• Rabu, 23 Juli 2025

‎Praperadilan Gagal, Saatnya Bongkar Tuntas Kasus Alkes Di RSUDBM Kotaagung, Oleh: Sayuti Rusdi

Rabu, 23 Juli 2025 - 11.58 WIB
100

‎Sayuti Rusdi, Wartawan Kupas Tuntas di Tanggamus. Foto: Ist.

‎Kupastuntas.co, Tanggamus - Putusan Hakim tunggal Pengadilan Negeri Kotaagung, Wahyu yang menolak gugatan praperadilan dr. Meri Yosefa, menjadi titik terang dalam upaya penegakan hukum terhadap dugaan korupsi pengadaan alat kesehatan (Alkes) di RSUD Batin Mangunang, Kabupaten Tanggamus.

‎Penolakan ini menegaskan keabsahan penetapan status tersangka terhadap mantan direktur rumah sakit tersebut, sekaligus memperkuat legitimasi Kejaksaan Negeri Tanggamus dalam menangani perkara yang menyentuh jantung layanan publik.

‎Kita tengah berbicara tentang rumah sakit, tempat di mana harapan masyarakat atas penyembuhan digantungkan. Ketika pengadaan alat kesehatan yang vital seperti CT Scan justru menjadi ladang korupsi, maka yang terciderai bukan hanya anggaran negara, tetapi juga nyawa dan kepercayaan publik.

‎RSUD Batin Mangunang, sebagai rumah sakit daerah rujukan utama di Tanggamus, seharusnya menjadi benteng terakhir pelayanan medis bagi masyarakat yang tidak mampu menjangkau rumah sakit swasta.

‎Ironisnya, dalam proyek pengadaan CT Scan tahun anggaran 2023, terungkap indikasi praktik korupsi yang berpotensi merugikan negara hingga Rp2,17 miliar.

‎Alih-alih memperkuat infrastruktur kesehatan, proyek ini justru disinyalir dijadikan sarana memperkaya diri oleh oknum pejabat dan pihak rekanan.

‎Kejaksaan Negeri Tanggamus telah menetapkan tiga orang tersangka, yakni Marizan, selaku Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan (PPTK); dr. Merri Yosefa, mantan Direktur RSUD Batin Mangunang; dan M. Taufik, pihak rekanan atau kontraktor pengadaan.

‎Ketiganya diduga terlibat dalam persekongkolan yang mencakup rekayasa harga, spesifikasi alat, hingga proses administrasi pengadaan barang yang menyimpang dari ketentuan.

Ini adalah pola klasik korupsi proyek pemerintah yang terus berulang: permainan harga dan kecurangan lelang demi keuntungan sepihak.

‎Kasus ini bukan hanya skandal hukum, melainkan juga tragedi moral. Bayangkan, betapa alat seperti CT Scan yang seharusnya menyelamatkan nyawa, justru menjadi alat untuk memperkaya segelintir orang.

Dalam konteks ini, korupsi tidak hanya merugikan negara secara materiil, tapi bisa berdampak langsung pada tertundanya diagnosa pasien, atau bahkan kehilangan kesempatan hidup.

‎Tak ada kompromi untuk korupsi di sektor kesehatan. Itu sebabnya publik perlu terus mengawal perkara ini, agar proses hukum tidak mandek di tengah jalan.

‎Apalagi jika nantinya muncul nama-nama baru yang terlibat, Kejari Tanggamus wajib bergerak cepat dan profesional, tanpa pandang bulu.

‎Penolakan praperadilan adalah sinyal positif. Tapi ini baru langkah awal. Kita masih menanti proses penuntutan dan persidangan untuk membuktikan sejauh mana keterlibatan para tersangka, serta apakah kerugian negara bisa dikembalikan.

‎Di sisi lain, masyarakat sipil, media, dan organisasi antikorupsi perlu mengambil peran aktif dalam mengawasi jalannya perkara ini.

‎Jangan sampai kasus ini hanya menjadi berita hangat sesaat lalu dilupakan begitu saja. Keadilan tidak akan hadir jika kita membiarkan penyimpangan hanya ditangani secara prosedural tanpa tekanan moral dari publik.

‎Korupsi pengadaan CT Scan ini semestinya menjadi momentum bersih-bersih dalam tata kelola rumah sakit daerah.

Kalau alat kesehatan bisa dikorupsi, maka apa lagi yang bisa dianggap aman? Kita tak boleh diam. (*)