• Jumat, 20 Juni 2025

Analis Soroti Ancaman Carut Marut SPMB SMA di Metro

Jumat, 20 Juni 2025 - 14.32 WIB
272

Ahmad Satibi, analis sistem digital dari Metro Visual Perkasa. Foto: Ist

Kupastuntas.co, Metro - Pemerintah pusat resmi mengganti skema Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) dengan Sistem Penerimaan Murid Baru (SPMB) yang telah diberlakukan mulai tahun ajaran 2025/2026. Di tengah semangat reformasi yang dikampanyekan Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen), muncul sorotan dari publik terkait dengan SPMB yang akan menyelesaikan akar masalah, atau hanya memperindah permukaan dari sistem yang selama ini cacat secara struktural.

Ahmad Satibi, analis sistem digital dari Metro Visual Perkasa, menyebut SPMB sebagai proyek ambisius yang rentan menjadi kosmetika birokrasi jika tidak diawasi secara ketat dan menyentuh inti masalah pendidikan seperti ketimpangan mutu antar sekolah.

SPMB diperkenalkan dengan semangat pemerataan dan keadilan akses pendidikan. Sejumlah perubahan utama diusung, seperti penggantian istilah Peserta Didik menjadi Murid, penghapusan konsep zonasi berbasis jarak yang digantikan dengan sistem rayon domisili administratif, serta penyesuaian kuota dengan memperbesar jalur prestasi dan memperkecil porsi domisili.

"Kebijakan ini juga memberikan ruang lebih besar bagi keterlibatan sekolah swasta dalam sistem penerimaan dan mendorong penggunaan teknologi verifikasi yang terintegrasi dengan Dukcapil. Namun, perubahan tersebut masih berada di level struktural-administratif. Jika akar masalahnya tetap dibiarkan, maka SPMB hanya akan menjadi bungkus baru dari krisis lama,” kata Satibi kepada Kupastuntas.co, Jum'at (20/6/2025).

Pria yang akrab disapa A'a Tibi itu menerangkan filosofi sistem zonasi dahulu, yang kini diganti dengan domisili rayon administratif dengan bertujuan meratakan akses. Tetapi dalam praktiknya, sistem itu gagal mengatasi realitas pendidikan Indonesia yang timpang. Di Metro, sekolah negeri unggulan seperti SMAN 1 atau SMAN 4 tetap menjadi magnet bagi siswa, sementara sekolah di pinggiran kota kesulitan mengisi kursi.

“Rayonisasi hanya memindahkan titik rawan kecurangan. Kalau sebelumnya orang tua numpang KK, sekarang tekanan berpindah ke politikus lokal untuk merekayasa batas rayon demi kepentingan kelompok tertentu,” ujar Tibi.

Dirinya juga menyoroti perubahan dari zonasi ke domisili berbasis rayon tidak serta-merta mempersempit ruang kecurangan. Justru, seperti diperingatkan Satibi, celah manipulasi bisa menjadi lebih sistemik. Manipulasi bisa naik kelas, dari tindakan individu menjadi persekongkolan politis.

"Dalam skema rayon, batas administratif dapat dinegosiasikan. Inilah titik rawan baru, ketika garis rayon bisa diatur, maka akan muncul godaan bagi elite lokal untuk memasukkan kompleks perumahan elit ke dalam wilayah sekolah unggulan,” katanya.

SPMB memang menawarkan perbaikan, kuota jalur prestasi diperluas, keterlibatan sekolah swasta dilegalkan, dan sistem daring dijanjikan lebih canggih. Namun, Satibi menekankan bahwa selama jurang mutu antar sekolah tidak dipersempit,maka sistem penerimaan apa pun akan terus dicurangi.

“Kenyataannya, publik tahu sekolah mana yang unggul, dan mana yang hanya sekadar gedung. Di Metro hari ini banyak sekali masyarakat yang mengeluhkan karena anaknya tidak lolos dalam sistem penerimaan murid baru di sejumlah sekolah negeri yang ada di Metro. Anak-anak pintar tetap akan diarahkan ke sekolah favorit. Selama persepsi ini tak berubah, jadi tekanan akan selalu ada," jelas Tibi.

Pria yang merupakan analisis sistem digital dan bekerjasama dengan Google Asia tenggara tersebut menyoroti tiga ancaman utama dalam SPMB yang perlu dilakukan evaluasi.

"Ketimpangan mutu pendidikan antar sekolah. Selama persepsi terhadap sekolah favorit hidup, maka kompetisi akan brutal, dan orang tua rela melakukan apa saja demi lolos seleksi. Kesenjangan kapasitas daerah dalam mengelola teknologi dan integritas sistem. Sistem daring hanya akan efektif jika infrastruktur digital dan sumber daya manusia di daerah siap, yang dalam banyak kasus belum merata," jelasnya.

"Yang terakhir ialah minimnya transparansi dan pengawasan publik. Tanpa sistem pelaporan dan pemantauan real-time yang dapat diakses masyarakat, potensi penyalahgunaan akan tetap tinggi," imbuhnya.

Ahmad Satibi mengusulkan empat langkah konkret yang wajib dijalankan pemerintah jika tidak ingin SPMB bernasib sama dengan PPDB. Yang pertama ialah membentuk Satgas Integritas SPMB lintas kementerian seperti Kemendikbud, Kemendagri, Kepolisian, dan Ombudsman) dengan mandat pengawasan real-time, audit acak, dan sanksi tegas.

"Kedua, meluncurkan program percepatan pemerataan mutu sekolah dengan fokus pada redistribusi guru, pelatihan kepala sekolah, dan peningkatan kurikulum di sekolah sepi peminat. Ketiga, mewajibkan sistem data publik terintegrasi berbasis Dukcapil dan Dapodik, dengan dasbor digital yang menunjukkan jumlah pendaftar, peringkat, dan kuota secara transparan. Keempat, mengaitkan DAK bidang pendidikan dengan indeks integritas daerah. Wilayah dengan tingkat kecurangan tinggi harus diberi sanksi anggaran," paparnya.

Tibi menyebut bahwa SPMB adalah momen penting yang menentukan arah keadilan pendidikan di Indonesia. Tetapi, tanpa pengawasan, transparansi, dan keberanian menyentuh masalah mutu, sistem ini hanya akan menjadi perpanjangan dari kegagalan yang diwariskan PPDB.

“Anak-anak seharusnya tak dibebani kecemasan sistem. Tugas kita adalah menciptakan mekanisme yang adil, transparan, dan tak bisa ditawar-tawar oleh siapa pun,” tandasnya. (*)