• Selasa, 17 Juni 2025

Penerbitan 121 SHM di TNBBS Kejahatan Lingkungan yang Harus Diusut Tuntas

Selasa, 17 Juni 2025 - 11.43 WIB
33

Pengamat hukum Universitas Bandar Lampung (UBL), Benny Karya Limantara. Foto: Ist

Kupastuntas.co, Bandar Lampung - Kejaksaan Negeri (Kejari) Lampung Barat mengungkap temuan mengejutkan berupa 121 sertifikat hak milik (SHM) yang diterbitkan di dalam kawasan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS), wilayah yang seharusnya menjadi zona konservasi murni dan bebas dari kepemilikan pribadi.

Menanggapi temuan tersebut, Pengamat hukum Universitas Bandar Lampung (UBL), Benny Karya Limantara menilai bahwa penerbitan SHM di kawasan konservasi  TNBBS sebagai bentuk pelanggaran berat yang tidak hanya melanggar hukum agraria, tetapi juga merusak tatanan lingkungan hidup dan integritas negara dalam pengelolaan hutan lindung.

Menurut Benny, penerbitan SHM di dalam kawasan hutan konservasi termasuk perbuatan melawan hukum yang dapat dijerat dengan berbagai ketentuan pidana, mulai dari Undang-Undang Kehutanan, Undang-Undang Perusakan Hutan, hingga Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) dan pasal-pasal dalam KUHP.

BACA JUGA: Terkuak, 121 Sertifikat Hak Milik Terbit di Kawasan Konservasi TNBBS

“Taman nasional adalah tanah negara, tidak boleh dimiliki secara pribadi. Ketika SHM bisa terbit di kawasan seperti TNBBS, artinya ada praktik ilegal yang terstruktur, dan kemungkinan kuat melibatkan oknum pejabat,” Kata Benny saat dimintai tanggapan Selasa (17/6/25).

Benny merujuk pada beberapa ketentuan hukum yang bisa digunakan untuk menjerat pihak-pihak terkait, di antaranya:

* UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, yang melarang penguasaan dan klaim atas kawasan hutan secara tidak sah.

* UU No. 18 Tahun 2013 tentang Pemberantasan Perusakan Hutan, dengan ancaman 15 tahun penjara jika dilakukan terorganisir.

* UU Tipikor, jika penerbitan SHM dilakukan dengan penyalahgunaan jabatan oleh pejabat BPN, lurah, atau camat.

* Pasal 263 dan 378 KUHP terkait pemalsuan dokumen dan penipuan.

Ia menambahkan bahwa TNBBS bukan hanya bagian dari kawasan lindung nasional, tetapi juga termasuk dalam ekosistem penting dunia yang mendapat perhatian internasional.

“Kasus ini tidak boleh dianggap sepele. Ini menyangkut kerusakan ekologis dan juga integritas hukum kita. Ketika hutan lindung diberikan alas hak resmi, itu berarti kita sedang merusak habitat dan ekosistem yang dilindungi undang-undang,” jelasnya.

Lebih jauh, Benny mendorong penanganan kasus ini dilakukan secara komprehensif tidak hanya secara represif melalui penegakan hukum, tetapi juga preventif dan preemtif agar praktik mafia tanah di kawasan hutan tidak terus berulang.

Benny menyimpulkan, praktik semacam ini jika tidak dihentikan akan menjadi preseden buruk bagi perlindungan hutan lindung di Indonesia. Ia mengingatkan, Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 menyatakan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam dikuasai negara untuk kemakmuran rakyat, bukan untuk dikapitalisasi secara ilegal oleh segelintir pihak.

“Ini bukan hanya soal kejahatan administratif, tapi juga soal keadilan ekologis. Hutan lindung seperti TNBBS adalah subjek yang punya hak untuk tetap hidup dan lestari,” imbuhnya.

Ia mendorong agar Kejaksaan, Kementerian LHK, dan BPN segera membuka data dan menindak tegas pihak-pihak yang terlibat. Menurutnya, publik juga berhak tahu sejauh mana keterlibatan oknum dalam skema perusakan kawasan konservasi ini. (*)