• Minggu, 20 Juli 2025

Menggali Mitos Siluman Buaya Putih dan Makam Keramat di Capit Urang

Sabtu, 19 Juli 2025 - 13.55 WIB
441

Wisata Dam Raman Kota Metro. Foto: Ist

Kupastuntas.co, Metro - Ada yang ganjil di balik ketenangan air Dam Raman, Kecamatan Metro Utara. Sekilas, tempat itu tampak biasa saja dengan air mengalir tenang, jembatan melintang diam, dan pohon-pohon merunduk meneduhkan tepian.

Tapi di waktu-waktu tertentu, saat kabut turun dan angin berhenti berembus, keheningan di sana terasa seperti bisikan. Seakan tempat itu bukan sekadar bendungan, melainkan gerbang menuju dunia lain.

Di balik jembatan tua dan kawasan rindang yang dikenal masyarakat sebagai Capit Urang, bersemayam dua kisah yang menolak mati, yaitu siluman buaya putih dan makam pengembara misterius. Keduanya bukan sekadar legenda, tapi cerita yang terus bernafas dalam bisik-bisik warga, hingga menembus generasi.

Jelmaan Buaya Putih dan Rombongan yang Hilang

Tahun 2010, petang yang biasa berubah menjadi awal dari kisah ganjil. Sebuah minibus misterius yang konon berasal dari Kabupaten Lampung Selatan, melintas dan berhenti mendadak di jembatan Dam Raman.

Tidak ada yang tahu siapa penumpangnya. Tak ada catatan, tak ada berita kehilangan. Tapi warga sekitar ingat jelas cerita misteri kendaraan itu berhenti, sejumlah penumpangnya turun, berjalan lurus ke arah air, dan lenyap.

Beberapa warga bercerita bahwa para tetua kampung tersebut ada yang pernah melihat tubuh-tubuh manusia itu melenggang pelan menuju permukaan air, tanpa suara, tanpa ragu. Lalu, perlahan berubah bentuk.

Kulit manusia memutih, memanjang, menyatu, membentuk sisik. Mata mereka tetap menatap ke daratan, tapi tubuh mereka telah menjadi buaya dan bukan sembarang buaya, melainkan buaya putih dengan mata merah menyala dan gerak yang tak menyisakan riak air.

Sejak saat itu, banyak yang menceritakan penampakan serupa di sekitar bendungan. Tapi buaya putih itu tak pernah muncul di siang hari, hanya di waktu-waktu sunyi, saat malam mencapai titik tergelapnya.

Makam Tua dan Raja Gaib Capit Urang

Tak jauh dari perairan Dam Raman, di lekuk rimbunnya pepohonan, terdapat sebuah makam tua. Tidak banyak yang tahu letaknya, hanya warga tertentu yang bisa menunjukkan jalan dan tak semua mau. Makam itu tak bernama, hanya ditandai oleh batu nisan kasar dan akar pohon besar yang memeluk tanah di sekitarnya. Akar-akar itu tumbuh seperti tangan, seperti pelindung.

Konon, sekitar tahun 1900-an, seorang lelaki tua yang disebut pengembara datang ke kawasan yang kini disebut Capit Urang. Ia bukan warga sekitar, tak seorang pun tahu dari mana asalnya. Konon, Ia hidup sendiri, jarang bicara, namun sering terlihat berbicara sendirian. Kepada siapa? Tidak ada yang tahu.

Suatu pagi, tubuhnya ditemukan terbaring di bawah pohon, wajahnya tenang, matanya terbuka menatap langit. Tidak ada luka. Tidak ada tanda perlawanan. Ia seperti tidur, tapi tak pernah bangun.

Warga memakamkannya di tempat ia ditemukan. Sejak itu, makam itu berubah dan orang-orang yang berani melintasi makam itu saat malam, kerap mengaku merasakan kehadiran sesuatu. Dingin menusuk, dan suara langkah tapi tak ada wujudnya.

Dalam mitos masyarakat, sang pengembara kini menjadi raja alam gaib Capit Urang. Ia menguasai seluruh makhluk tak kasat mata di kawasan itu, dari buaya siluman, penjaga air, hingga arwah gentayangan. Mereka yang datang dengan niat buruk, akan disesatkan. Yang datang dengan sombong, akan diganggu. Tapi yang datang dengan hati bersih, kadang diberi “tanda”.

Di Antara Nyata dan Tak Nyata

Semua ini, tentu tak pernah masuk logika. Tak ada catatan resmi. Tak ada bukti konkret. Tapi coba tanyakan pada warga tua, penjaga malam, atau nelayan yang pernah menyusuri aliran air itu di waktu larut. Tatapan mata mereka akan berubah. Suara mereka akan mengecil. Dan mereka akan bilang pelan, “Kalau kamu ke sana, jangan bicara sembarangan. Mereka bisa dengar.”

Kawasan Capit Urang dan Dam Raman hari ini perlahan mulai dilirik sebagai destinasi wisata misteri. Beberapa komunitas spiritual, pemburu kisah horor, dan konten kreator mulai berdatangan. Tapi tak semua kembali membawa cerita. Ada yang hanya membawa rasa tak nyaman, mimpi buruk atau perasaan diawasi yang tak bisa dijelaskan.

Bisikan Air dan Akar yang Menjaga

Apakah ini hanya mitos? Bisa jadi. Tapi seperti kata orang-orang tua dahulu, “Kadang, sesuatu tak harus dibuktikan untuk bisa dipercaya. Karena yang tak terlihat, bukan berarti tak ada.”

Jadi, jika suatu hari kamu berada di jembatan Dam Raman saat senja, dan air mendadak tenang seperti cermin, jangan lama-lama menatapnya. Siapa tahu, mata merah itu sedang menatap balik. Dan jika kamu mendengar bisikan dari arah hutan Capit Urang, jangan dibalas. Itu mungkin bukan suara manusia, itu bisa jadi suara dari sang raja pengembara, yang masih menjaga kerajaannya hingga hari ini.

Meski tak ada bukti ilmiah yang bisa menguatkan semua cerita itu, kisah tentang buaya siluman dan makam keramat terus hidup, menyatu dengan identitas kawasan. Kawasan Capit Urang dan Dam Raman sebenarnya memiliki potensi sebagai destinasi wisata sejarah dan misteri.

Jika dikelola dengan pendekatan budaya, kawasan ini bisa menarik wisatawan yang tertarik dengan kisah-kisah supranatural dan mitos lokal. Tidak harus menjual ketakutan, tapi justru mengemas cerita rakyat sebagai warisan budaya, sama seperti legenda Nyi Roro Kidul atau Jaka Tarub.

Namun demikian, pemerintah dan masyarakat perlu berhati-hati dalam mengelola narasi. Mitos boleh hidup, tetapi tetap harus dibarengi edukasi, agar masyarakat tidak terjebak dalam ketakutan atau praktik-praktik tak rasional.

Kisah buaya putih dan makam pengembara di Capit Urang adalah cermin dari kekayaan imajinasi dan spiritualitas lokal. Di tengah dunia modern yang makin rasional, cerita-cerita seperti ini adalah pengingat bahwa masyarakat selalu menyisakan ruang untuk hal-hal yang tak terjelaskan.

Mungkin bukan soal benar atau salah, nyata atau tidak, tetapi bagaimana kisah itu membuat kita lebih menghargai warisan budaya dan hubungan manusia dengan alam sekitarnya. Capit Urang dan Dam Raman bukan sekadar tempat, mereka adalah halaman terbuka dari kitab mitos yang terus dibaca, diceritakan, dan dipercayai. (*)