Buaya di Way Semaka Tanggamus Cermin Retak Ekologi Kita, Oleh: Sayuti

Jurnalis Kupas Tuntas Grup wilayah Kabupaten Tanggamus, Sayuti. Foto: Ist.
Kupastuntas.co, Tanggamus - Seekor buaya muara (Crocodylus porosus) sepanjang 4,5 meter akhirnya ditangkap. Ia adalah simbol dari keresahan yang selama ini bergemuruh di tepian Way Semaka, Kabupaten Tanggamus.
Buaya itu bukan hanya predator, tetapi isyarat bahwa alam sedang berbicara, dan kita belum cukup mendengarkan.
Dalam beberapa hari terakhir, penangkapan buaya ini menjadi headline di berbagai media massa dan viral di jagat media sosial.
Video proses evakuasi, foto buaya raksasa yang diangkut ke darat, serta komentar masyarakat ramai berseliweran di layar ponsel. Namun, di balik itu semua, ada cerita yang lebih dalam dan lebih mengerikan: kerusakan ekosistem Way Semaka yang kian akut.
Buaya itu memang berhasil ditangkap pada malam 4 Juli 2025 oleh tim Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Bengkulu–Lampung bersama warga.
Ia dituduh sebagai pelaku dalam serangan terhadap Wasim (80), warga Pekon Sripurnomo, Kecamatan Semaka, Kabupaten Tanggamus.
Tapi persoalan sebenarnya tidak sesederhana itu. Buaya hanyalah gejala, bukan akar masalah. Yang patut 'ditangkap' hari ini bukan hanya buaya, tetapi keserakahan yang merusak hulu hingga hilir Way Semaka.
Sungai (Way) Semaka kini sedang dalam fase krisis ekologis. Di banyak titik, sungai ini mengalami pendangkalan parah akibat sedimentasi dari penggundulan hutan di hulu dan penyedotan pasir tanpa kendali di tengah alirannya. Debit air pun terus menurun, terutama saat musim kemarau. Aliran sungai yang dulu deras, kini mengecil dan mengeruh.
Jika buaya bergerak ke hulu, itu bukan karena ia ingin, tetapi karena hilirnya telah rusak parah. Hutan bakau yang dulu menjadi pelindung alami ditebangi. Wilayah estuari yang menjadi tempat mencari makan dan berkembang biak digusur untuk tambak.
Bahkan pasir di muara pun disedot habis-habisan. Ada pula aktivitas pengolahan kayu atau swamil di kawasan pesisir yang menambah luka di tubuh Way Semaka.
Di wilayah tengah sungai, dari Kecamatan Semaka hingga Wonosobo, penyedotan pasir berlangsung nyaris tanpa henti. Truk-truk bermuatan berat keluar-masuk membawa hasil kerukan sungai setiap hari.
Legal atau tidak? Tak jelas. Tapi yang pasti, bantaran sungai rusak, dasar sungai turun, dan buaya makin kehilangan ruang untuk berburu.
Sementara di hulu, hutan perbukitan yang seharusnya menjadi penjaga mata air telah berubah menjadi kebun kopi, lokasi tambang emas, dan PLTA. Tak ada yang mampu menghentikan deru gergaji, dentuman mesin, dan aliran uang yang mengalir ke kantong-kantong tak bertuan.
Di tengah kehancuran itu, buaya pun menyeruak ke wilayah-wilayah yang tak lagi alami. Ia muncul di tambak, pelabuhan, area aktivitas warga mandi, mencuci, bahkan untuk buang air (BAB), hingga perairan laut Kotaagung.
Masyarakat sempat geger melihat penampakannya di sekitar dermaga penyeberangan dan Tempat Pelelangan Ikan (TPI). Bahkan beberapa pencari udang di muara menjadi korban serangannya.
Buaya tidak sedang menyerang manusia. Ia sedang mempertahankan hidup. Dan kehadirannya hari ini adalah peringatan keras bahwa ekosistem Way Semaka telah berubah—dan bukan ke arah yang lebih baik.
Namun sayangnya, kita kerap terjebak pada narasi lama bahwa satwa liar yang muncul di permukiman adalah ancaman. Kita menyebut mereka buas, ganas, dan harus ditangkap. Padahal, siapa yang lebih buas? Buaya yang mempertahankan wilayahnya? Atau manusia yang terus menggusur, menebang, menyedot, dan menggali tanpa henti?
Perlu diingat, buaya muara adalah satwa dilindungi. Ia masuk daftar merah IUCN sebagai spesies rentan. Di Indonesia, perlindungannya diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 dan Permen LHK Nomor P.106 Tahun 2018. Tapi sekuat apa pun hukum, akan sia-sia jika hutan terus ditebang, sungai terus dikeruk, dan tambak terus merangsek ke muara.
Buaya mungkin bisa ditangkap. Tapi kerakusan manusia jauh lebih sulit dijinakkan. Tabik pun. (*)
Berita Lainnya
-
Rumah Seorang Kakek di Limau Tanggamus Ludes Terbakar Saat Salat Isya
Senin, 07 Juli 2025 -
Krisis LPG 3 Kg di Tanggamus Masih Terjadi, Warga: Harga Rp 35 Ribu
Senin, 07 Juli 2025 -
Antre Panjang dan Dapat Satu Tabung, Warga Keluhkan Operasi Pasar Gas Melon Pemkab Tanggamus
Jumat, 04 Juli 2025 -
Tradisi Adat Pangan Balak Warnai HUT Desa Sukajaya di Tanggamus, Ketika Warisan Budaya Menyatukan Warga
Jumat, 04 Juli 2025