• Senin, 02 Juni 2025

Sinar Harapan dari Petani Muda di Lereng Batutegi Tanggamus

Sabtu, 31 Mei 2025 - 13.57 WIB
51

Andi (28), salah satu dari petani muda saat memilah biji kopi yang telah merah untuk dipetik. Foto: Sri/kupastuntas.co

Sri

Kupastuntas.co, Tanggamus - Seduhan kopi panas didaerah bersuhu dingin, bagaimana tak nikmat? Ditambah rintik hujan dan burung yang sesekali berkicau saat kembali ke sarang untuk berlindung sebelum hujan benar-benar turun.

Suasana hutan lindung Register 22 Way Wayak yang rimbun menambah kenikmatan tiap seruputannya. Untuk menikmati sensasi minum kopi di suasana tersebut, kami harus rela bangun pagi buta. 

Beranjak meninggalkan hiruk-pikuk kota Bandar Lampung saat kabut tipis masih menggantung. Tepatnya sekitar pukul 06.30 WIB. Tujuan kami sebenarnya adalah mengunjungi Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) Sumber Makmur.

Sebuah kelompok tani yang bercocok tanam di tepian Hutan Lindung Batutegi, di Kecamatan Air Naningan, Kabupaten Tanggamus, Lampung.

Kami tiba di lokasi tepat pukul 08.53 wib setelah melewati perjalanan yang ditemani hujan. Meski sempat mereda, nyatanya langit kembali membuka kerannya, membasahi bumi yang kami pijak.

"Langit masih mendung, sepertinya hujan ini bakal sampai sore,” kata salah seorang rombongan mencoba meramal cuaca.

Benar saja, hujan itu kadang berhenti sejenak lalu terus turun kembali dengan deras. Hal itu terus berulang hingga kegiatan kami hingga petang.


Perjalanan kami belumlah dimulai, kami mesti menyeberangi air bendungan menggunakan perahu kayu beratapkan terpal hitam.

Membutuhkan waktu sekitar 45 menit untuk sampai. Selama itu pula, kami mengarungi air dengan tak banyak bicara.

"Tempat ini (bendungan batutegi) dikenal mistis, karena banyak pekerja yang meninggal saat pembangunanya. Jadi jangan sampai berbicara atau bercanda yang tidak pantas selama perjalanan. Terlebih kita, orang baru yang mengunjungi tempat ini," pesan Budi Santoso, mentor sekaligus orang yang kami tuakan.

Rupanya, itulah yang membuat kami tak banyak berbicara selama berada di atas perahu. 

Air danau yang hijau nan tenang dikelilingi pepohonan pada bukit-bukit menciptakan keindahan alami yang menakjubkan.

Sebagai informasi, Bendungan yang dikelilingi bukit-bukit hijau itu dibangun pada tahun 1996 dan baru diresmikan oleh Presiden Megawati Soekarnoputri pada tahun 2003.

#Disambut Kopi dan Hangatnya Cerita Petani

Turun dari perahu, kami masih harus melanjutkan perjalanan menggunakan motor trail dengan ban yang telah dimodifikasi sedemikian rupa.

Gunanya agar mampu melewati medan di sepanjang jalur. Dan memang hanya itu satu-satunya kendaraan yang dapat digunakan.

Kondisi jalan yang becek dan licin karena hujan, kami pun sering turun dari motor terlebih saat menanjak. Akhirnya, kami sampai di tujuan sekitar pukul 11.30 wib. Kami langsung singgah di Brenung Atas, di tempat semacam rumah atau pondokan yang digunakan petani untuk beristirahat setelah lelah berkebun.

Disana, kami disambut dengan ramah oleh Ketua Gapoktan Sumber Makmur bersama puluhan anggotanya dibawah tenda beratapkan terapal biru, yang memang sudah menantikan kedatangan kami.


Tak lupa, sajian khas berupa kopi hitam juga dihidangkan dalam penyambutan. Itulah salah satu yang membuat lelahnya perjalanan kami untuk bisa sampai ke lokasi ini terbayar.

Kopi itu menjadi sangat istimewa lantaran hasil jerih payah mereka sendiri. Ditanam di tanah mereka, dipanen dan diolah oleh tangan mereka sendiri. Para petani muda.

Puluhan petani muda telah tergabung dalam Gapoktan Sumber Makmur. Mereka sedang membuktikan bahwa bertani bukan lah pekerjaan yang ketinggalan zaman dan minder, justru ia adalah masa depan.

