• Jumat, 01 Agustus 2025

Ketika Hukum Dipertanyakan dalam Perkara Tom Lembong, Oleh: Dr. Donald Harris Sihotang

Kamis, 31 Juli 2025 - 22.13 WIB
83

Dr. Donald Harris Sihotang, Dosen Pascasarjana Universitas Saburai, Bandar Lampung. Foto: Dok/kupastuntas.co

‎Kupastuntas.co, Bandar Lampung - Dalam diskursus mengenai negara hukum, salah satu pilar utama yang menjadi fondasi adalah kepastian hukum. Kepastian hukum tidak hanya merujuk pada kejelasan aturan tertulis, tetapi juga pada konsistensi dan keadilan dalam penerapan hukum itu sendiri.

‎Setiap proses peradilan, khususnya dalam ranah hukum pidana, harus menjunjung tinggi prinsip pembuktian yang objektif, rasional, dan tidak dipengaruhi oleh asumsi, tekanan publik, atau prasangka politik.

‎Saya bukan sarjana hukum. Namun, sebagai akademisi dan warga negara, saya percaya bahwa hukum adalah instrumen rasional yang seharusnya dapat dipahami dan diakses oleh seluruh masyarakat, selama dijalankan secara jernih, adil, dan transparan.

‎Dalam konteks itu, vonis 4,5 tahun penjara yang dijatuhkan kepada Thomas Trikasih Lembong, atau yang akrab dikenal sebagai Tom Lembong, dalam perkara dugaan korupsi impor gula, memunculkan pertanyaan besar mengenai konsistensi logika hukum yang digunakan.

‎Tom Lembong, yang pernah menjabat sebagai Menteri Perdagangan Republik Indonesia tahun 2015–2016, dijatuhi hukuman tersebut meskipun dalam amar putusan, hakim menyatakan bahwa ia tidak menikmati hasil dari tindak pidana yang dituduhkan.

‎Saya merasa berkewajiban menyuarakan kegelisahan intelektual atas putusan tersebut. Bukan karena faktor kedekatan atau keberpihakan terhadap tokoh, melainkan karena pentingnya menjaga integritas prinsip-prinsip dasar keadilan.

‎Berdasarkan informasi yang beredar luas di ruang publik, tidak ditemukan adanya bukti bahwa Tom Lembong menerima keuntungan pribadi, memiliki hubungan langsung dengan pihak importir yang diuntungkan, ataupun menunjukkan indikasi mens rea atau niat jahat dalam kebijakan yang diambilnya.

‎Padahal, dalam hukum pidana korupsi, dua elemen penting yang harus dibuktikan adalah adanya perbuatan melawan hukum dan penyalahgunaan wewenang yang secara nyata menimbulkan kerugian negara.

‎Apabila unsur niat jahat (mens rea) dan keuntungan pribadi tidak dapat dibuktikan secara sah dan meyakinkan, maka muncul pertanyaan mendasar, atas dasar apa seseorang dapat dihukum hanya karena posisinya dalam pengambilan kebijakan?

‎Dalam dunia akademik, dikenal prinsip logical consistency, bahwa suatu argumen atau keputusan harus tunduk pada logika yang utuh dan tidak saling bertentangan.

‎Logikanya, apabila seorang pejabat publik dapat dihukum hanya karena kebijakan yang ia ambil menguntungkan pihak ketiga, maka hampir semua pejabat negara berada dalam ancaman kriminalisasi.

‎Setiap kebijakan, terutama dalam bidang ekonomi, pengadaan, maupun perdagangan, pasti akan menimbulkan pihak-pihak yang diuntungkan secara ekonomi. Hal itu adalah konsekuensi yang wajar dan sah dalam sistem ekonomi pasar.

‎Importasi barang, termasuk gula, adalah praktik legal dalam kebijakan perdagangan nasional. Bahwa importir meraih keuntungan dari kebijakan tersebut, bukanlah peristiwa pidana selama tidak ditemukan kolusi atau persekongkolan jahat dengan pejabat publik.

‎Oleh karena itu, kita perlu membedakan secara jelas antara consequence dan crime. Tidak semua akibat ekonomi dari suatu kebijakan dapat dikualifikasikan sebagai tindak pidana, kecuali jika dibuktikan bahwa kebijakan tersebut dibuat secara menyimpang dan ditujukan untuk memperkaya pihak tertentu secara melawan hukum.

