• Jumat, 25 Juli 2025

Membangun Wajah Keadilan yang Humanis dari Tanggamus, Oleh: Sayuti Rusdi

Kamis, 24 Juli 2025 - 09.25 WIB
39

Sayuti Rusdi, Wartawan Kupas Tuntas di Tanggamus. Foto: Ist.

Kupastuntas.co, Tanggamus - Suasana di Aula Kejaksaan Negeri Tanggamus, Rabu (23/7/2025) pagi itu tampak biasa saja. Kursi-kursi terisi, pegawai berdiri rapi, sebagian datang menggandeng pasangan.

Tapi saat Kepala Kejaksaan Negeri, Dr. Adi Fahruddin, naik ke podium dan mulai berbicara, wajah-wajah yang semula datar berubah. Kalimat pembuka yang ia lontarkan terasa seperti semburan listrik ke ruang yang hening.

Tak banyak kepala kejaksaan yang mau berkata seberani itu terang-terangan mengingatkan bahwa hukum bukan hanya alat pengendali, tetapi juga cermin empati.

Pagi itu, dalam peringatan Hari Bhakti Adhyaksa ke-65, Adi melontarkan prinsip itu tanpa ragu. Baginya, kejaksaan bukan tempat memamerkan kekuasaan. Ia harus tegas kepada mereka yang punya kuasa, dan bersahabat bagi yang lemah.

Pernyataan Adi tak berhenti di tataran simbolik. Ia mengajak seluruh jajarannya untuk tidak larut dalam rutinitas birokrasi yang kaku. Ia bicara soal evaluasi, soal introspeksi, soal pekerjaan yang kerap terbengkalai karena sistem yang malas dibenahi.

Kalimat itu mungkin terdengar klise bagi telinga birokrasi, tapi dari mulut Kajari Tanggamus, pernyataan itu terasa seperti teguran langsung.

Pada hari itu pula, ia secara terbuka memberikan apresiasi kepada dua pejabat internal Kejari, yakni Kasi Datun dan Kasi Intel, yang menurutnya mampu membangun reputasi baik di dalam maupun di luar lembaga.

Dalam organisasi yang sering dilihat sebagai institusi tertutup, pengakuan semacam itu adalah angin segar.

Namun yang paling menarik dari arah baru Kejaksaan Negeri Tanggamus adalah pilihan mereka keluar dari zona hukum yang sempit. Lewat program ketahanan pangan, kejaksaan mencoba menyentuh perut masyarakat.

Di beberapa pekon, mereka menanam jagung. Bukan sekadar simbol. Saat ini, sudah 13 hektare lahan digarap. Targetnya: satu hektare jagung untuk setiap pekon di 20 kecamatan.

Beliau ingin hadir di tengah masyarakat bukan hanya sebagai penegak hukum, tetapi juga mitra pembangunan.

Pendekatan ini unik. Di tengah sorotan publik terhadap aparat penegak hukum yang kerap dianggap elitis dan jauh dari rakyat, Kejari Tanggamus justru turun ke lumpur menanam jagung di tanah basah, menyentuh akar rumput, dan membangun kepercayaan dari bawah.

Masih dalam rangkaian Hari Bhakti, Kejari juga melakukan anjangsana ke para purnaja. Mereka yang pernah berdiri gagah di ruang sidang, kini menjalani hari dalam sunyi. Anjangsana itu bukan basa-basi. Ia adalah pengingat bahwa waktu bisa memudarkan pangkat, tapi tidak bisa menghapus pengabdian.

Selain itu, bantuan sosial juga diberikan kepada masyarakat yang membutuhkan dhuafa, janda tua, dan warga tak mampu. Di sinilah hukum hadir dalam bentuk yang paling sederhana: kepedulian.

Acara ditutup dengan pemotongan tumpeng, sebuah tradisi simbolis yang terasa intim. Tumpeng itu diserahkan kepada pegawai tertua dan termuda sebuah jembatan nilai yang menghubungkan mereka yang sudah lama mengabdi dan mereka yang baru mulai meniti jalan Adhyaksa.

Tak ada kemeriahan berlebih dalam peringatan Hari Bhakti Adhyaksa di Tanggamus tahun ini. Tapi justru dalam kesederhanaan itu, terlihat arah baru: bahwa kejaksaan bisa berubah wajah, dari mesin penindakan menjadi pelayan yang berempati.

Di bawah kepemimpinan Adi Fahruddin di Bumi Begawi Jejama, hukum tidak lagi hanya bicara tentang pasal.

Ia mulai menyapa rakyat dengan cara yang lebih manusiawi menjadi belati yang tahu ke mana harus menajam, dan kapan harus menggenggam dengan lembut. (*)