• Kamis, 10 Juli 2025

‎Akademisi UBL: Ukur Ulang HGU PT. SGC Sah Secara Hukum

Kamis, 10 Juli 2025 - 12.45 WIB
42

Akademisi yang juga Sekretaris Program Studi Magister Hukum Universitas Bandar Lampung (UBL), Dr. Benny Karya Limantara, SH., MH. Foto: Ist.

‎Kupastuntas.co, Bandar Lampung – Persetujuan antara Komisi II DPR RI dan Kementerian ATR/BPN untuk melakukan pengukuran ulang terhadap Hak Guna Usaha (HGU) milik PT. Sugar Group Companies (SGC) dinilai sah menurut hukum.

Hal ini disampaikan oleh Akademisi yang juga Sekretaris Program Studi Magister Hukum Universitas Bandar Lampung (UBL), Dr. Benny Karya Limantara, SH., MH.

‎Dalam keterangan hukumnya, Dr. Benny menjelaskan bahwa pengukuran ulang memiliki dasar hukum yang kuat. Di antaranya adalah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria (UUPA), khususnya Pasal 16 ayat (1) huruf c yang menyebutkan bahwa HGU adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh negara.

‎Selain itu, pengaturan teknis juga diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996 tentang HGU, HGB, dan Hak Pakai, Peraturan Menteri ATR/BPN No. 1 Tahun 2021 tentang Sertipikat Elektronik, serta Undang-Undang No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum.
‎Bahkan, Putusan Mahkamah Konstitusi No. 138/PUU-XIII/2015 menguatkan bahwa HGU bisa dikaji ulang jika ada konflik agraria atau potensi pelanggaran hak masyarakat.

‎"Kementerian ATR/BPN memiliki otoritas administratif untuk memberi, mencabut, memperpanjang, dan mengukur ulang HGU. Termasuk juga mengklarifikasi batas-batas tanah jika ada tumpang tindih, konflik, atau permintaan resmi dari pemerintah daerah, masyarakat, atau lembaga lainnya," jelasnya, saat dimintai keterangan, Kamis, (10/7/2025).

‎Menurutnya, legalitas pengukuran ulang diakui bila terdapat indikasi tumpang tindih lahan dengan tanah masyarakat atau adat, kesalahan pengukuran awal, atau adanya sengketa agraria.

‎Meski DPR tidak memiliki kewenangan teknis dalam urusan pertanahan, Dr. Benny menjelaskan bahwa lembaga legislatif tersebut tetap memiliki hak untuk mengawasi kebijakan agraria di wilayahnya.

‎"DPR juga berwenang menyuarakan aspirasi masyarakat dan mendorong Kementerian ATR/BPN untuk melakukan tindakan administratif seperti ukur ulang, investigasi, atau audit atas HGU yang dianggap bermasalah," katanya.

‎Menurutnya, dukungan DPR memang tidak bersifat mengikat secara hukum, tetapi bernilai politis dan aspiratif, serta memperkuat legitimasi moral atas tindakan administratif yang dilakukan oleh BPN.

‎Terkait dampak hukum dan sosial, Dr. Benny menyebut bahwa apabila dari hasil ukur ulang ditemukan kelebihan luasan, penggunaan lahan di luar izin, atau pelanggaran hukum pertanahan, maka PT. SGC bisa dikenai sanksi administratif, penertiban, atau bahkan pencabutan sebagian HGU.

‎"Masyarakat atau kelompok adat yang terdampak juga dapat mengajukan restitusi hak atau pemulihan akses tanah. Selain itu, pengukuran ulang membuka ruang penyelesaian konflik agraria secara objektif dan transparan," bebernya.

‎Dalam kesimpulannya, Dr. Benny menegaskan bahwa kesepakatan antara DPR dan Kementerian ATR/BPN untuk mengukur ulang HGU PT. SGC adalah sah menurut hukum, sepanjang dilakukan sesuai prosedur hukum pertanahan, dilandasi aspirasi masyarakat atau temuan administratif, dan bertujuan menyelesaikan konflik atau ketidaksesuaian hukum.

‎"Langkah ini merupakan bentuk pengawasan kolektif antara pusat dan daerah dalam pengelolaan agraria, serta penting untuk menjamin keadilan dan kepastian hukum atas tanah," tutupnya. (*)