• Jumat, 11 Juli 2025

Ancaman Blacklist dan Urgensi Perbaikan Kualitas Pembangunan di Metro, Oleh: Arby Pratama

Jumat, 11 Juli 2025 - 13.06 WIB
48

Arby Pratama, Wartawan Kupas Tuntas Grup di Kota Metro. Foto: Dok.

Kupastuntas.co, Metro - Wacana pemberian sanksi tegas berupa blacklist terhadap kontraktor nakal di Kota Metro bukan sekadar ancaman administratif, tetapi sinyal kuat bahwa Pemerintah Kota mulai jengah dengan praktik asal jadi dalam pembangunan.

Ini menjadi momentum penting untuk menata ulang ekosistem konstruksi dan pengadaan proyek, yang selama ini kerap dikeluhkan masyarakat.

Kota Metro, sebagai kota cerdas berbasis jasa yang religius, membutuhkan fondasi pembangunan yang tidak sekadar cepat selesai, tetapi juga kokoh, aman, dan berorientasi jangka panjang.

Sayangnya, dalam beberapa tahun terakhir, publik menyaksikan kenyataan pahit: proyek yang cepat rusak, pekerjaan tambal sulam, serta hasil pembangunan yang jauh dari nilai manfaat maksimal.

Jika pemerintah serius dengan ancaman blacklist, maka ini adalah titik balik. Namun jika tidak dijalankan secara konsisten, hal itu hanya akan menjadi retorika basa-basi di awal kepemimpinan Wali Kota H. Bambang Iman Santoso dan Wakilnya, Dr. M. Rafieq Adi Pradana.

Kontraktor nakal bukan hanya soal kualitas pekerjaan yang rendah. Mereka adalah bagian dari rantai masalah sistemik, mulai dari proses lelang yang tidak transparan, pengawasan lapangan yang longgar, hingga kemungkinan adanya kompromi antara pengawas dan pelaksana. Akibatnya, proyek pemerintah yang seharusnya menjawab kebutuhan rakyat justru menjadi sumber keluhan baru.

Di sinilah pentingnya blacklist. Kontraktor yang terbukti menyalahgunakan kepercayaan publik, baik melalui pekerjaan asal-asalan, pemalsuan laporan, pengurangan volume, maupun pelanggaran jadwal pengerjaan, tidak pantas diberi kesempatan kedua, terlebih jika proyek yang dikerjakan menyangkut infrastruktur vital seperti jalan, irigasi, fasilitas pendidikan, dan kesehatan.

Masyarakat Metro tentu masih ingat beberapa proyek yang mengecewakan: jalan yang baru diaspal namun cepat mengelupas, saluran drainase yang macet meski baru dibangun, hingga proyek taman atau trotoar yang tampak cantik tetapi tidak fungsional.

Persoalannya bukan hanya siapa yang mengerjakan, tetapi siapa yang membiarkan. Maka, jika blacklist ingin dijadikan kebijakan serius, sanksinya harus menyasar dua sisi: kontraktor dan pengawas proyek.

Sanksi tidak cukup hanya kepada pelaksana. Dinas teknis dan tim pengawas yang gagal melakukan kontrol kualitas juga harus ditindak. Tanpa pengawasan yang kredibel, kontraktor mana pun akan tergoda untuk berbuat curang, terutama jika tidak ada sistem yang membuat mereka takut pada konsekuensi.

Kota Metro membutuhkan sistem blacklist yang terintegrasi, objektif, dan terbuka. Pemerintah daerah harus membangun basis data rekam jejak seluruh penyedia jasa konstruksi. Penilaian tidak hanya dilakukan di akhir proyek, tetapi sejak proses tender hingga serah terima akhir.

Setiap pelanggaran teknis, keterlambatan, penurunan kualitas, dan laporan pengawasan harus terdokumentasi secara digital. Dan yang paling penting, data ini harus dapat diakses publik. Dengan transparansi, masyarakat dapat ikut menilai dan memberi tekanan pada pelaku usaha yang bermain curang.

Blacklist juga harus memiliki bobot nasional. Jangan sampai kontraktor yang diblokir di Metro, dengan mudahnya kembali ikut tender di daerah lain. Maka, integrasi dengan sistem pengadaan nasional (LPSE, SIRUP, dan e-Catalogue) menjadi krusial.

Wacana ini tidak akan berjalan tanpa keberanian kepala daerah. Komitmen ini harus melampaui sekadar rilis media atau ancaman verbal di forum publik. Diperlukan ketegasan untuk benar-benar menolak perusahaan bermasalah, meski memiliki kedekatan politik atau lobi ekonomi.

Hal ini juga harus disertai reformasi tata kelola proyek di OPD teknis. Jika perlu, bentuk tim independen untuk memverifikasi kualitas proyek di lapangan. Libatkan akademisi, asosiasi profesi, bahkan jurnalis investigatif dalam proses audit sosial. Sebab sering kali, pengawas internal terlalu nyaman atau terlalu dekat dengan rekanan, sehingga suara kritis tak terdengar sampai pekerjaan selesai—dan rusak kembali.

Kualitas pembangunan di Metro harus dikembalikan pada tujuan dasarnya: menjawab kebutuhan warga dan meningkatkan taraf hidup mereka. Bukan sekadar memenuhi indikator serapan anggaran atau menghasilkan tumpukan proyek yang tampak indah dari drone, tetapi hancur dalam hitungan bulan.

Ancaman blacklist adalah pintu masuk, tetapi perbaikannya harus lebih dari itu. Reformasi sistem pengadaan, pengawasan yang objektif, dan keberanian menindak siapa pun yang merusak kualitas pembangunan kota adalah harga mati.

Metro tidak butuh proyek banyak, tapi proyek yang bermanfaat dan bertahan lama. Dan itu hanya mungkin tercapai jika kontraktor dipaksa bertanggung jawab, bukan dimanjakan oleh sistem yang permisif dan penuh kompromi. Karena kota ini tidak bisa dibangun dengan tangan-tangan kotor. (*)