Wisata dari Cangkul dan Doa: Kisah Swadaya Membangun Capit Urang

Suyono, Ketua Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Purwoasri Bersatu, saat diwawancarai di kawasan Capit Urang. Foto: Arby/kupastuntas.co
Kupastuntas.co, Metro - Ada sebuah jembatan gantung yang berdiri tenang di atas aliran Sungai Raman, yang dulunya ditutupi enceng gondok setebal dosa masa lalu. Di bawahnya kini, wisata Capit Urang tumbuh sebagai simbol perlawanan rakyat terhadap keterbatasan dan kelambanan negara.
Namun, delapan tahun telah berlalu. Cerita semangat itu kini tidak hanya menjadi kenangan, tapi juga mulai ditinggalkan oleh mereka yang seharusnya hadir sejak awal pemerintah.
Dulu, tak ada yang melirik kawasan ini. Bahkan peta pun nyaris lupa bahwa Capit Urang adalah bagian dari Kota Metro.
Belukar tumbuh liar, enceng gondok menguasai permukaan air. Namun, dari situ muncullah Suyono dan kawan-kawan dari Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Purwoasri Bersatu, dengan cangkul, sabit dan satu hal yang tak bisa dibeli, yakni harapan.
Kisah bermula pada tahun 2014, ketika warga membuka jalur Sungai Raman untuk pengairan ladang jagung. Itu bukan proyek pemerintah, bukan pula hasil musyawarah rencana pembangunan kelurahan. Itu murni inisiatif rakyat, didorong oleh kebutuhan hidup.
"Setelah air mengalir, kita bangun wisata dekat jembatan gantung Pramuka,” tutur Suyono, Ketua Pokdarwis Purwoasri Bersatu, Minggu (20/7/2025).
"Waktu itu tidak ada siapa-siapa yang datang bantu. Warga sendiri yang bersihkan enceng gondok, kami sendiri yang bangun,” tambahnya, dengan suara serak bukan karena marah, tapi karena delapan tahun berbicara dalam keheningan.
Pekerjaan dilakukan bertahap. Belukar setinggi dada dibabat, pohon-pohon ditanam, jalan setapak dicangkul manual. Warga membawa bibit dari rumah, bekal dari dapur, dan tenaga dari hati.
Program Pokdarwis kemudian hadir. Bukan dari atas, tapi dari bawah, dari rakyat untuk rakyat. Seluruh kawasan Capit Urang dibangun dan dikelola oleh masyarakat dengan dana swadaya. Tak ada investor, tak ada APBD. Yang ada hanya gotong royong, musyawarah, dan sepiring nasi bungkus setelah lelah kerja bakti.
"Kita tak pernah minta uang, kita hanya ingin keberpihakan. Jalan ke lokasi masih rusak, akses susah. Padahal tamu sudah mulai datang dari mana-mana,” ungkap Suyono.
Capit Urang sempat viral. Foto jembatan, hutan kecil, dan aliran sungai yang jernih tersebar di media sosial. Tapi, seperti semua yang viral di negeri ini, euforia cepat naik dan lebih cepat lagi dilupakan. Pemerintah datang, menyapa, lalu pergi meninggalkan jejak selfie dan janji.
"Dukungan dari pemerintah sejauh ini kami nilai baik. Tapi kami ingin itu lebih intens,” kata Suyono hati-hati.
Ia tahu, bicara apa adanya kadang membuat pintu bantuan tertutup rapat. Tapi sampai kapan warga harus terus bicara sopan kepada kekuasaan yang tuli? Hari ini, Capit Urang masih berdiri. Pohon-pohon masih tumbuh. Air sungai masih mengalir. Tapi semangat masyarakat perlahan mengering.
Sebagian lahan sudah mulai ditinggalkan. Anak-anak muda memilih pergi merantau. Pokdarwis masih bertahan, tapi dengan sisa tenaga.
Pemerintah daerah sering membanggakan narasi tentang pemberdayaan masyarakat dan pariwisata berkelanjutan. Namun Capit Urang justru menjadi contoh nyata tentang bagaimana inisiatif rakyat tidak disambut serius oleh negara.
Tidak ada anggaran infrastruktur, tidak ada pelatihan, tidak ada pendampingan. Yang datang hanya ketika wartawan mulai menulis dan kamera mulai merekam.
Dan kini, delapan tahun setelah warga membuka jalan setapak pertama, cerita Capit Urang mulai berubah. Dari kisah perjuangan menjadi kisah kesepian. Dari harapan menjadi catatan pinggiran.
Mereka tak minta banyak, tak minta dibayar, tak minta dihargai seperti pahlawan. Mereka hanya ingin dilihat, disapa, dan ditemani dalam jalan yang sudah delapan tahun mereka mulai sendiri.
Karena pada akhirnya, pariwisata bukan hanya soal spot Instagramable, tapi tentang siapa yang benar-benar hadir ketika rakyat bekerja, dan siapa yang hanya datang ketika pujian mulai berdatangan.
Capit Urang bukan sekadar destinasi. Ia adalah monumen diam tentang rakyat yang bergerak tanpa aba-aba. Tapi, sampai kapan mereka harus terus berjalan sendiri. (*)
Berita Lainnya
-
Menggali Mitos Siluman Buaya Putih dan Makam Keramat di Capit Urang
Sabtu, 19 Juli 2025 -
Polisi Tangkap Kakak Beradik Terduga Pengedar Narkoba Asal Metro Pusat
Jumat, 18 Juli 2025 -
Penjualan 10 Merk Beras Diduga Oplosan Sementara Dilarang Beredar di Metro
Jumat, 18 Juli 2025 -
Sidak ke Pasar hingga Pabrik, Wakil Wali Kota Metro Temukan 10 Merk Beras Diduga Oplosan
Jumat, 18 Juli 2025