‎Sayangnya, hingga kini publik belum mendapatkan penjelasan komprehensif mengenai bagaimana unsur-unsur pidana dalam kasus Tom Lembong dibuktikan secara meyakinkan.

‎Tidak terdapat bukti aliran dana, tidak ada kesaksian tentang permufakatan jahat, dan tidak ditemukan keterlibatan langsung atau tidak langsung yang menunjukkan niat memperkaya diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum.

‎Muncul pertanyaan, apakah putusan ini benar-benar berdiri di atas dasar hukum yang objektif dan terbukti? Dalam hukum pidana modern, dikenal asas presumption of innocence atau praduga tidak bersalah.

Prinsip ini mengamanatkan bahwa seseorang tidak boleh dinyatakan bersalah sebelum dibuktikan secara sah dan meyakinkan di pengadilan yang adil.

‎Asas ini bukan hanya norma prosedural, tetapi juga bagian dari prinsip hak asasi manusia dan fondasi dari sistem peradilan pidana yang beradab.

‎Mengabaikan asas tersebut dan menggantinya dengan logika “harus ada yang dihukum” adalah penyimpangan serius yang berpotensi merusak wajah keadilan itu sendiri.

‎Hukum seharusnya tidak dijadikan alat untuk menegakkan moralitas semu atau sekadar memenuhi keinginan kelompok tertentu akan penghakiman. Hukum adalah sistem pembuktian, bukan ruang untuk mengadili tanpa dasar.

‎Dalam konteks hukum administrasi negara, dikenal pula prinsip discretionary immunity, yaitu perlindungan terhadap pejabat publik yang menjalankan tugas dan wewenangnya secara sah dalam kerangka kebijakan negara.

‎Jika prinsip ini tidak dijaga, maka para pengambil kebijakan akan berada dalam ketakutan permanen, yang pada akhirnya dapat menghambat proses pengambilan keputusan yang dibutuhkan oleh publik.

‎Hal ini tentu saja akan berdampak buruk bagi kualitas birokrasi dan pelayanan publik yang semakin pasif dan tidak inovatif karena dibayangi risiko kriminalisasi.

‎Selain itu, perlu juga dipertanyakan, mengapa hanya Tom Lembong yang dikenai sanksi pidana dalam konteks impor gula, padahal baik menteri perdagangan sebelum maupun sesudahnya juga menerbitkan kebijakan serupa, bahkan dengan kuota impor yang jauh lebih besar?

‎Apakah asas persamaan di hadapan hukum (equality before the law) sedang tidak berlaku dalam perkara ini? Jika perlakuan hukum tidak konsisten, maka yang dipertanyakan bukan hanya isi putusan, tetapi juga integritas sistem peradilan itu sendiri.

‎Jika para pejabat lain yang melakukan tindakan serupa tidak dijerat hukum, maka pemidanaan terhadap Tom Lembong tidak hanya tampak janggal, tetapi berpotensi mencerminkan adanya ketidakadilan struktural.

‎Oleh karena itu, vonis terhadap Tom Lembong patut dikritisi secara serius. Bukan hanya karena menyangkut satu orang pejabat, tetapi karena menyangkut arah masa depan kepastian hukum dan tata kelola pemerintahan yang sehat.

‎Apabila setiap pejabat dapat dihukum hanya karena hasil kebijakannya menguntungkan pihak tertentu, tanpa bukti kolusi atau penyimpangan, maka kita sedang masuk ke dalam fase overcriminalization terhadap pembuat kebijakan.

‎Jika hal ini dibiarkan, akan tercipta iklim ketakutan dalam pemerintahan dan dunia usaha. Pada akhirnya, hal ini akan memperlambat pembangunan, memperlemah kepercayaan publik, dan mengancam prinsip-prinsip demokrasi.

‎Saya meyakini bahwa hukum yang baik adalah hukum yang dapat diuji secara rasional, terbuka, dan konsisten. Untuk itu, saya mendorong agar perkara ini dikaji ulang melalui proses hukum lanjutan, dalam upaya banding yang tengah diajukan oleh Tom Lembong.

‎Putusan ini bukan hanya tentang Tom Lembong, melainkan juga tentang bagaimana negara ini ingin memperlakukan hukum sebagai pilar keadilan atau sekadar instrumen penghukuman.

Marwah hukum harus tetap dijaga dalam jalurnya, yakni rasional, adil, proporsional, dan menjunjung tinggi asas-asas dasar negara hukum yang demokratis. (*)