Analis Soroti Ancaman Carut Marut SPMB SMA di Metro

Ahmad Satibi, analis sistem digital dari Metro Visual Perkasa. Foto: Ist
Kupastuntas.co, Metro - Pemerintah
pusat resmi mengganti skema Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) dengan Sistem
Penerimaan Murid Baru (SPMB) yang telah diberlakukan mulai tahun ajaran
2025/2026. Di tengah semangat reformasi yang dikampanyekan Kementerian
Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen), muncul sorotan dari publik
terkait dengan SPMB yang akan menyelesaikan akar masalah, atau hanya
memperindah permukaan dari sistem yang selama ini cacat secara struktural.
Ahmad Satibi, analis sistem
digital dari Metro Visual Perkasa, menyebut SPMB sebagai proyek ambisius yang
rentan menjadi kosmetika birokrasi jika tidak diawasi secara ketat dan
menyentuh inti masalah pendidikan seperti ketimpangan mutu antar sekolah.
SPMB diperkenalkan dengan
semangat pemerataan dan keadilan akses pendidikan. Sejumlah perubahan utama
diusung, seperti penggantian istilah Peserta Didik menjadi Murid, penghapusan
konsep zonasi berbasis jarak yang digantikan dengan sistem rayon domisili
administratif, serta penyesuaian kuota dengan memperbesar jalur prestasi dan
memperkecil porsi domisili.
"Kebijakan ini juga
memberikan ruang lebih besar bagi keterlibatan sekolah swasta dalam sistem
penerimaan dan mendorong penggunaan teknologi verifikasi yang terintegrasi
dengan Dukcapil. Namun, perubahan tersebut masih berada di level
struktural-administratif. Jika akar masalahnya tetap dibiarkan, maka SPMB hanya
akan menjadi bungkus baru dari krisis lama,” kata Satibi kepada Kupastuntas.co,
Jum'at (20/6/2025).
Pria yang akrab disapa A'a Tibi
itu menerangkan filosofi sistem zonasi dahulu, yang kini diganti dengan
domisili rayon administratif dengan bertujuan meratakan akses. Tetapi dalam
praktiknya, sistem itu gagal mengatasi realitas pendidikan Indonesia yang
timpang. Di Metro, sekolah negeri unggulan seperti SMAN 1 atau SMAN 4 tetap
menjadi magnet bagi siswa, sementara sekolah di pinggiran kota kesulitan
mengisi kursi.
“Rayonisasi hanya memindahkan
titik rawan kecurangan. Kalau sebelumnya orang tua numpang KK, sekarang tekanan
berpindah ke politikus lokal untuk merekayasa batas rayon demi kepentingan
kelompok tertentu,” ujar Tibi.
Dirinya juga menyoroti perubahan
dari zonasi ke domisili berbasis rayon tidak serta-merta mempersempit ruang
kecurangan. Justru, seperti diperingatkan Satibi, celah manipulasi bisa menjadi
lebih sistemik. Manipulasi bisa naik kelas, dari tindakan individu menjadi
persekongkolan politis.
"Dalam skema rayon, batas
administratif dapat dinegosiasikan. Inilah titik rawan baru, ketika garis rayon
bisa diatur, maka akan muncul godaan bagi elite lokal untuk memasukkan kompleks
perumahan elit ke dalam wilayah sekolah unggulan,” katanya.
SPMB memang menawarkan perbaikan,
kuota jalur prestasi diperluas, keterlibatan sekolah swasta dilegalkan, dan
sistem daring dijanjikan lebih canggih. Namun, Satibi menekankan bahwa selama
jurang mutu antar sekolah tidak dipersempit,maka sistem penerimaan apa pun akan
terus dicurangi.
“Kenyataannya, publik tahu
sekolah mana yang unggul, dan mana yang hanya sekadar gedung. Di Metro hari ini
banyak sekali masyarakat yang mengeluhkan karena anaknya tidak lolos dalam
sistem penerimaan murid baru di sejumlah sekolah negeri yang ada di Metro.
Anak-anak pintar tetap akan diarahkan ke sekolah favorit. Selama persepsi ini
tak berubah, jadi tekanan akan selalu ada," jelas Tibi.
Pria yang merupakan analisis
sistem digital dan bekerjasama dengan Google Asia tenggara tersebut menyoroti
tiga ancaman utama dalam SPMB yang perlu dilakukan evaluasi.
"Ketimpangan mutu pendidikan
antar sekolah. Selama persepsi terhadap sekolah favorit hidup, maka kompetisi
akan brutal, dan orang tua rela melakukan apa saja demi lolos seleksi.
Kesenjangan kapasitas daerah dalam mengelola teknologi dan integritas sistem.
Sistem daring hanya akan efektif jika infrastruktur digital dan sumber daya
manusia di daerah siap, yang dalam banyak kasus belum merata," jelasnya.
"Yang terakhir ialah
minimnya transparansi dan pengawasan publik. Tanpa sistem pelaporan dan
pemantauan real-time yang dapat diakses masyarakat, potensi penyalahgunaan akan
tetap tinggi," imbuhnya.
Ahmad Satibi mengusulkan empat
langkah konkret yang wajib dijalankan pemerintah jika tidak ingin SPMB bernasib
sama dengan PPDB. Yang pertama ialah membentuk Satgas Integritas SPMB lintas
kementerian seperti Kemendikbud, Kemendagri, Kepolisian, dan Ombudsman) dengan
mandat pengawasan real-time, audit acak, dan sanksi tegas.
"Kedua, meluncurkan program
percepatan pemerataan mutu sekolah dengan fokus pada redistribusi guru,
pelatihan kepala sekolah, dan peningkatan kurikulum di sekolah sepi peminat.
Ketiga, mewajibkan sistem data publik terintegrasi berbasis Dukcapil dan
Dapodik, dengan dasbor digital yang menunjukkan jumlah pendaftar, peringkat,
dan kuota secara transparan. Keempat, mengaitkan DAK bidang pendidikan dengan
indeks integritas daerah. Wilayah dengan tingkat kecurangan tinggi harus diberi
sanksi anggaran," paparnya.
Tibi menyebut bahwa SPMB adalah
momen penting yang menentukan arah keadilan pendidikan di Indonesia. Tetapi,
tanpa pengawasan, transparansi, dan keberanian menyentuh masalah mutu, sistem
ini hanya akan menjadi perpanjangan dari kegagalan yang diwariskan PPDB.
“Anak-anak seharusnya tak
dibebani kecemasan sistem. Tugas kita adalah menciptakan mekanisme yang adil,
transparan, dan tak bisa ditawar-tawar oleh siapa pun,” tandasnya. (*)
Berita Lainnya
-
Catat! Pemkot Metro Janji Fasilitasi Atlet E-Sport Bertanding di Tingkat Daerah hingga Nasional
Jumat, 20 Juni 2025 -
22 Koperasi Merah Putih Siap Beroperasi di Metro, Pengamat Ingatkan Jangan Seremonial Belaka
Jumat, 20 Juni 2025 -
Waspada, Penipuan Mengatasnamakan Wakil Wali Kota Metro
Kamis, 19 Juni 2025 -
Kasus Dugaan Korupsi BOP Kota Metro Berlanjut, Polisi Periksa Tiga Saksi dari Dinas Pendidikan
Kamis, 19 Juni 2025