Penerbitan 121 SHM di TNBBS Kejahatan Lingkungan yang Harus Diusut Tuntas

Pengamat hukum Universitas Bandar Lampung (UBL), Benny Karya Limantara. Foto: Ist
Kupastuntas.co, Bandar
Lampung - Kejaksaan Negeri (Kejari) Lampung Barat mengungkap temuan mengejutkan
berupa 121 sertifikat hak milik (SHM) yang diterbitkan di dalam kawasan Taman
Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS), wilayah yang seharusnya menjadi zona konservasi
murni dan bebas dari kepemilikan pribadi.
Menanggapi temuan
tersebut, Pengamat hukum Universitas Bandar Lampung (UBL), Benny Karya
Limantara menilai bahwa penerbitan SHM di kawasan konservasi TNBBS sebagai bentuk pelanggaran berat yang
tidak hanya melanggar hukum agraria, tetapi juga merusak tatanan lingkungan
hidup dan integritas negara dalam pengelolaan hutan lindung.
Menurut Benny,
penerbitan SHM di dalam kawasan hutan konservasi termasuk perbuatan melawan
hukum yang dapat dijerat dengan berbagai ketentuan pidana, mulai dari
Undang-Undang Kehutanan, Undang-Undang Perusakan Hutan, hingga Undang-Undang
Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) dan pasal-pasal dalam KUHP.
BACA JUGA: Terkuak,
121 Sertifikat Hak Milik Terbit di Kawasan Konservasi TNBBS
“Taman nasional adalah
tanah negara, tidak boleh dimiliki secara pribadi. Ketika SHM bisa terbit di
kawasan seperti TNBBS, artinya ada praktik ilegal yang terstruktur, dan
kemungkinan kuat melibatkan oknum pejabat,” Kata Benny saat dimintai tanggapan
Selasa (17/6/25).
Benny merujuk pada
beberapa ketentuan hukum yang bisa digunakan untuk menjerat pihak-pihak
terkait, di antaranya:
* UU No. 41 Tahun 1999
tentang Kehutanan, yang melarang penguasaan dan klaim atas kawasan hutan secara
tidak sah.
* UU No. 18 Tahun 2013
tentang Pemberantasan Perusakan Hutan, dengan ancaman 15 tahun penjara jika
dilakukan terorganisir.
* UU Tipikor, jika
penerbitan SHM dilakukan dengan penyalahgunaan jabatan oleh pejabat BPN, lurah,
atau camat.
* Pasal 263 dan 378
KUHP terkait pemalsuan dokumen dan penipuan.
Ia menambahkan bahwa
TNBBS bukan hanya bagian dari kawasan lindung nasional, tetapi juga termasuk
dalam ekosistem penting dunia yang mendapat perhatian internasional.
“Kasus ini tidak boleh
dianggap sepele. Ini menyangkut kerusakan ekologis dan juga integritas hukum
kita. Ketika hutan lindung diberikan alas hak resmi, itu berarti kita sedang
merusak habitat dan ekosistem yang dilindungi undang-undang,” jelasnya.
Lebih jauh, Benny
mendorong penanganan kasus ini dilakukan secara komprehensif tidak hanya secara
represif melalui penegakan hukum, tetapi juga preventif dan preemtif agar
praktik mafia tanah di kawasan hutan tidak terus berulang.
Benny menyimpulkan,
praktik semacam ini jika tidak dihentikan akan menjadi preseden buruk bagi
perlindungan hutan lindung di Indonesia. Ia mengingatkan, Pasal 33 ayat (3) UUD
1945 menyatakan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam dikuasai negara untuk
kemakmuran rakyat, bukan untuk dikapitalisasi secara ilegal oleh segelintir
pihak.
“Ini bukan hanya soal
kejahatan administratif, tapi juga soal keadilan ekologis. Hutan lindung
seperti TNBBS adalah subjek yang punya hak untuk tetap hidup dan lestari,”
imbuhnya.
Ia mendorong agar
Kejaksaan, Kementerian LHK, dan BPN segera membuka data dan menindak tegas
pihak-pihak yang terlibat. Menurutnya, publik juga berhak tahu sejauh mana keterlibatan
oknum dalam skema perusakan kawasan konservasi ini. (*)
Berita Lainnya
-
Pansus DPRD Lampung Sampaikan Rekomendasi Terkait LHP BPK 2024
Selasa, 17 Juni 2025 -
Pelantikan Sekda Definitif Dijadwalkan 20 Juni 2025, Nama Marindo Kurniawan Mencuat
Selasa, 17 Juni 2025 -
Walhi: Usut Tuntas Mafia Tanah di TNBBS, Pejabat yang Terlibat Harus Dihukum
Selasa, 17 Juni 2025 -
Warga Diminta Laporkan Kecurangan SPMB, Yanuar: Kalau Terbukti Didiskualifikasi
Selasa, 17 Juni 2025