• Rabu, 25 Juni 2025

250 Ribu Ton Tapioka di Lampung Tak Terserap Pasar, Gubernur Mirza: Segera Hentikan Impor

Rabu, 25 Juni 2025 - 15.06 WIB
26

Gubernur Lampung Rahmat Mirzani Djausal saat RDP dengan Baleg DPR RI, Rabu (25/6/2025). Foto: Ist.

Kupastuntas.co, Bandar Lampung - Gubernur Lampung, Rahmat Mirzani Djausal, bersama tujuh Bupati mengikuti Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan Badan Legislasi (Baleg) DPR RI di Gedung Nusantara Jakarta, Rabu (25/6/2025).

Para bupati tersebut diantaranya Bupati Lampung Timur Ela Siti Nuryamah, Bupati Lampung Tengah Ardito Wijaya, Bupati Lampung Selatan Radityo Egi, Bupati Wakil Bupati Lampung Utara Romli.

Kemudian Bupati Mesuji Elfianah, Bupati Tulangbawang Barat Novriwan Jaya, dan Wakil Bupati Tulang Bawang Hankam Hasan.

Selain itu, hadir pula Ketua Perkumpulan Petani Ubi Kayu Indonesia (PPUKI) Lampung Dasrul Aswin dan juga Ketua Perhimpunan Pengusaha Tepung Tapioka Indonesia (PPTTI) Provinsi Lampung, Welly Sugiono.

Dalam pertemuan tersebut Mirza mengatakan jika jumlah penduduk Lampung sebanyak 9,4 juta jiwa, sekitar 70 persen menggantungkan hidup dari sektor pertanian, termasuk sekitar 800 ribu keluarga yang menjadi petani singkong.

Menurutnya, singkong merupakan komoditas utama Lampung, mengungguli padi dan jagung. Kontribusinya terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Lampung mencapai Rp50 triliun dari total Rp483 triliun.

Namun ketidakteraturan tata niaga sejak awal tahun 2000-an menyebabkan ketimpangan pertumbuhan antara petani dan industri. Produktivitas lahan yang stagnan di angka 25–30 ton per hektare tak kunjung meningkat meskipun luas tanam bertambah.

"Jadi selama ini industri berjalan sendiri dimana industri berkembang sementara petani tidak. Kemudian produksi kita 25 sampai 30 ton per hektare sudah puluhan tahun tidak tumbuh tapi luasan tanam terus bertambah," kata dia.

Selama bertahun-tahun, Pemerintah Provinsi (Pemprov) Lampung menetapkan Harga Eceran Tertinggi (HET) sebesar Rp900 per kilogram, yang membuat pendapatan petani sangat rendah kurang dari Rp1 juta per bulan per hektare.

Setelah desakan dan aksi demonstrasi dari petani, pemerintah pusat menaikkan HET menjadi Rp1.350 per kilogram dengan potongan 15 persen.

Kebijakan ini sempat disambut gembira oleh petani, namun justru membuat pabrik-pabrik tapioka merugi karena tidak mampu bersaing dengan produk impor yang jauh lebih murah.

"Produksi lokal tepung tapioka mencapai Rp6.000 per kilogram, sementara tepung impor hanya Rp5.200 dan bebas pajak. Ini membuat perusahaan tak mampu membeli dari petani dan memilih menutup pabrik," ujarnya.

Selain itu ia mengatakan jika BPS mencatat produksi tepung tapioka di Lampung sebesar 1,4 juta ton, namun pelaku industri mengklaim angka riil mencapai 3,9 hingga 4,2 juta ton.

"Dan perusahaan ini sudah 1 bulan lebih saya paksa untuk ambil singkongnya petani dan hari ini stok di Provinsi Lampung ada 250 ribu ton  dan ini tidak laku karena harga nya sedang jatuh," kata dia.

Oleh karena itu Pemprov Lampung pun mengambil langkah sementara dengan menetapkan HET Rp1.350 per kg dengan potongan 30 persen guna menenangkan petani, sambil menunggu janji pemerintah pusat untuk membatasi impor tepung tapioka.

"Kami sudah menunggu 4 bulan. HET yang ditetapkan gubernur ini juga tidak akan lama, dua bulan lagi ketika petani panen raya ini akan terjadi keributan lagi karena banyak perusahaan yang memilih tutup," jelasnya.

Oleh karena itu pihaknya meminta agar pemerintah segera mengambil langkah konkret, salah satunya dengan menghentikan atau setidaknya menahan impor tapioka.

"Industri dan pertanian ini harus ditata supaya semua tumbuh dan alhamdulillah baru tahun ini juga dikasih pupuk subsidi dan perkiraan kami karena pupuknya sudah disubsidi maka produksi kami naik kira-kira 30 persen," tutupnya. (*)