• Kamis, 31 Juli 2025

Industri Tapioka Lampung Terancam Mati, PPTTI Desak Penghentikan Impor dan Penetapan Harga Nasional

Rabu, 30 Juli 2025 - 13.36 WIB
742

Ketua I/Direktur Eksekutif PPTTI, Haru Nurdi. Foto: Ist

Kupastuntas.co, Metro - Perhimpunan Pengusaha Tepung Tapioka Indonesia (PPTTI) mendesak pemerintah pusat segera mengambil langkah konkret untuk menyelamatkan industri tapioka nasional yang dinilai tengah mengalami tekanan berat, khususnya di Provinsi Lampung sebagai salah satu sentra produksi utama singkong dan tepung tapioka.

Desakan tersebut disampaikan Ketua Umum PPTTI, Welly Soegiono, melalui Ketua I yang juga menjabat sebagai Direktur Eksekutif, Haru Nurdi saat dikonfirmasi Kupastuntas.co melalui sambungan telepon, Rabu (30/7/2025).

Menurutnya, terdapat sejumlah persoalan yang mengancam kelangsungan usaha di sektor ini, antara lain masuknya produk impor, ketidakseimbangan harga, serta perbedaan pandangan antara petani dan pelaku industri terkait kualitas bahan baku.

PPTTI meminta pemerintah pusat memberlakukan moratorium terhadap impor tepung tapioka. Haru Nurdi menyatakan bahwa impor yang terus berjalan membuat harga produk dalam negeri mengalami penurunan signifikan dan tidak terserap oleh pasar.

“Lebih dari 250.000 ton tepung tapioka tertahan di gudang-gudang pabrik karena tidak laku terjual. Saat terjadi demontrasi tentang singkong, yang selalu menjadi sasaran adalah pabrik, seolah-olah pabrik yang salah besar, padahal ada faktor penyebab lainnya yaitu lapak, namun para pelapak tidak pernah didemo," kata Haru.

Ia menjelaskan, saat ini harga tepung tapioka berada di kisaran Rp4.700 hingga Rp5.000 per kilogram, turun dari harga sebelumnya yang berada di angka Rp6.000 hingga Rp6.500 per kilogram.

PPTTI juga mengusulkan agar pemerintah pusat menetapkan harga beli singkong secara nasional, tidak hanya berlaku di satu wilayah seperti Lampung.

“Kebijakan harga beli singkong yang hanya diterapkan di Lampung dianggap menimbulkan ketimpangan antar daerah. Karena salah satu problem singkong ini disebabkan oleh pelapak yang membeli singkong petani lebih murah dibandingkan pabrik, ini salah satu masalahnya," ucapnya.

Ia mencontohkan Instruksi Gubernur Lampung No. 2 Tahun 2025 yang menetapkan harga singkong sebesar Rp1.350 per kilogram dengan potongan maksimal 30 persen. Menurut Haru, kebijakan ini sulit diterapkan secara maksimal oleh pelaku industri karena tidak seimbang dengan harga jual tepung di pasar saat ini.

Dirinya juga menyoroti adanya perbedaan persepsi antara petani dan industri. Menurutnya, petani cenderung fokus pada volume panen, sementara industri mengutamakan kualitas bahan baku terutama kadar aci dalam singkong yang digunakan untuk produksi tepung.

“Kami meminta pemerintah pusat melalui kementerian terkait untuk membina dan mengedukasi petani agar dapat menghasilkan singkong dengan kadar aci yang sesuai dengan kebutuhan industri,” ungkap Haru.

PPTTI juga menekankan pentingnya pemilihan pupuk yang tepat bagi tanaman singkong. Haru menjelaskan bahwa pupuk yang digunakan tidak bisa disamakan dengan pupuk untuk komoditas lain seperti padi.

Dalam pemaparan PPTTI, disebutkan bahwa terdapat lima pemangku kepentingan utama dalam rantai industri singkong nasional, yaitu petani, pelaku industri, pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan pelaku impor.

PPTTI menyatakan bahwa kerja sama antar pemangku kepentingan tersebut diperlukan untuk menjaga stabilitas produksi dan harga di sektor tapioka nasional.

"Intinya ada dua poin utama yang diajukan PPTTI kepada pemerintah pusat. Pertama adalah moratorium impor tepung tapioka ke Indonesia dan yang kedua adalah penetapan harga beli singkong secara nasional," bebernya.

"Kedua langkah ini diperlukan untuk mencegah penurunan lebih lanjut dalam industri tapioka dan menjaga keberlanjutan usaha para petani serta pelaku industri di dalam negeri," tandasnya. (*)