• Kamis, 26 Juni 2025

Curhat di Badan Legislasi DPR RI, Mirzani: Singkong di Lampung Tidak Laku Efek Tapioka Impor

Kamis, 26 Juni 2025 - 08.13 WIB
24

Gubernur Lampung Rahmat Mirzani Djausal. Foto: Ist.

Kupastuntas.co, Bandar Lampung - Gubernur Lampung Rahmat Mirzani Djausal curhat di depan anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR RI terkait kondisi petani serta industri singkong dan tepung tapioka di Provinsi Lampung. Singkong di Lampung tidak laku dampak dari adanya tapioka impor.

Mirzani mengatakan, saat ini kondisi petani dan industri di kedua sektor itu sedang bernasib miris. Padahal, kedua bidang usaha ini adalah urat nadi ekonomi masyarakat Lampung.

Mirzani mengeluhkan harga singkong petani yang tidak mampu bersaing hingga pasokan tapioka yang tidak mampu diserap oleh industri nasional.

"Provinsi Lampung itu pendudukanya 9.400.000 jiwa, hampir 70% dari penduduk itu hidup dari pertanian. Mayoritas, sebagian besar, hampir 1 juta keluarga, 800.000 keluarga adalah petani singkong. Jadi kira-kira 2 juta lebih ini adalah petani singkong," kara Mirzani saat rapat dengar pendapat (RDP) di depan Baleg DPR RI, Jakarta, pada Rabu (25/6/2025).

Mirzani mengungkapkan, tidak hanya sebagai profesi sebagian besar masyarakat Lampung, singkong dan tepung tapioka memiliki kontribusi yang cukup besar terhadap ekonomi Lampung.

"Data sementara, 50% nasional. Nomor dua itu adalah padi, nomor tiga adalah jagung. Dari GDP di PDRB sendiri, dari 483 triliun PDRB di Provinsi Lampung, ini 50 triliunnya ini dari singkong dan turunannya," ucap Mirzani.

Mirzani menerangkan, persoalan pertama yang membuat kondisi industri singkong dan turunannya adalah berawal dari program membuat Lampung menjadi provinsi yang mampu mengembangkan singkong dan industri turunannya. Program ini sudah disusun sejak 2001, namun tidak dikawal sehingga lepas kendali. Padahal Lampung disebut penyumbang 50% produsen singkong Indonesia.

"Padahal sejak 2001, ada program Industri Tanaman Tapioka Rakyat atau Itara. Di perjalanan, tata niaga tidak diatur. Industri berjalan sendiri, petani berjalan sendiri," katanya.

Mirzani menjabarkan, setelah tiga tahun terakhir baru ada asosiasi petani dan baru tahun ini organisasi yang membawahi industri singkong dan turunanya dibentuk. Kesejahteraan petani singkong di Lampung juga menjadi sorotan sebab jauh di bawah standar UMR.

"Tahun 2024 kemarin, HET kita akhir Rp900 per kilogram. Dengan potongan 15-20%. Pendapatan petani tapioka kita tidak lebih dari Rp1 juta per bulan. Rp1 juta per hektar," jelasnya.

Setelah petani melakukan demo, akhirnya HET naik menjadi Rp1.350 per kilogram. Namun ternyata tidak mampu diserap oleh industri dan kemudian menjadi permasalahan baru.

"Tapi teman-teman pengusaha rugi semua. Harga mereka tidak kompetitif. Akhirnya mereka tidak bersedia membeli," katanya.

Ujung-ujungnya pengusaha memilih impor tepung tapioka karena harganya lebih murah. "Mereka (petani Lampung) kalau tidak salah produksi per kilo Rp6.000. Sedangkan tepung tapioka impor cuma Rp5.200 dan tidak pernah kena pajak. Tepung tapioka itu tidak pernah kena pajak," tegasnya.

Sebagai solusi sementara, HET singkong kemudian menjadi Rp1.350 per kilogram dengan potongan 30%. "Pengusaha-pengusaha singkong pun terpaksa menerima HET potongan 30% ini untuk menyelamatkan petani-petani," kata Mirzani.

Akibat tidak terserapnya singkong, stok di Lampung pun melimpah, diperkirakan mencapai 250.000 ton.

“Permasalahan berikutnya, adalah keakuratan data di pusat. Menurut data SINAS, produksi tepung tapioka lampung bisa mencapai 1,4 juta ton. Padahal menurut data yang saya himpun dari pengusaha maupun kantor wilayah pajak lebih dari itu,” katanya.

"Menurut teman-teman pengusaha, mereka produksi 4 juta ton. Kanwil Pajak Provinsi Lampung mengatakan, tapi belum secara tertulis, produksi yang dilaporkan oleh tepung tapioka di Provinsi Lampung ini 3,9 juta ton sampai Rp 4,2 juta ton," lanjutnya.

Ia mengatakan, selisih data antara pemerintah pusat dan wilayah ini juga mengubah asumsi data turunannya.

"Berarti produksi kami di Lampung kalau satu ton tapioka butuh 4 ton (singkong), berarti kayak tadi kami produksi hampir 20 juta ton singkong dan ada 600.000 hektar lahan singkong di Provinsi Lampung," tukasnya.

"Sehingga kesalahan data ini menyebabkan kesalahan-kesalahan kebijakan kebawah," kata Mirzani.

Sementara Maradoni, perwakilan dari Aliansi Masyarakat Petani Singkong Indonesia, mengatakan impor tepung tapioka menggerus potensi kesejahteraan petani.

"Ada statement dari KPPU II Lampung, impor itu nilainya waktu turun pertama 59 ribu ton, yang kami dapat informasi itu dari media. Kami tidak punya data asli. 59 ribu ton itu nilai uangnya 511 miliar," ucap Maradoni saat RDP dengan Baleg DPR RI,  pada Rabu (25/6/2025).

"Artinya, apabila di 100 ribu ton, 1 triliun lebih. Kalau di 10 ton, 1 juta ton, artinya 10 triliun. Kalau 4 juta ton, artinya 40 triliun uang itu yang di Provinsi Lampung," sambungnya.

Ia mengatakan, potensi nilai ekonomi dari tepung tapioka tersebut tidak bisa dirasakan oleh petani karena adanya impor tepung tapioka.

"Tapi apa kenyataannya, Pak? Itu tidak ada yang dinikmati oleh petani singkong yang ada di Provinsi Lampung. Tidak ada!" keluhnya.

Maradoni pun mempertanyakan perhatian pemerintah terhadap petani dan industri singkong serta turunannya di Lampung.

"Apakah menurut kami, pihak-pihak terkait yang ada di Republik Indonesia ini tidak mengetahui kalau di Provinsi Lampung adalah sentra pertengahan singkong yang terbesar yang ada di Republik Indonesia?" ungkapnya.

Maradoni menginginkan adanya regulasi untuk petani singkong dan industri tepung tapioka sehingga dapat mensejahterakan petani.

"Artinya harapan kami, dari perjuangan Bapak-Bapak ini ke depan untuk bagaimana menghasilkan regulasi yang paten, untuk bagaimana kedepannya menjadi nilai-nilai kesejahteraan bagi petani singkong Lampung," pungkasnya. (*)

Berita ini telah terbit di Surat Kabar Harian Kupas Tuntas, edisi Kamis 26 Juni 2025 dengan judul "Perusahaan Tapioka Abaikan Instruksi Gubernur Lampung”