• Sabtu, 28 Juni 2025

MK Putuskan Pemilu Nasional dan Daerah Dipisahkan, Terdapat Potensi Kekosongan Kursi DPRD

Sabtu, 28 Juni 2025 - 13.19 WIB
64

Pengamat Hukum Tata Negara Universitas Lampung, Yusdiyanto. Foto: Ist.

Kupastuntas.co, Bandar Lampung - Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan pemilu nasional (Presiden, DPR, DPD) dipisahkan dari pemilu daerah (DPRD, kepala daerah) dengan jeda 2–2,5 tahun.

Dengan jadwal Pemilu nasional tahun 2029, maka Pilkada dan pemilihan DPRD kemungkinan besar akan mundur ke tahun 2031. Artinya jabatan kepala daerah dan anggota DPRD hasil Pilkada 2024 yang seharusnya berakhir pada 2029, akan kosong selama 1,5–2 tahun.

Menanggapi hal ini, Pengamat Hukum Tata Negara Universitas Lampung, Yusdiyanto menilai putusan MK tersebut mempertegas perbedaan antara pemilu dan Pilkada.

Selama ini, Pilkada hanya memilih kepala daerah, padahal dalam menjalankan pemerintahan daerah terdapat unsur DPRD yang dipilih bersamaan dengan DPR RI, yang menyebabkan perbedaan waktu pelantikan kepala daerah dan DPRD.

"MK sudah tegas membedakan antara pemilu dan Pilkada. Nah, Pilkada ini baru menyasar pada kepala daerah, belum legislatif. Kalau kita melihat konstruksi pemerintahan, ada pusat dan daerah, maka harus dipisahkan antara pemerintahan pusat dan daerah. Ini salah satu klausul pemahamanya," ujar Yusdiyanto, saat dimintai keterangan melalui sambungan telepon WhatsApp, Sabtu (28/6/2025).

"Jika melihat putusan ini, MK menegakkan konstitusi dan melakukan penataan pengisian jabatan di daerah, melalui menyelaraskan pemilihan kepala daerah dan DPRD yang sebelumnya berbeda waktunya," tambahnya.

Dalam putusan MK tersebut, menurutnya, terdapat klausul bahwa masa jabatan habis pada 2031, bukan hanya untuk DPRD tapi juga kepala daerah.

Hal ini mendorong pembentukan regulasi agar keserentakan pemilihan DPRD dan kepala daerah dapat terwujud, sehingga semangat otonomi daerah bisa dihidupkan. Salah satu esensi otonomi daerah adalah masa jabatan yang bersamaan antara DPRD dan kepala daerah.

Yusdiyanto menerangkan, berdasarkan Permendagri Nomor 4 Tahun 2023 tentang penunjukan penjabat, maka kepala daerah yang masa jabatannya berakhir pada 2029 akan digantikan oleh Penjabat (Pj) Kepala Daerah.

"Kalaupun ada perpanjangan masa jabatan, itu tidak berasal dari kepala daerah hasil pemilu. Kita bisa lihat saat ini, Pj Kepala Daerah Kabupaten di Lampung bukan berasal dari kepala daerah hasil pemilihan, tapi dari ASN yang memenuhi syarat," jelasnya.

Namun, lanjut Yusdiyanto, hingga saat ini belum ada sejarah maupun regulasi yang mengatur perpanjangan masa jabatan legislatif, baik di tingkat pusat maupun daerah.

"Kalau masa jabatan kepala daerah habis, bisa diganti dengan Pj. Tapi DPRD, kalau kosong, tidak bisa diperpanjang. Maka dalam menjalankan pemerintahan, akan ditunjuk Pj Kepala Daerah, sementara kursi DPRD dibiarkan kosong. Artinya, pemerintahan akan bersifat lebih sentralistik. Dalam literatur pemerintahan daerah, perpanjangan masa jabatan legislatif belum pernah ada," tegasnya.

Menurutnya, tidak ada dasar hukum yang membenarkan perpanjangan masa jabatan DPRD. Jika pun dipaksakan, justru bisa menimbulkan konflik internal partai politik.

"Kalau kepala daerah bisa diganti dengan Pj, tapi DPRD yang berjumlah ribuan orang, bagaimana dasar legalitasnya? Ini bisa menimbulkan konflik internal parpol. Jadi, opsi yang paling mungkin adalah pemerintahan bersifat sentralistik, di mana kepala daerah ditunjuk oleh pemerintah pusat. Perpanjangan masa jabatan DPRD adalah pilihan terakhir dan terlalu dini," ujarnya.

Yusdiyanto menambahkan, masa jabatan DPRD saat ini tetap lima tahun sesuai aturan. Perpanjangan hanya menjadi opsi terakhir, dengan mempertimbangkan kondisi keuangan negara.

"Model pengisian jabatan dalam hukum administrasi ada tiga, yaitu penjabat (Pj) pelaksana tugas (Plt) dan pelaksana harian (Plh). Sementara DPRD tidak bisa ditunjuk karena mereka dipilih melalui proses pemilu dengan masa jabatan yang sudah ditentukan secara reguler," imbuhnya.

"DPRD adalah unsur penyelenggara pemerintahan daerah, artinya posisinya setara dengan kepala daerah, karena sama-sama berasal dari pemilihan. Jika masa jabatannya habis, maka tidak ada dasar hukum administrasi untuk memperpanjang," tutupnya. (*)