Andi (28), adalah salah satu dari petani kopi muda yang tidak pernah merasa minder meski memilih bertani sebagai jalan hidupnya.

Sebab, bertani menurutnya justru harus jadi profesi yang patut dibanggakan terlebih dengan hasil dan harga yang cukup menjanjikan.

"Dulu sempat ragu, tapi sekarang saya bersyukur. Jadi petani kopi cukup menjanjikan, apalagi harga kopi saat ini lumayan tinggi," ujar Andi, sambil memilah biji kopi yang telah merah untuk dipetik.

Gapoktan Sumber Makmur sendiri menaungi sekitar 840 petani yang terbagi 18 kelompok tani untuk mengelola lahan di kawasan Hutan Lindung Batutegi.

Rata-rata petani memiliki 2 hektare lahan yang ditanami berbagai komoditas seperti kopi, pala, coklat, cengkeh, kemiri, dan kelapa. Kombinasi tanaman ini menjadikan lahan lebih produktif dan menguntungkan.


Pemerintah mengakui mereka sebagai penggarap lahan dengan skema hutan kemasyarakatan di Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Batutegi.

Kawasan ini memiliki luas 58.162 hektare yang berada di tiga kabupaten yakni Tanggamus, Lampung Tengah, dan Pringsewu.

Dimana kawasan ini pun ada blok inti dan blok pemanfaatan. Sebanyak 10.827 hektare merupakan blok inti. Pada blok inti, masyarakat dilarang mengolah lahannya.

Sementara seluas 1.400 hektar lahan lebih telah dimanfaatkan oleh para petani yang didominasi pada tanaman kopi.

"Kalau satu hektare bisa menghasilkan setengah ton kopi, dua hektare bisa sampai satu ton. Dengan harga sekarang Rp65 ribu per kilogram," kata Andi.

Mari kita kalikan saja berapa rata-rata yang diperoleh para petani dari kopi. Rp65 ribu x 1000 kilogram maka penghasilan bisa mencapai Rp65 juta per tahunnya. Hal itu belum termasuk hasil panen lainnya seperti kemiri, cengkeh dan lainnya.

"Kalau cengkeh Rp80 ribu sampai Rp85 ribu per kg nya. Kemarin kita panen dapat 70 kg an cengkeh dalam lahan yang kita garap sekitar 2 hektare itu," jelas Andi yang sudah dua tahun menekuni profesi ini.

#Dari Kopi Lahir Aset

Jaya (24), petani muda lainnya yang mulai bertani sejak 2021, juga merasakan manfaat dari bertani. Ia bahkan sudah bisa membeli motor kesukaannya dan sebidang tanah hasil dari panen kopi dan komoditas lain.

Sebelumnya, ia pernah merantau dan bekerja sebagai mekanik di bengkel. Namun, karena gaji yang tak bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari, ia pun lebih memilih hijrah menjadi petani.

"Kerja di kota susah, biaya hidup tinggi. Jadi saya milih jadi petani di kampung meneruskan lahan dari orang tua. Alhamdulillah sudah beli motor dan tanah di Sumber Bandung, Pringsewu," katanya bangga.

Namun, jalan menjadi petani tidak selalu mulus. Medan curam dan infrastruktur minim membuat mereka harus memodifikasi kendaraan untuk bisa menjangkau kebun.

Seperti halnya motor Supra X miliknya yang dimodif bannya pakai ban trail. Sehingga ketika hujan jalan becek, bisa dilewati.

"Iya motor tua kita modif sendiri," ucapnya.

Selain itu, persoalan yang sering muncul pada kopi adalah daun yang menguning seperti mau mati, namun setelah diberi pupuk kembali menghijau.

Tak hanya itu, akses komunikasi pun menjadi kendala. Sinyal ponsel sulit dijangkau, sehingga petani harus naik ke bukit atau pematang untuk sekadar mengirim pesan. Rumah singgah mereka pun menggunakan tenaga surga.

"Kalau malam tidak ada kegiatan, ya kami kumpul saja sesama petani. Kalau mau kirim pesan kita ke pematang buat cari signal,” tambahnya.

Mereka tak bekerja sendiri. Yayasan Inisiasi Alam Rehabilitasi Indonesia (YIARI) turut memberikan pendampingan, mulai dari pelatihan teknik setek tanaman kopi, pemupukan, pembuatan pupuk organik, hingga perawatan hutan.

