• Jumat, 11 Juli 2025

Konflik Manusia dan Harimau di Lampung Barat: Ketika Ruang Hidup Satwa Liar Dirusak, Nyawa Manusia Jadi Taruhan, Oleh: Echa Wahyudi

Jumat, 11 Juli 2025 - 10.10 WIB
248

Echa Wahyudi, Wartawan Kupas Tuntas di Kabupaten Lampung Barat. Foto: Dok.

Kupastuntas.co, Lampung Barat - Konflik antara manusia dan harimau Sumatera di wilayah Lampung Barat kembali menelan korban jiwa. Kali ini, Misni (62), pria asal Pemalang, Jawa Tengah, yang telah lama menetap di Pemangku Kali Pasir, Pekon Sukabumi, Kecamatan Batu Brak, ditemukan tewas dalam kondisi tragis.

Bagian tubuhnya tidak lagi utuh, diduga kuat akibat serangan harimau liar yang berkeliaran di sekitar kawasan hutan lindung Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS). Peristiwa memilukan ini bukanlah yang pertama. Bahkan, dalam dua tahun terakhir, konflik serupa sudah menjadi fenomena yang kian sering terjadi di Lampung Barat.

Beberapa korban sebelumnya juga tewas dalam kondisi mengenaskan, sebagian lainnya mengalami luka parah. Jika sebelumnya kita hanya mendengar kisah harimau masuk perkampungan, kini ceritanya terbalik: manusialah yang masuk terlalu jauh ke dalam ruang hidup harimau.

Tragedi yang Berulang

Kemunculan harimau di kebun-kebun kopi, ladang warga, bahkan sekitar pondok di dalam hutan, semakin sering terjadi. Bagi sebagian orang, harimau menjadi momok menakutkan. Namun, pertanyaannya: siapa sesungguhnya yang patut ditakuti?

Ketika wilayah jelajah harimau Sumatera semakin menyempit karena deforestasi, pembukaan lahan ilegal, serta perambahan kawasan konservasi, maka konflik adalah konsekuensi yang tidak bisa dihindari antara manusia dan penghuni hutan.

Data dari Balai Besar TNBBS menyebutkan, sejak awal 2024 hingga pertengahan 2025, terjadi setidaknya lima konflik manusia dan harimau di Lampung Barat, dengan empat korban meninggal dunia dan satu lainnya luka berat. Jumlah itu belum termasuk konflik yang tidak tercatat secara resmi hingga saat ini.

Dalam konteks ini, korban bukan hanya manusia. Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae), salah satu spesies kucing besar terakhir di Indonesia, juga menjadi korban. Mereka diusir dan ditangkap, dengan dalih menjaga keselamatan manusia. Padahal, faktanya, merekalah yang terlebih dahulu kehilangan rumah dan sumber makanan.

Hilangnya Habitat dan Kepungan Ekonomi

Kawasan TNBBS adalah rumah bagi berbagai spesies endemik, termasuk harimau Sumatera. Namun, tekanan terhadap kawasan ini luar biasa besar. Perambahan hutan untuk perkebunan kopi menjadi salah satu penyebab utama. Banyak warga dari luar daerah, termasuk dari Jawa Tengah dan Jawa Timur, datang membuka lahan secara ilegal, mendirikan pondok, bahkan menetap dalam kawasan hutan.

Kebun-kebun kopi yang semula berada di zona penyangga kini mulai masuk ke zona inti taman nasional. Akibatnya, jalur pergerakan satwa terganggu. Lebih parah lagi, populasi mangsa alami harimau seperti babi hutan dan beberapa spesies satwa lain pun menurun drastis akibat perburuan.

Harimau yang kelaparan pun tak punya pilihan selain memangsa hewan ternak atau bahkan mendekati manusia.

Dalam perspektif ini, konflik manusia dan harimau bukanlah konflik dua makhluk hidup, tetapi antara kepentingan jangka pendek manusia dengan kelestarian jangka panjang alam.

Ironisnya, beberapa waktu lalu terungkap adanya upaya oknum melegalkan yang tak legal dengan menerbitkan sertifikat kepemilikan di dalam lahan TNBBS.

Tercatat sebanyak 121 sertifikat hak milik ditemukan berada di kawasan hutan lindung yang seharusnya steril dari aktivitas kepemilikan pribadi.

