• Rabu, 25 Juni 2025

Permainan Lapak Rugikan Petani Singkong di Lampung, PPTTI: Mereka Untung Ratusan Miliar

Rabu, 25 Juni 2025 - 14.14 WIB
44

Ketua Perhimpunan Pengusaha Tepung Tapioka Indonesia (PPTTI) Provinsi Lampung, Welly Sugiono. Foto: Ist.

Kupastuntas.co, Bandar Lampung - Gubernur Lampung, Rahmat Mirzani Djausal, bersama tujuh Bupati mengikuti Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan Badan Legislasi (Baleg) DPR RI di Gedung Nusantara Jakarta, Rabu (25/6/2025).

Para bupati tersebut diantaranya Bupati Lampung Timur Ela Siti Nuryamah, Bupati Lampung Tengah Ardito Wijaya, Bupati Lampung Selatan Radityo Egi, Bupati Wakil Bupati Lampung Utara Romli.

Kemudian Bupati Mesuji Elfianah, Bupati Tulangbawang Barat Novriwan Jaya, dan Wakil Bupati Tulang Bawang Hankam Hasan.

Selain itu, hadir pula Ketua Perkumpulan Petani Ubi Kayu Indonesia (PPUKI) Lampung Dasrul Aswin dan juga Ketua Perhimpunan Pengusaha Tepung Tapioka Indonesia (PPTTI) Provinsi Lampung, Welly Sugiono.

Ketua PPTTI Provinsi Lampung, Welly Sugiono mengatakan, harga singkong di Lampung mengalami penurunan bahkan jauh dari harga yang telah ditetapkan Pemprov Lampung.

Menurut Welly, seharusnya petani menerima harga bersih Rp945 per kilogram, mengacu pada harga dasar Rp1.350 yang telah ditetapkan Gubernur Lampung, dengan potongan 30 persen.

Namun, faktanya, para petani hanya menerima antara Rp400 hingga Rp500 per kilogram. Ketimpangan ini, kata Welly, disebabkan oleh praktik permainan harga oleh pelaku lapak yang mengambil keuntungan di tengah.

"Banyak petani tidak menjual langsung ke pabrik, tapi melalui lapak. Kami sudah lakukan survei hasilnya petani hanya menerima 400 sampai 500 rupiah. Kalau pelapak ambil untung Rp100 saja per kilogram, dengan volume produksi yang ada di Lampung, keuntungannya bisa mencapai Rp110 miliar. Ini luar biasa besar," ujarnya.

Baca juga : Baleg DPR RI Menilai Pemerintah Diam Soal Impor Tapioka: Rugikan Petani Singkong

Ia juga menyoroti bahwa permasalahan dalam industri tapioka tidak bisa hanya dilihat sebagai konflik antara petani dan pabrik.

Menurutnya, masalah ini adalah hasil dari kerusakan sistem dalam ekosistem industri tapioka itu sendiri, yang selama ini tidak pernah ditangani secara menyeluruh.

"Setiap muncul masalah, selalu petani dan pabrik yang dibenturkan. Padahal ini bukan persoalan dua pihak saja, tapi seluruh sistemnya yang bermasalah," kata Welly.

Di sisi lain, para pabrik anggota PPTTI juga mengalami tekanan berat. Hingga saat ini, tercatat ada sekitar 250 ribu ton stok tapioka dari anggota asosiasi yang tidak bisa dijual.

Harga pasar yang sebelumnya mencapai Rp6.500 per kilogram, kini hanya dihargai Rp5.200, belum termasuk pajak pertambahan nilai (PPN). Kondisi ini membuat pabrik kesulitan menutupi biaya produksi jika tetap membeli singkong dari petani dengan harga tinggi.

"Ada stok 250 ribu ton itu dari anggota kami, di Lampung ini ada 70 pabrik yang menjadi anggota kami baru 37 dan ini patuh terhadap keputusan pak gubernur. Dan ini tidak bisa menjual karena yang tadinya beli 6.500 tiba-tiba semua minta 5.200 belum PPN belum lagi segmentasi pasar," kata dia.

Tak hanya soal harga dan distribusi, Welly juga menyoroti kebijakan harga Rp1.350 yang hanya berlaku di Lampung tanpa ada penerapan di daerah lain. Ia menilai hal ini menimbulkan diskriminasi dan ketimpangan antar daerah.

"Kalau kebijakan ini tidak bisa diterapkan secara nasional, mengapa hanya Lampung yang diatur? Ini membuat kami tidak bisa bersaing, padahal Lampung menyumbang sekitar 40 persen produksi tapioka nasional," ucapnya.

Oleh karena itu PPTTI meminta agar pemerintah pusat segera menetapkan harga singkong secara nasional. Langkah ini dinilai penting untuk menciptakan keadilan bagi semua pelaku di industri tapioka termasuk petani dan pabrik.

"Penetapan harga singkong kami minta diberlakukan secara nasional dan ini harus segera dilakukan agar menciptakan keadilan dan kepastian," kata dia.

Ia juga mengatakan jika impor tapioka mulai terjadi pada tahun 2012 dan dibebaskan bea masuk yang dibebankan oleh perusahaan yang melakukan impor.

"Dari segi bibit kita juga sudah kalah dari segi pemupukan juga tidak maksimal. Kemudian tidak satupun pemerintah itu lounching bibit yang bagus. Sekarang di Thailand per hektar bisa sampai 50 ton kadar pati pasti bisa sampai 23 sedangkan di kita 20 persen sudah alhamdulillah," tutupnya. (*)