• Sabtu, 19 Juli 2025

Pemerhati Desak Audit Seluruh Pemegang HGU Skala Besar di Lampung, Tak Hanya SGC

Sabtu, 19 Juli 2025 - 14.00 WIB
92

Pemerhati sosial dan lingkungan hidup, Rosim Nyerupa. Foto: Ist

Kupastuntas.co, Bandar Lampung – Pemerhati sosial dan lingkungan hidup, Rosim Nyerupa, mendorong pemerintah pusat untuk melakukan audit menyeluruh terhadap seluruh pemegang Hak Guna Usaha (HGU) berskala besar di Provinsi Lampung, tidak hanya terbatas pada PT Sugar Group Companies (SGC).

Desakan ini muncul setelah Komisi II DPR RI meminta Kementerian ATR/BPN melakukan pengukuran ulang dan inventarisasi atas seluruh areal HGU milik SGC yang tersebar di Kabupaten Lampung Tengah dan Tulang Bawang.

"Langkah audit terhadap SGC memang perlu diapresiasi, namun tidak cukup jika hanya menyasar satu perusahaan saja," ujar Rosim, Sabtu (19/7/2025). 

Ia menilai, perusahaan-perusahaan besar lain yang menguasai lahan dalam skala luas juga perlu diaudit.

Rosim menyebut sejumlah nama korporasi yang juga beroperasi di Lampung seperti Sinar Mas, Gajah Tunggal, Sinar Laut, Sungai Budi Group, Great Giant Pineapple (GGP), PT AKG di Way Kanan, PT Benil di Tulang Bawang, serta PT Gunung Madu Plantation (GMP).

Menurutnya, audit menyeluruh akan membantu mengungkap potensi tumpang tindih lahan, legalitas pengalihan tanah, hingga kepatuhan perusahaan terhadap kewajiban pajak dan kontribusi terhadap kabupaten dan provinsi Lampung sudah sejauh mana.

“Selama ini publik hanya disuguhkan potret parsial. Padahal secara akumulatif, bisa jadi perusahaan lain justru menguasai lahan jauh lebih luas hanya saja tersebar dan kurang terpantau media, banyak juga perusahaan-perusahaan besar lainnya yang telah banyak mengambil manfaat di tanah Lampung, Tapi sudah sejauhmana kontribusi mereka terhadap Lampung. Kita selalu dihadapkan dengan konflik HGU lahan dengan masyarakat yang kemudian menimbulkan berbagai konflik sosial.” ujarnya.

Dalam pernyataannya, Rosim juga menyoroti PT Gunung Madu Plantation (GMP) yang sempat disebut dalam kasus dugaan manipulasi kewajiban pajak pada 2021. Berdasarkan data yang pernah dirilis Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), negara mengalami potensi kerugian mencapai Rp588 miliar akibat rekayasa pelaporan pajak oleh konsultan eksternal perusahaan.

“Ini bukan sekadar pelanggaran administratif, tapi contoh lemahnya pengawasan fiskal negara terhadap korporasi besar. Pertanyaannya, Bagaimana dengan HGU perusahaan tersebut?" ujarnya.

Tak hanya aspek fiskal, ia juga menyoroti dampak lingkungan dari praktik industri skala besar seperti pembakaran lahan tebu, monokultur, hingga pengelolaan air tanah tanpa Surat Izin Pengambilan Air Tanah (SIPA). Menurut Rosim, praktik semacam ini dapat memicu kerusakan ekosistem dan bencana ekologis.

Rosim menegaskan, audit HGU harus menjadi bagian dari pelaksanaan nyata Reforma Agraria yang selama ini menjadi janji negara. Ia menilai ketimpangan penguasaan lahan dan minimnya transparansi tata ruang menjadi penyebab utama konflik agraria yang terjadi di sejumlah daerah di Lampung.

“Sudah waktunya negara berpihak pada konstitusi, bukan konglomerasi. Audit ulang HGU bukan sekadar kerja teknis, tapi amanat politik dan moral,” tegasnya.

Ia menambahkan, jika negara tidak segera mengambil peran, maka potensi konflik agraria akan terus membesar dan merugikan masyarakat di tingkat akar rumput.

Rosim juga mendorong keterbukaan data pemilik HGU kepada publik. “Publik berhak tahu siapa pemilik lahan, berapa luasnya, dan bagaimana kontribusinya terhadap rakyat dan daerah,” ujarnya.

Ia berharap audit terhadap seluruh pemegang HGU dapat dilakukan secara menyeluruh dan independen, tanpa kesan tebang pilih. (*)