"Kami petani disini sangat terbantu dengan adanya dampingan dari YIARI. Sehingga kita yang muda-muda ini bisa belajar hal baru itu untuk bertani dan menjaga hutan," kata Jaya.

Meski begitu, ia berharap bisa memetik kopi dalam waktu lebih lama dengan harga yang cukup pantas agar kedepan bisa lebih sejahtera.

"Iya kita mau nya pemerintah dapat menstabilkan harga, agar kita petani ini semakin sejahtera," harapnya.

#Dari Ketakutan Menjadi Mitra Konservasi

Ketua Gapoktan Sumbermakmur Pringsewu, Dayat, menyampaikan sejak tahun 1980 an, masyarakat di sini telah bercocok tanam berbagai komoditas seperti kopi, pala, cengkeh, kelapa hingga durian.

Namun perjalanan mereka tidak selalu mulus. Beberapa tahun kemudian hubungan antara petani dan aparat kehutanan sangat tegang. Mereka harus "kucing-kucingan" dengan polisi hutan karena kegiatan pertanian yang dilakukan di kawasan hutan belum memiliki legalitas.

"Iya kalau dulu kita kucing-kucingan, dan Alhamdulillah setelah tahun 2008 hingga sekarang sudah diizinkan mengelolaan hutan kemasyarakatan yang dibina langsung oleh Dinas Kehutanan, serta berbagai pihak seperti YIARI," ungkap Dayat.

Ia mengaku dari pendampingan tersebut para petani memperoleh ilmu tentang budidaya pertanian secara berkelanjutan, mulai dari cara penanaman hingga teknik pemupukan.

Tak hanya itu, mereka juga menerima bantuan bibit tanaman dan ternak kambing. Pendampingan ini membawa peningkatan signifikan terhadap hasil tani setiap tahunnya.

"Kami bersyukur yang tadinya bertani dengan ketakutan terhadap aparat, sudah berganti menjadi rasa percaya dan kerja sama yang banyak memberikan manfaat," jelasnya.

Sementara, Voicer Pendampingan Masyarakat dan Edukasi YIARI, Aji Mandala Putra, menyampaikan bahwa masyarakat di wilayah tersebut terbuka dan mendukung berbagai kegiatan yang dilakukan YIARI.

Selain konservasi satwa dan habitatnya, YIARI juga fokus pada pemberdayaan masyarakat melalui edukasi dan pelatihan. Seperti pelatihan pembuatan bibit produktif, pupuk organik, memelihara tanaman kopi dan lain sebagainya.

"Kita tidak serta-merta mendatangkan bibit. Kami ajari mereka untuk membuat bibit dari jenis tanaman yang mereka budidayakan sendiri,” kata Aji.

Ke depan, YIARI menargetkan kemandirian kelompok tani melalui pengembangan produk hilir seperti kopi bubuk dan minyak kemiri. Selain itu, petani juga didorong untuk mengurangi penggunaan pupuk kimia dan beralih ke pupuk organik.

Guna mengembangkan berbagai produk tersebut, tentu dibutuhkan lebih banyak peran anak muda yang melek akan pertanian dan teknologi.

"Kita tidak anti pupuk kimia, tapi kita ingin mengurangi penggunaannya. Pupuk organik tidak hanya ramah lingkungan, tapi juga menekan biaya produksi dan memperbaiki kualitas tanah,” tambah Aji.

Kanit Polrut Batu Tegi, Ruslan, menyampaikan bahwa selama tiga tahun terakhir mendampingi para petani, terdapat banyak perubahan positif, terutama peningkatan hasil pertanian mereka.

"Selama pendampingan, lebih banyak suka daripada duka. Terlebih lagi saat melihat petani tersenyum lebar karena hasil panen mereka melimpah dan harga jualnya tinggi,” ujarnya.

Ia juga mengakui bahwa tantangan tetap ada, terutama medan yang sulit dilalui.

"Dukanya ya itu tadi, jalan dan medannya seperti itu. Saya pernah juga terjatuh dari motor, terpeleset beberapa kali. Tapi tidak apa-apa, tetap semangat,” tambahnya sambil tersenyum.

Ruslan berharap, dengan kondisi medan seperti itu, akan semakin banyak generasi muda yang terpanggil menjadi petani milenial.

"Iya Sebab, medan yang berat ini akan sangat sulit dilalui oleh para petani yang sudah lanjut usia," ungkap Ruslan. (*)