• Rabu, 16 Juli 2025

Ketika Proyek Pembangunan Berakhir Jadi Ancaman, Oleh : Echa Wahyudi

Rabu, 16 Juli 2025 - 10.19 WIB
216

Echa Wahyudi Wartawan Kupas Tuntas di Lampung Barat. Foto: Echa/Kupastuntas.co

Kupastuntas.co, Lampung Barat - Proyek drainase senilai Rp5 miliar lebih di ruas jalan provinsi Liwa–Batas Sumatera Selatan (Link 052), Lampung Barat, menjadi contoh nyata betapa rentannya proyek infrastruktur publik terhadap perencanaan yang lemah, eksekusi tergesa-gesa, dan pengawasan yang minim. Belum genap satu bulan selesai dikerjakan, sistem drainase yang semula digadang-gadang menjadi solusi jangka panjang kini justru menjadi sumber ancaman baru bagi lingkungan dan warga sekitar.

Bak kontrol amblas, pipa-pipa utama pecah dan hilang ke dasar jurang, serta kerusakan parah di sepanjang sistem drainase menandai gagalnya proyek strategis ini bahkan sebelum sempat memberikan manfaat. Lebih jauh, kerusakan ini menyisakan potensi longsor dan kerusakan lahan pertanian warga yang selama ini menopang kehidupan masyarakat sekitar.

Proyek ini merupakan bagian dari kegiatan rekonstruksi jalan provinsi yang dilaksanakan oleh CV Bukit Pesagi, dengan pengawasan dari CV Den Bagoes Consultant. Kontrak bernomor 01/KTR/PPK-K.13/JLN-052/V.03/V/2025 ditandatangani pada 25 Mei 2025 dengan nilai proyek Rp5.017.324.000 dan masa pelaksanaan 180 hari kalender. Pendanaan berasal dari APBD Provinsi Lampung Tahun Anggaran 2025.

Namun, sejak tahap perencanaan, proyek ini sebenarnya sudah menuai tanda tanya besar. Lokasi drainase dibangun di lereng sempit yang diapit jurang curam di kedua sisi, dengan karakteristik tanah yang sangat labil dan mudah tergerus air. Tidak adanya penyesuaian desain terhadap kondisi topografi dan geologi ini menjadi faktor fundamental yang menyebabkan kegagalan sistem secara keseluruhan.

Pembangunan drainase dengan material U-Ditch, ditambah pipa paralon besar yang dihubungkan dengan bak kontrol berkapasitas tinggi, memang terlihat modern di atas kertas. Tetapi ketika sistem ini dibangun di atas tanah yang tidak stabil, tanpa fondasi memadai dan perlindungan geoteknik, maka struktur sebesar apapun akan mudah digulung air dan tanah.

Tujuan utama pembangunan sistem drainase ini adalah mengalirkan air hujan ke sungai bawah jalan guna mencegah banjir dan memperpanjang usia badan jalan. Namun kenyataannya, kurang dari seminggu setelah diuji coba, sistem tersebut sudah gagal menjalankan fungsinya.

Material proyek tercecer di dasar jurang. Retakan tanah mulai muncul di sekeliling lokasi proyek. Bahkan lahan pertanian warga yang berada di sekitar mulai mengalami gangguan, baik dari sisi keamanan struktur maupun produktivitas.

Lebih dari sekadar kerusakan fisik, kondisi ini mengindikasikan gagalnya uji kelayakan teknis. Dalam perencanaan infrastruktur, terutama di wilayah rawan longsor, aspek uji tekanan tanah, karakteristik tanah dasar, serta debit air maksimum harus menjadi dasar desain. Fakta bahwa semua ini tidak dijadikan acuan, menunjukkan bahwa proses perencanaan tidak dilakukan secara serius.

Masyarakat di sekitar proyek, yang sejatinya merupakan pihak yang paling terdampak langsung, tidak dilibatkan secara maksimal dalam proses perencanaan. Masukan mereka tentang risiko geografis dan kondisi tanah labil tidak dijadikan pertimbangan. Padahal dalam pelaksanaan proyek infrastruktur berbasis anggaran publik, asas partisipatif adalah prinsip utama dalam perencanaan yang inklusif dan berkelanjutan.

