz Akhmad Nuzir

Rabu, 07 Mei 2025 - 18.44 WIB
27

Dr.Eng. Fritz Akhmad Nuzir, S.T., M.A., Direktur Center for Sustainable Development Goals Studies (SDGs Center) Universitas Bandar Lampung (UBL). Foto: Ist.

Kupastuntas.co, Bandar Lampung - Pola cuaca kini semakin sulit diprediksi. Hujan dengan intensitas tinggi bisa datang kapan saja, bahkan di luar musim hujan yang seharusnya.

Akibatnya, beberapa sudut kota kembali berubah menjadi genangan. Jalanan terendam, aktivitas terhenti, dan kawasan permukiman harus berjibaku dengan air yang sulit surut. Kita seolah terus mengulang cerita yang sama, tahun demi tahun, tanpa perubahan berarti.

Banjir di kawasan perkotaan bukanlah semata-mata takdir alam. Ia merupakan akumulasi dari keputusan-keputusan pembangunan yang diambil selama bertahun-tahun. Ruang terbuka menyusut, saluran air mengecil, drainase tersumbat sampah, sementara pembangunan fisik kota terus bertambah.

Kita terlalu sering berkompromi dengan kualitas, seolah-olah membangun infrastruktur 'yang penting ada' sudah cukup untuk menjawab tantangan masa depan.

Membaca Realitas Banjir Perkotaan

Dalam satu tahun terakhir, sejumlah kota di Lampung menunjukkan betapa rentannya kawasan perkotaan terhadap hujan deras. Di Bandar Lampung, pada 12 April 2024, sebanyak 789 rumah di Kecamatan Teluk Betung Selatan dan Teluk Betung Barat terendam banjir akibat jebolnya tanggul setinggi 20 meter di kawasan Citra Garden.

Beberapa bulan kemudian, hujan ekstrem pada 17 Januari 2025 menyebabkan banjir di 19 titik strategis, merendam lebih dari 14.000 rumah di sepuluh kecamatan.

Di Kota Metro, kondisi serupa terjadi pada 1 Maret 2024. Hujan deras menyebabkan banjir di tujuh kelurahan yang tersebar di empat kecamatan. Tinggi air mencapai 50 hingga 100 cm, dengan permukiman warga menjadi area terdampak utama. Beberapa titik banjir bahkan bertahan lebih dari enam jam sebelum mulai surut.

Pola ini menunjukkan bahwa persoalan banjir bukan semata-mata masalah teknis, melainkan cerminan dari paradigma pembangunan yang belum bergeser.

Banyak kota masih terjebak dalam model pembangunan di mana infrastruktur disiapkan sekadarnya, asal ada jalan, asal ada saluran, tanpa menghitung daya dukungnya terhadap pertumbuhan kota yang semakin pesat.

Belajar dari Pengalaman Global: China dan Copenhagen

Upaya membangun ketahanan kota terhadap banjir telah menjadi fokus di banyak negara. Di China, konsep Sponge City diperkenalkan untuk menciptakan kota yang mampu menyerap, menahan, dan menggunakan kembali air hujan. Trotoar dibuat berpori, taman kota difungsikan sebagai ruang retensi air, dan atap-atap bangunan dikembangkan menjadi taman resapan.

Namun lebih dari itu, Copenhagen di Denmark menawarkan pendekatan yang sangat relevan untuk kota-kota dengan karakteristik permukiman padat seperti di Indonesia.

Setelah mengalami banjir besar pada 2011, Copenhagen mengembangkan Cloudburst Management Plan: rencana pengelolaan banjir berbasis tata ruang yang mengubah jalanan, taman, dan ruang-ruang publik menjadi saluran air alami saat terjadi hujan ekstrem.

Jalan-jalan tertentu dirancang agar saat hujan besar datang, air mengalir melalui koridor evakuasi tanpa membanjiri permukiman. Taman kota, lapangan olahraga, hingga jalur sepeda disiapkan untuk sementara menjadi tampungan air.

Semua ini dirancang tanpa mengorbankan fungsi keseharian kawasan tersebut. Kunci dari pendekatan Copenhagen adalah sederhana tapi revolusioner: mengintegrasikan fungsi infrastruktur air ke dalam kehidupan kota sehari-hari, bukan sekadar menambah saluran drainase.

Menuju Paradigma Pembangunan Baru

Kota-kota di Lampung, dan banyak kota lain di Indonesia, perlu segera beralih dari pola pembangunan jangka pendek menuju visi jangka panjang. Infrastruktur jalan, drainase, taman kota, sistem sanitasi, dan ruang terbuka harus dibangun satu paket dengan visi kelengkapan dan ketahanan.

Di antara semua itu, kawasan permukiman layak menjadi perhatian utama. Karena di sanalah aktivitas warga berlangsung setiap hari. Di sanalah dampak banjir paling nyata, baik dari sisi kerugian, ancaman kesehatan, maupun terganggunya stabilitas sosial.

Tanpa sistem drainase lingkungan yang andal, tanpa jalur evakuasi yang jelas, tanpa ruang resapan yang cukup di kawasan permukiman, maka setiap musim hujan akan selalu menjadi ancaman yang berulang.

Mengeluarkan biaya besar untuk membangun infrastruktur yang lengkap dan berkualitas, khususnya di kawasan permukiman, bukanlah pemborosan. Itu adalah investasi. Investasi untuk menghindari kerugian yang lebih besar.

Investasi untuk generasi yang akan datang. Dan investasi untuk kota-kota yang lebih layak huni, lebih kuat, dan lebih siap menghadapi tantangan zaman. (*)