Padahal, kawasan taman nasional secara hukum bukan termasuk wilayah yang dapat dimiliki atau diklaim oleh individu. Penerbitan sertifikat ini tidak hanya menjadi bentuk pelanggaran administratif, tetapi juga simbol kegagalan pengawasan negara atas kawasan konservasi.

Yang lebih memprihatinkan, proses penerbitan ini diduga kuat melibatkan oknum aparat atau birokrat di lapangan. Tanpa keterlibatan pihak berwenang, tidak mungkin sertifikat resmi dapat keluar untuk lahan yang secara legal berada dalam zona perlindungan ekosistem.

Ini menjadi catatan serius bahwa kerusakan yang terjadi dalam kawasan hutan lindung sudah berlangsung sejak lama dan bahkan didukung oleh oknum pemegang kewenangan.

Sertifikat ini kemudian dipakai sebagai dasar untuk membuka lahan, membangun pondok, bahkan mendirikan kebun kopi, memperluas konflik antara manusia dan satwa liar, termasuk harimau Sumatera.

Jika praktik ini tidak segera dibongkar dan dihentikan, maka perambahan hutan bukan hanya akan terus berlanjut, tetapi juga akan menjadi sistemik dan terlegitimasi oleh dokumen hukum palsu.

Negara Harus Hadir, Bukan Sekadar Menenangkan Warga

Pasca peristiwa tragis yang menimpa Misni, pemerintah melalui Balai Besar TNBBS dan instansi terkait kembali menurunkan tim patroli satgas, memberi imbauan agar warga tidak beraktivitas sendirian ke kebun juga telah disampaikan.

Namun, semua langkah itu hanya bersifat kuratif dan sesaat. Ketika kejadian mereda, patroli berhenti, dan masalah kembali ke titik nol. Sudah saatnya negara tidak hanya hadir sebagai pemadam kebakaran. Pemerintah pusat dan daerah harus berani membuat kebijakan tegas menyangkut:

Penegakan hukum terhadap perambah kawasan hutan dan perusak taman nasional. Tak boleh ada kompromi dengan pelaku yang merusak habitat konservasi. Proses hukum harus dijalankan, bukan sekadar peringatan.

Pemulihan habitat dan rehabilitasi kawasan rusak. Reboisasi, pembatasan akses ke zona inti, dan restorasi jalur migrasi satwa harus jadi prioritas.

Pemberdayaan masyarakat lokal. 

Alih-alih menjadi “musuh konservasi”, masyarakat desa harus dilibatkan dalam upaya pelestarian, melalui program agroforestri, ekowisata, dan konservasi berbasis komunitas.

Solusi ekonomi yang berkelanjutan. Banyak warga merambah hutan karena kebutuhan ekonomi. Solusi harus mencakup penyediaan sumber penghidupan alternatif yang legal dan ramah lingkungan.

Pendidikan ekologis jangka panjang. Edukasi kepada generasi muda tentang pentingnya menjaga ekosistem harus dimulai dari sekolah hingga komunitas. Budaya hidup berdampingan dengan alam harus dibangun kembali.

Antara Konservasi dan Kemanusiaan: Dilema yang Harus Diatasi

Kita tidak bisa mengorbankan manusia demi konservasi. Namun, kita juga tidak bisa menghancurkan seluruh alam demi kenyamanan manusia. Konflik manusia dan harimau di Lampung Barat adalah potret ketidakseimbangan ekosistem yang diabaikan terlalu lama. 

Jika terus dibiarkan, kita tak hanya akan kehilangan harimau Sumatera, tetapi juga kehilangan kehidupan yang harmonis di sekitar kawasan konservasi.

Kematian Misni bukan sekadar kabar duka, tetapi panggilan moral bagi seluruh elemen bangsa. Kita tidak sedang berbicara tentang satu korban, tetapi tentang kegagalan kolektif dalam menjaga keseimbangan antara manusia dan alam.

Apakah Kita Menunggu Korban Selanjutnya?

Pertanyaan besar yang kini muncul adalah: sampai kapan kita akan terus membaca berita orang tewas diterkam harimau di Lampung Barat? Apakah kita akan terus menormalisasi kematian sebagai akibat dari konflik yang sebetulnya bisa dicegah?

Jika pemerintah, masyarakat, dan semua pemangku kepentingan tidak segera melakukan perubahan sistematis, maka jawabannya jelas: akan selalu ada nama baru, desa baru, dan keluarga baru yang berduka. Dan saat itu terjadi, bukan harimau yang harus kita salahkan melainkan kita sendiri. (*)