Yang lebih tragis, lahan yang digunakan dalam proyek ini merupakan lahan hibah dari warga, diberikan secara cuma-cuma demi mendukung pembangunan. Namun ketika proyek tersebut gagal dan justru menimbulkan risiko terhadap lahan produktif mereka, tidak ada jaminan perlindungan ataupun kompensasi yang disiapkan oleh pemerintah ataupun pelaksana proyek.

Inilah bentuk ketimpangan paling nyata dalam proses pembangunan: masyarakat diminta berkorban, tetapi tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan dan tidak dilindungi saat pembangunan justru merugikan mereka.

Pemerintah Provinsi Lampung melalui Kepala Dinas BMBK, M. Taufiqullah, menyebut curah hujan tinggi sebagai penyebab utama amblasnya sistem drainase. Bahkan, disebut bahwa bangunan bak kontrol terlalu besar, namun hanya dibangun dengan pasangan batu dan cor biasa. Kombinasi tersebut memicu pergerakan tanah karena rembesan air yang tidak tertahan.

Pernyataan ini mengundang tanya besar. Bukankah drainase dibangun untuk menghadapi hujan? Jika hujan yang digadang-gadang sebagai penyebab utama menjadi alasan proyek hancur, maka yang patut disalahkan bukan cuaca, tetapi perencanaan dan pelaksanaannya yang buruk.

Selain itu, tidak adanya sistem perkuatan tanah dan proteksi lereng, apalagi pada wilayah yang sudah dikenal rawan longsor, menegaskan bahwa kajian geoteknik dalam proyek ini sangat lemah atau bahkan diabaikan.

Menanggapi kerusakan tersebut, pihak Dinas BMBK menyatakan sedang melakukan investigasi dan akan mempertimbangkan desain ulang. Namun langkah ini saja tidak cukup. Masyarakat berhak menuntut audit independen dan transparan terhadap seluruh proses perencanaan, pelaksanaan, serta pengawasan proyek.

Audit tersebut harus menjawab beberapa pertanyaan mendasar: Apakah proyek dikerjakan sesuai spesifikasi teknis?

Apakah pelaksana dan konsultan pengawas bekerja sesuai standar mutu dan etika kerja?. Apakah terdapat unsur kelalaian atau penyimpangan dalam pengerjaan?. Apakah penggunaan anggaran Rp5 miliar benar-benar efektif dan efisien?.

Jika ditemukan penyimpangan, maka harus ada penegakan hukum, pencabutan kontrak, bahkan penggantian kerugian. Dana publik bukan eksperimen.

Kegagalan proyek ini tidak hanya meninggalkan lubang fisik, tetapi juga luka sosial dan kerusakan lingkungan. Retakan tanah yang mulai meluas bisa menjadi awal bencana ekologis. Ketika drainase gagal, banjir dan longsor bukan lagi potensi, tapi kemungkinan besar.

Dampak ekonomi terhadap pertanian juga tak bisa diabaikan. Lahan yang sebelumnya produktif kini berada dalam zona rawan. Jika tidak segera diperbaiki secara menyeluruh, kerugian bisa meningkat dan memicu ketegangan antara warga dan pemerintah.

Proyek ini menjadi bukti bahwa pembangunan infrastruktur tidak boleh hanya berorientasi pada serapan anggaran atau citra politik. Setiap proyek harus berangkat dari kebutuhan nyata, kajian mendalam, dan partisipasi publik.

Pemerintah, baik provinsi maupun kabupaten, harus mulai membangun sistem evaluasi yang ketat. Setiap proyek harus melalui uji kelayakan menyeluruh, melibatkan akademisi, ahli teknik, serta masyarakat lokal. Jangan lagi menjadikan pembangunan sebagai sekadar proyek seremonial.

Kegagalan proyek drainase Rp5 miliar ini adalah peringatan serius bagi semua pihak yang terlibat dalam pembangunan infrastruktur. Masyarakat telah terlalu sering menjadi korban dari proyek-proyek yang dikerjakan asal jadi.

Kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah dibangun dari hasil nyata, bukan janji manis. Jika pemerintah tidak segera menunjukkan langkah tegas, maka bukan hanya drainase yang amblas tetapi juga kepercayaan rakyat yang runtuh secara perlahan.

Mungkin mereka berfikir, membangun tanpa kajian dan asal-asalan adalah jalan pintas menuju keberhasilan. Sayang, jalan pintas itu malah bikin jalan putus ditengah jalan. Salam. (*).