Dipaksa Restorative Justice, Korban Penipuan Kopi di Lampung Barat Ajukan Praperadilan ke PN Tanjungkarang

Para korban dan kuasa hukum saat foto bersama usai mengajukan gugatan praperadilan terhadap penyidik Polda Lampung di Pengadilan Negeri Tanjungkarang. Foto: Ist.
Kupastuntas.co, Lampung Barat - Kasus dugaan penipuan dan penggelapan uang hasil penjualan kopi yang melibatkan Ahmad Ramadan alias Adon kembali mencuat ke publik. Sejumlah korban yang merasa dirugikan secara finansial menempuh jalur hukum dengan mengajukan gugatan praperadilan terhadap penyidik Polda Lampung di Pengadilan Negeri Tanjungkarang.
Langkah ini diambil karena pihak korban menilai penghentian penyidikan terhadap Adon melalui Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) dilakukan secara tiba-tiba dan tanpa dasar hukum yang sah.
Kuasa hukum para korban, Andi Falki, menjelaskan bahwa praperadilan diajukan untuk menguji keabsahan penghentian penyidikan perkara dugaan penipuan dan penggelapan yang dilakukan oleh Ahmad Ramadan.
Ia juga menilai penerapan restorative justice (RJ) dalam kasus ini tidak memenuhi ketentuan yang diatur dalam Peraturan Kapolri.
"Penghentian ini tidak sesuai prosedur dan telah melanggar hukum acara pidana. Restorative justice dilakukan secara sepihak tanpa mempertimbangkan syarat utama yang jelas-jelas tidak terpenuhi," ujar Andi saat dikonfirmasi, Senin (7/7/2025) malam.
Andi menjelaskan, salah satu syarat restorative justice adalah bahwa perkara tidak boleh menimbulkan keresahan publik. Namun dalam kasus ini, kerugian yang diderita para korban mencapai miliaran rupiah dan berdampak luas terhadap masyarakat Lampung Barat, khususnya petani kopi dan pelaku usaha lokal.
"Ini bukan konflik personal. Kerugiannya besar dan merugikan banyak orang. Jadi jelas tidak layak dihentikan melalui RJ," tegas Andi.
Ia juga mengungkapkan dugaan adanya pemufakatan antara penyidik dan eks kuasa hukum korban, khususnya terkait pembagian barang bukti. Menurutnya, terjadi pemotongan sepihak atas dana yang seharusnya diterima korban.
Dari total kerugian yang ditaksir mencapai Rp10 miliar, hanya Rp3,72 miliar yang dijadikan barang bukti dalam bentuk uang tunai. Dari jumlah tersebut, sekitar 20 persen dipotong oleh eks pengacara dengan alasan sebagai fee untuk pengacara, penyidik, dan notaris, sehingga korban hanya menerima sekitar Rp2,96 miliar.
"Pemotongan ini tidak masuk akal dan dilakukan tanpa persetujuan korban. Ini bentuk pelanggaran hak dan keadilan," kata Andi.
Tak hanya uang tunai, sejumlah barang bukti bernilai tinggi yang sebelumnya ditampilkan saat konferensi pers oleh Polda Lampung juga dipertanyakan keberadaannya.
Salah satunya adalah jam tangan Rolex senilai Rp599 juta yang dinyatakan palsu dan diambil oleh eks kuasa hukum.
Selain itu, aset lain yang diusulkan untuk disita namun tidak ditindaklanjuti antara lain :
- Empat unit mobil truk
- Satu unit Toyota Fortuner
- Satu unit Toyota Hilux
- Dua unit motor touring
- Timbangan kopi
- Sekitar 6.800 kg kopi titipan di PT LDC
Andi juga menyebut adanya aliran dana sebesar Rp1 miliar ke rekening istri Ahmad Ramadan, yang hingga kini tidak pernah ditelusuri oleh penyidik. Dari semua aset yang diminta untuk disita, hanya satu unit mobil Toyota Vios yang benar-benar disita secara resmi.
"Selebihnya tidak jelas keberadaannya. Ini sangat merugikan korban," imbuhnya.
Lebih lanjut, Andi mengungkapkan bahwa para korban merasa dipaksa menyetujui proses RJ oleh penyidik dan eks pengacara. Mereka mendapat tekanan bahwa jika menolak berdamai, maka seluruh barang bukti akan dirampas oleh negara dan mereka tidak akan menerima apa pun.
"Korban tidak diberi ruang untuk menolak. Hanya diberi dua pilihan: setuju atau tidak dapat apa-apa. Ini bukan keadilan restoratif, tapi pemaksaan," ujarnya.
Salah satu korban, Husain, menyatakan kekecewaannya karena tidak pernah diberi pemberitahuan resmi bahwa perkara telah dihentikan. Ia baru mengetahui soal SP3 setelah menunjuk kuasa hukum baru dan melakukan pengecekan ke Polda Lampung.
Melihat banyaknya kejanggalan dalam penanganan kasus ini, para korban meminta dukungan politik dan perlindungan hukum dari Komisi I DPRD Lampung Barat dan DPRD Provinsi Lampung. Mereka telah menyampaikan surat permohonan pendampingan selama proses praperadilan berlangsung.
"Jangan sampai hukum hanya berpihak kepada mereka yang punya uang. Kami minta DPRD ikut mengawasi dan berdiri bersama kami sebagai korban," kata Husain.
Sebelumnya, kasus ini pernah dirilis secara resmi oleh Polda Lampung melalui media sosial, namun unggahan tersebut kini telah dihapus tanpa penjelasan lebih lanjut. Hal ini memperkuat dugaan korban bahwa terdapat upaya untuk menutupi sejumlah kejanggalan dalam proses hukum.
Kini, seluruh harapan para korban tertuju pada proses praperadilan yang tengah berjalan di PN Tanjungkarang. Mereka berharap agar SP3 dibatalkan dan penyidikan terhadap Ahmad Ramadan dibuka kembali sesuai prosedur hukum yang berlaku. (*)
Berita Lainnya
-
Pengurus Korpri Lampung Barat 2025–2030 Resmi Dilantik, Ini Daftar Namanya
Selasa, 08 Juli 2025 -
Fraksi ADEM DPRD Lampung Barat Soroti Serapan PAD Belum Optimal
Senin, 07 Juli 2025 -
Parosil Mabsus: Musim Panen Kopi dan Ramainya Pendatang Buat Permintaan Elpiji 3 Kg Meningkat
Senin, 07 Juli 2025 -
Fraksi PDI-P DPRD Lampung Barat Minta Kejelasan Sistem Pengelolaan Pasar Tematik Jelajah Danau Ranau
Senin, 07 Juli 2025